April 2013, Jatinangor
Hanya demi Janet, aku rela jauh-jauh datang ke Jatinangor dari kota asalku, Yogyakarta. Kemarin sore ia meneleponku sambil menangis. Suaranya jadi tak karuan, membuatku tidak mengerti apa maksud tangisannya itu. Setelah keadaannya cukup tenang, ia mulai bercerita. Oh, tentang pacarnya itu ternyata.
Sejak awal perkenalannya dengan laki-laki itu setengah tahun lalu, aku bisa menduga bahwa ia bukan orang baik-baik. Sekarang terbukti, ia hampir melecehkan Janet ketika mereka ada di kosan yang sepi. Untungnya, Janet bisa segera mengambil tindakan, tapi masih ada rasa trauma yang mendekap dirinya.
Kantin Fakultas MIPA kampusnya ini menjadi tempat pertama kami bertemu hari ini. Aku langsung memeluknya erat disusul oleh air matanya yang membasahi dadaku.
"Aku takut, Ethan."
Masih ada rasa shock yang kulihat dari gerak tubuhnya. Matanya yang begitu sayu seolah bicara bahwa ia butuh ketenangan. Aku tak henti menggenggam tangannya. Ia harus tahu bahwa aku akan ada kapanpun saat ia membutuhkan.
Untungnya Janet dan teman-temanya segera melaporkan tindakan laki-laki brengsek itu ke pihak kampus. Entah tindakan apa yang akan diambil nanti, tapi aku yakin saat ini posisi Janet akan aman untuk sekarang.
Lalu, Jatinangor Town Square menjadi tempat kami menghabiskan waktu di malam harinya. Kami berdua berencana akan menonton salah satu film komedi yang saat itu sedang tayang di bioskop. Kondisi Janet pun sekarang sudah semakin baik. Dia bisa tersenyum sambil sesekali tertawa.
Setelah keluar studio dengan perasaan yang amat gembira, aku dan dia mendatangi salah satu tempat makan untuk mengisi perut yang kosong. Di sana kita sedikit bernostalgia. Mengingat kembali kenangan-kenangan apa saja yang paling berkesan saat di bangku sekolah.
"Kabar kamu sama Nanda gimana sekarang? Bukannya kalian dulu jadian, ya?" tanya Janet dengan nada menyindir sambil menahan tawa.
"Apa, sih? Itu cuma cinta monyet zaman SMA tahu, nggak?" jawabku sedikit tersipu.