Waktu itu sendiri punya sifat yang aneh. Ada kalanya waktu terasa begitu cepat; kadangkala juga bisa terasa sangat lambat. Coba Anda ingat-ingat lagi, tahun 2020, dimana virus Covid menyebar itu adalah 5 tahun yang lalu. Tidak terasa, ya waktu 5 tahun begitu cepat berlalu (setidaknya dalam konteks ini adalah bagi saya). Sering juga saya merasakan ketika saya ingin berangkat ke sebuah tempat terasa sangat amat lama, tapi ketika pulang seolah waktu terasa cepat sekali di jalan.
Itulah bukti jika konsep waktu itu bisa terasa berbeda tergantung bagaimana kita mengalami dan menjalaninya. Itulah bukti lain bahwa waktu bukanlah realitas objektif, melainkan sebuah persepsi yang tercipta dari sekumpulan pengalaman subjektif. Kita tidak pernah benar-benar hidup di dalam waktu, tapi di dalam sebuah persepsi tentang waktu.
Kalender juga sering kali menjadi seorang 'tukang suruh' yang memegang cambuk di tangannya dan membuat kita mau tidak mau patuh padanya. Tanpa terasa tahun baru tiba, kita dipaksa untuk mengevaluasi atau menciptakan resolusi baru lagi. Padahal resolusi yang lau saja belum tentu selesai dijalankan. Kemudian tiba-tiba ulang tahun datang lagi, kita dipaksa untuk merasa semakin bertambah tua lagi satu tahun lagi. Manusia, tanpa sadar, telah menyerahkan kendali hidupnya kepada angka-angka di kalender. Seolah-olah kalau angka-angka itu berganti, maka kita pun otomatis harus berubah, dalam segala hal. Tanpa ampun, tanpa ada kata 'tunggu dulu'. Padahal, jika mau berefleksi lagi, seharusnya perubahan tidak pernah ditentukan oleh angka-angka tanggalan; perubahan seharusnya ditentukan oleh keputusan-keputusan yang matang.
Waktu yang Tercuri
Di antara semua ilusi tentang waktu, ada satu hal yang terasa sangat nyata: waktu yang tercuri. Kita seringkali merasa waktu kita dicuri oleh orang lain, seperti atasan yang yapping tanpa arah ketika rapat, birokrasi yang berantakan, atau bahkan algoritma media sosial yang memaksa kita terus menggulir layar berjam-jam.
Kita pasti marah ketika dompet atau ponsel kita dicuri, tapi jarang marah (atau jarang bisa marah) ketika waktu kita diambil oleh hal-hal tidak penting tadi. Padahal, kita tahu, uang bisa dicari lagi, sementara waktu tidak. Ia terus jalan lurus ke depan, tanpa ada opsi kembali ke belakang. Pada akhirnya, mau diakui atau tidak, kita cenderung menjaga harta kita dengan ketat, tapi membiarkan waktu kita tercecer tidak jelas tanpa protes sedikit pun.
Hidup di Antara Ilusi-Ilusi
Jadi, apakah kita benar-benar punya 'waktu'? Atau jangan-jangan sebenarnya kita hanya punya momen yang kita rupakan dalam satuan detik, yang akan segera lewat begitu saja tanpa bisa diulang kembali?
Mungkin akan terasa lebih bijak jika kita berhenti membicarakan 'waktu' sebagai sebuah benda yang seolah punya wujud dan dapat kita rupakan kehadirannya. Akui saja, kita tidak pernah memiliki hal yang namanya 'waktu', kita sebenarnya hanya mengalami 'momen'. Detik ini, kalimat ini, tarikan napas ini, ia hanya sebuah momen. Kejadian yang hanya terjadi saat ini, sekarang. Begitu ia lewat, ia tidak pernah kembali lagi.
Hidup, kalau kita belah dan kupas sampai ke inti terkecilnya, sebenarnya hanyalah sekumpulan pengalaman sesaat yang kita beri nama 'waktu'. Dan sayangnya, semakin kita terjebak dalam ilusi waktu, semakin kita lupa untuk benar-benar hidup di dalamnya.
Penutup: Tentang Luka, Tentang Kita