Mohon tunggu...
Hadi Hartono
Hadi Hartono Mohon Tunggu... Penulis Lepas, Bisnis digital, Editor naonsia.com dan gerungnews.com

Hadi Hartono was born in Tangerang 55 years ago. He has a Bachelor's degree in Business Management from a private university in Jakarta and a diploma in Financial Management from the Akademi Pimpinan Perusahaan – Ministry of Industry in Jakarta. Hadi Hartono served as Director of PT Naya Indo Nusa from 2014 to 2021. He is currently the Chief Editor of the online media Naonsia.com and also manages his personal blog, hadihartono.com. In the organizational world, Hadi was the Chairman of the DPD of the Indonesian Micro and Small Business Association (Hipmikindo) in Banten Province from 2015 to 2020. He has also been a member of the Indonesian Tourism Operators Association (ASPPI) since 2015. He was a member of the Tangerang Regency DPRD for one term and served two terms in the Banten Provincial DPRD. Hadi has written several books, including Mengelola Minimarket Mandiri, published by Indonesia Cerdas in Yogyakarta, From Zero to Owner, published by Andi in Yogyakarta, and Elon Musk: Kaya Karena Inovasi, published by Mafy Media in Solok City. In addition to print books, he has also written dozens of eBooks on business and personal development. Novelis di KBM.ID atau kbm app https://shorturl.at/FMtOG

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Berburu Dollar #KaburAjaDulu

14 Juni 2025   13:28 Diperbarui: 14 Juni 2025   13:28 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surat itu membuatnya menangis untuk pertama kali sejak datang ke Amerika. Bukan karena sedih, tapi karena rasa malu yang mendalam. Ia sudah terlalu lama hidup sebagai versi orang lain. Kini, yang tersisa hanya dirinya sendiri---dan harapan bahwa mungkin, pulang bukan kekalahan, tapi keberanian.

Ia mulai menulis surat balasan. Bukan untuk dikirim, tapi untuk dirinya sendiri. Surat permohonan maaf. Untuk kebohongan yang terus-menerus. Untuk ambisi yang menyesatkan. Untuk semua malam yang ia lalui dengan berpura-pura baik-baik saja. Surat itu tak punya alamat. Tapi isinya menyelamatkan.

Lalu datang hari ketika ia harus memutuskan: mengajukan banding dan memperpanjang ketidakpastian, atau menyerah dan pulang ke negeri yang dulu menolaknya. Ia menatap cermin di ruang interogasi. Melihat wajah yang tidak ia kenal. Tapi kali ini, ia tidak takut.

Ia memilih pulang.

***

Ia turun dari pesawat dengan langkah gontai. Jaket tebal yang dulu menyelamatkannya dari musim dingin Amerika kini terasa tak berguna di udara panas tropis. Wajahnya lelah. Bukan karena jet lag, tapi karena semua beban yang akhirnya ia izinkan jatuh ke tanah. Tak ada koper mewah. Hanya satu tas kecil, berisi sisa hidup yang tak sempat dibanggakan.

Tidak ada sambutan. Tidak ada karpet merah. Hanya terminal bandara yang terlalu terang, dan petugas imigrasi yang menatapnya tanpa ekspresi. Tapi di luar, seseorang menunggu: ibunya. Tak membawa bunga, tak membawa poster nama, hanya senyum yang sedikit gemetar dan mata yang langsung basah saat melihat anaknya berdiri kembali di tanah air.

Pelukan itu adalah rumah.

Kabar kepulangan Reihan cepat menyebar di desa. Tapi bukan kabar yang ia takutkan---bukan hinaan, bukan sindiran. Justru keheningan. Orang-orang tahu, kadang hidup terlalu rumit untuk dihakimi. Mereka hanya menyapa singkat, dan kembali ke kesibukan masing-masing. Seolah memberi ruang bagi Reihan untuk bernapas lagi, perlahan-lahan.

Ia tidak langsung kembali ke dunia kerja. Tidak buru-buru mencari "kesempatan baru". Ia duduk di rumah, menemani ibunya memasak, memandangi sawah di kejauhan, dan mulai memperbaiki pagar yang rusak. Hari-hari sederhana, tapi penuh makna yang dulu ia anggap remeh. Dunia tak lagi berputar cepat seperti Manhattan, tapi di situlah justru ia merasa selamat.

Tak lama, tetangga menawarkan pekerjaan paruh waktu: membantu warung kopi di dusun. Reihan menerimanya tanpa banyak tanya. Ia membersihkan meja, mengantar pesanan, kadang membantu meracik kopi. Tak ada dollar, hanya receh rupiah. Tapi setiap senyuman pelanggan terasa lebih hangat dari tip besar di restoran Amerika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun