Positif Beracun: "Udah, jangan sedih terus! Senyum dong, biar nggak kelihatan lemah."
Perbedaannya :
Kalimat pertama membuka ruang aman untuk kita bisa benar-benar "merasakan rasa" dan memberi opsi untuk bercerita.
Sedangkan kalimat kedua terkesan menutup pintu emosi dan menguncinya rapat-rapat.
Belajar Menghormati Emosi Negatif
Saat ini kita hidup di tengah masyarakat yang punya budaya mengagungkan-agungkan sekali sebuah kesuksesan, keceriaan, dan "good vibes only". Padahal, perasaan negatif adalah bagian alami dari manusia. Sedih karena kehilangan, marah karena dikhianati, takut karena ketidakpastian, semua itu punya fungsi biologis dan psikologisnya masing-masing.
Kesedihan, mengajarkan kita tentang kehilangan.
Amarah, mengajarkan kita tentang batas.
Takut, mengajarkan kita untuk berhati-hati.
Menghapus semua emosi itu demi citra positif sama saja seperti memotong kabel sensor seatbelt di mobil, terasa nyaman karena tidak berisik dengan bunyi peringatan, tapi tentu membahayakan karena kita jadi tidak tahu apakah seatbelt sudah terpasang dengan baik atau tidak.
Cara Menghindari Jebakan Toxic Positivity
Dengarkan, jangan buru-buru memberi solusi.
Kadang orang hanya butuh didengar, bukan diperbaiki.Akui semua emosi.
Sedih dan marah tidak membuat kita gagal menjadi manusia.Hindari membandingkan penderitaan.
"Ah, masalah kamu mah kecil" adalah kalimat yang membunuh empati. Masalah itu harusnya diselesaikan, bukanjadi ajang adu-aduan.Jangan memaksakan timeline kebahagiaan orang lain.
Setiap orang punya waktunya sendiri untuk pulih.Belajar berkata "It's okay to not be okay."
Karena memang kita tidak punya kewajiban untuk selalu merasa atau menjadi sempurna. Sedikit ada bekas luka, tidaklah buruk juga.
Jadilah Manusia, Bukan Poster Motivasi Berjalan
Tidak semua hari perlu diakhiri dengan senyuman. Ada hari-hari yang mungkin memang harus diakhiri dengan tangisan atau sekadar diam. Menjadi manusia berarti menerima semua warna perasaan, bukan hanya warna cerah yang pantas dipajang di feed media sosial Anda.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti menuntut orang lain untuk selalu tersenyum. Karena sering kali, senyum itu bukan tanda kekuatan, tapi tanda bahwa bahwa ia sedang mati-matian menyembunyikan luka perasaannya. Dan di balik setiap senyum yang dipaksakan, ada beban-beban yang mungkin tak semua orang mampu merasakan.