Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis buku dan kolaborator media online.

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017) dan Hipotimia (2021). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis refleksi dan esai di berbagai platform digital. Saya percaya bahwa kata-kata punya cara sendiri untuk menyentuh dan menyembuhkan hati seseorang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Secuil Konspirasi dalam Sepiring Nasi

2 September 2025   14:32 Diperbarui: 2 September 2025   16:08 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Semangkuk Nasi Putih (Sumber Foto : Pexels.com)

"Belum makan kalau belum makan nasi."

Kita pasti sering mendengar kalimat barusan, atau bahkan Anda baru saja mengatakannya tadi ketika sarapan atau jam makan siang? Kalimat yang terdengar sederhana, tapi sesungguhnya menyimpan jejak panjang sejarah yang tidak sesingkat satu kali suapan.

Bangsa Indonesia hari ini begitu erat dengan beras; sudah sangat lama butiran putih itu menjadi makanan pokok di negeri ini. Bahkan dulu Indonesia pernah dijuluki negara agraris, karena produksi berasnya yang sangat tersohor. Seakan-akan padi dan beras menjadi takdir bagi bangsa ini.

Namun meskipun ditopang sejarah segemilang itu, hari-hari ini kita melihat kenyataan yang jauh berbeda, harga beras semakin naik dan naik setiap harinya. Miris, memang.

Suatu hari terlintas beberapa pertanyaan 'sepele' yang menggelitik rasa ingin tahu saya, sebelum beras dijadikan makanan pokok, apa yang sehari-hari dimakan orang Indonesia? Apakah kita memilih sendiri beras sebagai makanan pokok? Atau adakah semacam "konspirasi" yang diam-diam 'mengatur selera' kita selama ini?

Sebelum Nasi Merajai

Jauh sebelum beras mendominasi meja makan kita, orang-orang Nusantara dulu punya ragam panganan pokok selain nasi.

Masyarakat Maluku dan Papua hidup dari sagu. Nusa Tenggara akrab dengan jagung. Sebagian Jawa mengandalkan singkong dan tiwul untuk makan sehari-harinya. Sulawesi terbiasa dengan ubi dan talas.

Kekayaan pangan ini selaras dengan kondisi alam tiap-tiap wilayah di Indonesia. Tidak ada yang merasa 'belum makan' hanya karena belum mengunyah nasi.

Bayangkan betapa hectic-nya suasana dapur beberapa puluh tahun yang lalu.

Di pedalaman Maluku, para perempuan sibuk menumbuki batang-batang sagu untuk diubah menjadi papeda kental.

Di Nusa Tenggara, jagung-jagung bose direbus bersama kacang merah hingga menjadi santapan harian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun