"Oh iya Than, menurut kamu mungkin nggak ya kita saling suka terus pacaran?"
Mataku tiba-tiba melotot menatapnya. Itu pertanyaan yang tidak pernah terucap sama sekali dari mulutnya sejak awal kita berteman di SMA. Dan kali ini ia membuka topik pembicaraan yang selama ini aku hindari.
Sejujurnya aku pun belum tahu bagaimana perasaanku pada Janet. Tapi menyukai sahabat sendiri, oh ayolah, itu seperti sesuatu yang terlarang buatku. Aku hanya tak ingin hubunganku dengan Janet nantinya malah jadi berantakan hanya gara-gara hal bernama cinta.
"Kok jadi gugup gitu, sih? Santai aja kali," kata Janet melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah.
Ia melanjutkan kembali soal topik itu. Berkata bahwa selama lima tahun ke belakang ini aku adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya selain keluarga. Ia menjadikanku prioritas utama dalam hal apapun. Ya, aku pun tak bisa membantah itu karena dia juga sudah menjadi prioritasku.
Ini pun bukan kali pertama aku menemuinya di Jatinangor. Pernah beberapa bulan lalu, teman-teman banyak yang pulang ke daerahnya masing-masing karena sedang libur panjang. Namun, ia terikat oleh beberapa kegiatan organisasi yang mengharuskannya tetap tinggal.
Maka, saat itu aku datang ke sini tanpa perlu pikir panjang. Menemaninya selama beberapa hari ke depan supaya ia tidak kesepian.
Pada perjalanan pulang menemaninya ke kosan, tidak ada lagi suara yang terdengar selain langkah kaki dan kendaraan bermotor yang lewat. Kami sama-sama diam tanpa menatap satu sama lain. Entahlah, sepertinya aku yang terlalu berlebihan memahami maksud kata-katanya tadi.
"Jaga diri baik-baik, ya." Aku menepuk pundak kanannya pelan, lalu mulai melangkah membelakanginya.
***
September 2015, Yogyakarta