Suatu sore, ia kembali mengunjungi kebun kecil yang dulu ditinggalkannya. Tapi kali ini bukan di Queens, melainkan di tanah belakang rumahnya sendiri. Ia mulai menanam cabai, lalu tomat, lalu mencoba hidroponik setelah menonton tutorial dari YouTube. Apa yang dulu dianggap "jalan buntu" kini terasa seperti jalur baru menuju kedamaian.
Tulisan-tulisannya yang sempat disimpan dalam jurnal kini dibaca ulang. Ada rasa malu. Ada juga rasa bangga. Lalu ia putuskan untuk menyalinnya, mengedit sedikit, dan membagikannya ke grup Facebook komunitas pemuda desa. Tak disangka, kisah itu viral. Bukan karena gaya bahasanya, tapi karena kejujuran yang terasa mentah dan nyata.
Undangan datang dari mana-mana. Dari RT, dari komunitas pemuda, bahkan dari kampusnya dulu. Semua ingin mendengar cerita "anak muda yang pergi, gagal, tapi pulang tanpa malu". Reihan berbicara bukan sebagai motivator, bukan sebagai korban, tapi sebagai cermin. Ia hanya berkata jujur. Tentang ketakutan, kesalahan, dan keberanian mengaku salah.
Radio lokal mengundangnya sebagai narasumber tetap. Ia berbicara tiap minggu tentang harapan, realitas, dan keputusan-keputusan yang dulu terasa seperti akhir, tapi ternyata adalah awal. Suaranya tak lantang, tapi tulus. Dan mungkin, justru itu yang dibutuhkan generasi yang sudah lelah dengan kata-kata besar.
Satu hari, ia menerima pesan dari Lina. Sebuah foto dikirimkan lewat email. Lina berdiri di tengah taman, mengenakan jaket musim semi. Di sampingnya, anaknya---yang kini berusia dua tahun. "Kami berhasil ke Kanada, legal," tulisnya. "Terima kasih karena dulu kamu tetap tinggal waktu aku nyaris putus asa."
Reihan tersenyum. Dunia memang tidak adil, tapi bukan berarti tidak bisa dilalui.
Akhirnya, ia menulis surat terbuka. Bukan untuk pemerintah. Bukan untuk media. Tapi untuk generasi setelahnya. Ia beri judul: "Jangan Berhenti di Pintu Pertama." Surat itu dibagikan di balai desa, disalin oleh remaja karang taruna, bahkan dibacakan di acara 17-an. Isinya sederhana: hidup memang tak selalu sesuai rencana, tapi menyerah bukan satu-satunya pilihan.
Kini, Reihan tak lagi mengejar dolar. Ia mengejar makna. Ia tak punya mobil, tapi bisa naik motor pinjaman dan tertawa di perjalanan. Ia tak punya kartu kredit, tapi bisa menabung untuk beli bibit tanaman. Ia tak viral lagi, tapi setiap pagi ada anak-anak muda yang datang ke rumahnya, bertanya: "Mas, bisa ajari kami bikin sistem tanam air itu?"
Dan ia akan mengangguk.
Karena Berburu Dollar #KaburAjaDulu bukan sekadar kisah tentang pergi dan pulang. Ini adalah cerita tentang luka yang disembuhkan dengan waktu, tentang mimpi yang berubah bentuk, dan tentang keberanian untuk berkata: "Aku gagal, tapi aku tumbuh."
Dan itulah kemenangan yang sesungguhnya.