Di fase awal membangun bisnis, kamu memang harus jadi segalanya: CEO, HRD, user, bahkan kadang merangkap admin medsos dan barista buat kopi tim sendiri. Tapi bukan berarti kamu harus bingung sendiri. Justru di titik inilah intuisi dan kejelian kamu diuji---karena menyatukan suara "HRD" dan "user" dalam satu kepala bukan soal membagi waktu, tapi soal membuat keputusan yang seimbang. HRD ingin proses yang rapi, struktur yang jelas, dan budaya kerja yang sehat. Sementara "user"---alias kamu juga---butuh orang yang bisa langsung nyemplung, kerja cepat, dan tahan banting. Menyeimbangkan keduanya adalah seni tersendiri, apalagi ketika kamu masih berpacu dengan napas finansial dan mimpi yang belum jadi nyata.
Benturan di Kepala Sendiri
Konflik antara HRD dan user biasanya terjadi di perusahaan besar. Tapi di startup kecil atau UKM yang baru jalan, konfliknya malah bisa terjadi di dalam kepala pendirinya sendiri. Misalnya, sebagai HRD kamu ingin karyawan punya soft skill bagus, attitude oke, dan nilai yang sejalan dengan visi misi. Tapi sebagai user, kamu butuh orang yang bisa langsung kerja, ngerti produk, dan siap lembur kalau perlu. Mau ambil anak magang? HRD dalam dirimu bilang, "Nanti malah jadi beban pembinaan." Tapi user dalam dirimu nyaut, "Kalau nggak sekarang mulai, kapan lagi bisa ngembangin tim?" Dilema ini nyata. Dan nggak ada rumus pastinya---kamu harus jadi juri bagi dirimu sendiri.
Rekrutmen: Investasi atau Beban?
Di tahap awal, setiap rekrutmen itu ibarat beli alat tempur---nggak bisa asal comot, tapi juga nggak bisa kelamaan mikir. Kalau terlalu hemat dan ngerjain semuanya sendiri, kamu bisa burnout sebelum bisnisnya tumbuh. Tapi kalau buru-buru rekrut orang, bisa jadi malah nombok bayar gaji tanpa hasil nyata. Di sinilah kamu harus mikir layaknya investor: apakah orang yang kamu rekrut ini akan memberi dampak nyata dalam tiga bulan ke depan? Apakah mereka bisa bikin kamu naik level, bukan cuma bantu kamu bertahan? Kalau jawabannya iya, berarti kamu bukan sekadar menambah beban gaji, tapi sedang berinvestasi pada percepatan pertumbuhan.
Berhenti Jadi Superhero, Mulai Jadi Pemimpin
Kamu boleh hebat, serba bisa, multitasking level dewa. Tapi membangun bisnis itu bukan kompetisi siapa yang paling sibuk, melainkan siapa yang paling strategis. Ada titik di mana kamu harus sadar: kalau kamu terus-terusan jadi tukang eksekusi segalanya, bisnis kamu nggak akan pernah naik kelas. Delegasi bukan tanda kelemahan, tapi bukti kamu sudah naik level dari "doer" jadi "leader." Mulailah dari tugas-tugas yang bisa dilepas tanpa bikin kapal karam---entah itu customer service, update medsos, atau input data. Semakin kamu bisa membagi tanggung jawab, semakin kamu bisa fokus ke hal-hal yang berdampak besar: strategi, kemitraan, dan arah bisnis ke depan.
Ngobrol Sama Diri Sendiri (Dengan Waras)
Lucu tapi nyata: kadang kamu perlu rapat internal... dengan dirimu sendiri. Duduk sebentar, tarik napas, dan tanya: "Kalau saya jadi HRD-nya, kriteria idealnya seperti apa? Kalau saya jadi user-nya, kebutuhan paling mendesaknya apa?" Dari situ, kamu bisa bikin keputusan yang nggak impulsif, tapi juga nggak terlalu idealis. Ingat, HRD biasanya mikir jangka panjang---budaya kerja, kompetensi, potensi. Sementara user mikir jangka pendek---siapa yang bisa bantu hari ini juga. Dua-duanya penting, tinggal gimana kamu bikin kompromi yang realistis. Kadang kamu harus terima bahwa karyawan ideal itu mungkin belum bisa kamu rekrut sekarang. Tapi bukan berarti kamu harus puas dengan yang asal-asalan juga. Di tengah itulah kamu main strategi.
Antara Ideal dan Realistis: Seni Menjadi Pendiri