Tidak ada yang benar-benar tahu sejak kapan langit berubah menjadi kaca patri muram yang tak lagi mencerminkan langit biru, tetapi lebih menyerupai kelopak mata dewa tua yang letih. Di kota itu, yang tidak punya nama, karena semua nama telah diganti dengan kode dan iklan, manusia hidup tanpa arah, hanya berdetak sesuai ritme jam digital dan keinginan algoritma.
Kekerasan bukan lagi berita; itu hiburan. Kejujuran hanya nostalgia. Anak-anak lahir tanpa nama, hanya QR code di pergelangan tangan mereka. Dan di tengah kota yang memantulkan cahaya layar, seorang pria bernama Nuh membeli sebidang lahan kosong di antara gedung pencakar langit.
Ia berkata, "Di sini akan kubangun kapal."
Mereka tertawa. Bagaimana mungkin seseorang membangun kapal di tengah kota tanpa laut, tanpa hujan, tanpa otorisasi dari Departemen Fungsi Logis?
Tapi Nuh tidak menjawab. Ia datang setiap hari dengan topi jerami dan kemeja linen, membawa palu, paku, dan kayu tua yang katanya berasal dari hutan yang telah ditebang ratusan tahun lalu.
Orang-orang lewat, memotret, mengunggah:
"Seniman gila sedang membuat kapal untuk banjir yang tak pernah datang."
"Proyek seni distopia!"
"Meme hari ini: #BahteraTanpaAlamat."
Namun Nuh tidak peduli. Ia hanya tersenyum samar, seperti orang yang sedang mendengarkan sesuatu yang tidak kita dengar, suara tua, dalam, dan jauh. Suara yang memanggil dari luar sistem.
Pada suatu malam yang sangat sunyi, ketika semua sinyal mendadak padam dan bulan terbalik seperti mangkuk kosong, suara itu datang lagi:
"Segala yang hidup telah kehilangan nadinya. Buatlah ruang yang dapat menampung sisa denyut yang masih murni."
Nuh membangun terus. Ia membuat ruang-ruang kecil dalam kapal itu, bukan hanya untuk binatang, tapi untuk puisi, untuk ingatan, untuk bibit tanaman, dan bagi segala sesuatu yang dunia telah lelah menyimpan.
Ia menaruh satu jam matahari, satu lonceng sekolah tua, satu lukisan anak kecil dari kamp pengungsian, dan satu buku yang hanya berisi satu kata: "Kasih."
Dan suatu hari, ketika jalan-jalan mendadak jadi sungai dan lampu lalu lintas menyala hijau ke arah langit, orang-orang yang mencemooh mulai berlari. Tapi hanya mereka yang pernah duduk diam dan mendengar bisikan lembut dalam hati mereka yang tahu di mana letak pintu kapal.
Pintu itu hanya bisa dilihat oleh yang mengingat suara asal mereka.
Ketika pintu tertutup, langit pecah. Tapi suara tangis tidak terdengar, hanya keheningan yang dalam. Dunia seolah dilipat seperti kertas origami, dan kapal itu melayang bukan di atas air, tapi di antara dimensi. Ia melintasi bukan lautan, tapi waktu dan kemungkinan.
Di dalamnya, Nuh duduk tenang, memeluk seekor burung kecil yang tak bisa terbang. Anak-anaknya bermain dengan binatang yang tidak disebut dalam kamus. Dan istrinya menyanyikan lagu yang belum pernah ditulis, tapi setiap orang tahu nadanya.
Di luar, dunia dihanyutkan bukan oleh air, tapi oleh lupa.
Dan di dalam, sesuatu yang sangat tua dan sangat baru, sedang bertunas.
Ketika kapal itu mendarat di punggung gunung sunyi dalam realitas yang lain, seekor burung putih dilepaskan. Ia tidak kembali. Dan itu pertanda, bahwa di tempat entah di mana, dunia bisa dimulai lagi.
Tapi kali ini, dengan ingatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI