Baiklah, sambil mengantar rantang ini, biar kuceritakan. Dia, sosok dibalik berjuta cerita.
Pertama kali aku mengenalnya, itu ketika arisan sosialita di rumahku dua tahun lalu. Kutahu dia baru pindah dari solo karena mengikuti dinas ayahnya. Kala itu dia adalah satu-satunya remaja laki-laki di daerahku yang mau mengantar ibunya arisan, sebab itulah rasa kagumku mulai timbul untuknya.
Seluruh keluarga Bu Retno memang tidak pernah gagal menarik hati semua orang. Termasuk anak lelakinya yang mendadak menjadi primadona ibu-ibu komplek. Selain karena tampan, anak Bu Retno itu memang terkenal baik dan mudah bersosialisasi.
"Cocok buat dijadiin mantu!" kata salah satu ibu yang menghuni rumah sebelahku. Dalam diam aku tersenyum, berharap ibuku-lah yang akan memenangkan kompetisi itu. Perebutan calon mantu.
Perlahan rasa kagumku berubah menjadi suka. Apalagi ketika dia bersekolah di tempat yang sama denganku. Dengan posisi bangku yang berdekatan, membuatku mau tidak mau harus sering bertemu dengannya. Tidak jarang, mata kami sering tanpa sengaja bersitubruk dan berakhir detak jantungku yang kian cepat.
Belum berani aku mendefinisikan itu dengan tingkatan di atas suka. Karena yang kutahu, cinta tidak sekedar rasa nyaman atau getaran yang tidak pasti asal muasalnya. Namun, lebih kompleks dari itu semua.
Cinta itu rumit, pelik, dan tidak perlu diulik. Sampai saat ini belum kutemukan seseorang yang begitu tepatnya menjelaskan soal cinta, sebab cinta hanya bisa dirasakan oleh hati nan bersih. Apakah cinta itu sesungguhnya?
Bersamaan dengan pertanyaan yang hanya berani kutanyakan dalam pikiran, kakiku melangkah masuk melewati pagar besi yang mulai berkarat. Ialah rumah lama peninggalan Bu Wati---ibu dari Bu Retno---menjadi tempat tinggal keluarganya ketimbang harus menempati rumah dinas. Kendati demikian, hal tersebut membuatku senang bukan kepalang karena aku dapat terus ada di dekatnya. Memandanginya secara diam-diam serta tetap bisa memberinya perhatian tanpa ketahuan.
"Aku sebenarnya malas mengantar ini karena harus bertemu denganmu, tapi Mamah memaksa," dalihku selalu.
Padahal yang sesungguhnya, inilah kesempatanku untuk bertemu dengannya. Memastikan bahwa dia baik-baik saja, serta mengetahui perkembangannya melalui cerita Bu Retno yang tiap kali aku mengunjungi tempat itu tidak pernah absen berceloteh ria. Tentang dia yang tidak pernah bosan kudengar.
Biarlah aku mencintainya dalam diam agar asa dan harapan ini tidak pudar lantaran menyatakan dan berujung pada penolakan. Aku tidak takut kehilangannya, hanya saja belum siap jika harus menatap pandangan kebencian miliknya. Karena aku mencintainya, dengan tawa yang kuharap tidak pernah hilang dari wajahnya. Meski dengan begitu aku yang harus menderita.