Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis buku dan kolaborator media online.

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017) dan Hipotimia (2021). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis refleksi dan esai di berbagai platform digital. Saya percaya bahwa kata-kata punya cara sendiri untuk menyentuh dan menyembuhkan hati seseorang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Konsep Waktu yang Tak Nyata, tapi Dampaknya Terasa Sungguh Nyata

14 September 2025   19:57 Diperbarui: 15 September 2025   11:25 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jam Pasir yang Menunjukkan Waktu (Sumber: Pexels.com/Pixabay)

Tanpa disadari, saat ini kita hidup dalam sebuah penjara tak kasat mata bernama waktu. Jam dinding berdetak, kalender berganti, lembar demi lembar, bahkan layar ponsel kita tak henti-hentinya mengingatkan kita hari apa dan jam berapa saat sekarang ini. Semua itu tampak sangat nyata, seakan-akan waktu adalah sebuah benda konkret yang berwujud, bisa disentuh, dipotong, ditambah, atau disimpan. Padahal, jika ditarik jauh ke belakang dari awal masa 'penciptaan' waktu (walaupun masih debat-able) waktu sebenarnya tak lebih hanyalah sebuah kesepakatan bersama. Sebuah ilusi kolektif yang kita rawat bersama-sama, sampai akhirnya perlahan-lahan ia menjadi tuan dan regulator atas hidup kita.

Coba bayangkan, seandainya manusia tidak pernah menemukan konsep jam dan tanggal, apakah Anda bisa tahu dan mengatakan dengan pasti hari apa dan jam berapa sekarang? Tidak akan ada istilah 12 siang, tidak ada yang namanya jam 7 pagi, tidak ada Senin sampai Minggu. Lantas apa yang tersisa? Ya, hanya siklus alam; matahari terbit, matahari terbenam, bulan purnama datang, musim panas dan hujan silih berganti. Itu saja, dan memang itulah yang jadi patokan baku nenek moyang kita sebelum ada jam dan tanggal dahulu, kan? Sampai akhirnya manusia 'merasa' sudah semakin cerdas, kemudian memberi nama-nama hari, memberi angka-angka untuk bilangan waktu, memberi garis pada sebuah kalender. Tiba-tiba saja hidup kita terasa lebih teratur, tapi sekaligus lebih terpenjara.

Sebuah Ilusi Bernama Detik

Konsep waktu adalah ciptaan manusia, pun istilah jam dan detik adalah ciptaan yang mengikutinya. Tidak ada yang namanya detik di konsep alam semesta. Alam hanya mengenal perputaran, siklus, dan kontinuitas. Tapi manusia mereka-reka, memotong-motongnya menjadi ukuran-ukuran yang lebih kecil: jam, menit, detik, bahkan waktu Planck. Kita lalu hidup seolah-olah detik itu nyata, bahkan jadi patokan sah atau tidaknya sesuatu.

Konyolnya, manusia bisa bertengkar hanya karena selisih beberapa detik. Bayangkan stadion sepak bola: gol di menit 90+3 bisa mengubah sejarah klub. Padahal kalau dipikir lagi, 'menit 90+3' itu hanya sebuah kesepakatan antara wasit dengan arloji di tangannya. Bukan tidak mungkin kan di luar sana ada orang yang bilang 'perasaan belum sampai 90 menit, deh'. Tapi di situlah letak kekuatan ilusi sebuah 'entitas' yang disebut waktu: ia bisa membuat kita percaya bahwa angka-angka di jam tangan lebih berharga daripada detak jantung kita sendiri.

Waktu dan Luka yang Menganga

Meski waktu itu hanya sebuah ilusi, tapi anehnya kita tetap bisa merasakannya. Inilah paradoks besarnya; sesuatu yang tidak nyata, nyatanya bisa menimbulkan rasa yang sangat nyata. Contohnya bisa kita lihat pada saat kita sedang menunggu kabar baik yang tak kunjung datang. Satu jam terasa seperti sehari. Kita juga pasti pernah tenggelam dalam sebuah percakapan yang menyenangkan dengan teman-teman atau keluarga kita, sampai-sampai tanpa kita sadari tiga jam berlalu tanpa terasa. Waktunya tidak nyata, tapi rasanya sangat bisa kita rasakan kemudian.

Di titik ini, waktu bukan sekadar angka-angka di jam atau kalender, tapi sebuah akumulasi pengalaman personal. Ada luka yang terasa makin dalam seiring berjalannya waktu, ada pula luka yang perlahan menghilang bersamaan mengalirnya waktu. Tetapi benarkah waktu yang menyembuhkan? Atau sebenarnya kitalah yang perlahan belajar menerima, mengobati tanpa disadari, sementara tugas sang waktu ya hanya lewat begitu saja tanpa peduli akan perasaan kita?

Banyak orang menipu dirinya dan sekitarnya dengan berkata "Tenang saja, waktu akan menyembuhkan." Padahal, tidak. Waktu tidak menyembuhkan apa-apa. Yang membuat kita sembuh dari pengalaman traumatik yang penuh luka adalah bagaimana otak kita mampu mengendalikan perasaan kita dan kemudian perlahan-lahan berdamai dengan pengalaman menyakitkan, bagaimana kita mengurai rasa sakit yang berpotensi terjebak. Sedangkan waktu, ia hanya lewat begitu saja. Cepat, sunyi, dan dingin, sama dinginnya seperti angin yang berhembus tanpa peduli siapa yang sedang patah hati.

Cepat atau Lambat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun