Mohon tunggu...
Gia Safitri
Gia Safitri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Seorang siswi SMA yang gemar merangkai kata. Pemimpi yang handal, serta pemalas sejati. Banyak hal yang ingin dicapai, tetapi enggan memulai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rangkaian Aksara Tentang Dia

16 Agustus 2022   21:35 Diperbarui: 16 Agustus 2022   22:02 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada malam yang menyiksa batinku, mulailah aku menyatakan cinta. Bukan melalui ucapan apalagi dengan koar-koar, melainkan dalam aksara nan menyejukkan.

Hawa dingin menemani kala jari-jemari mulai menekan keyboard laptop lawas milikku satu per satu, seolah mengerti akan rasa yang mulai tertuang. Dirinya yang menjadi inspirasi, sekelebat hadir dalam imaji. Mengulang memori-memori yang pernah tercipta, lalu dengan tidak tahu dirinya mulai menguasaiku dalam rajutan mengenai kehidupan nelangsanya.

Kata-kata nan indah perlahan berubah menjadi susunan kalimat berpola deskriptif, lalu berlanjut pada paragraf yang menyusun cerita. Satu jam kemudian selesailah kegiatanku yang satu itu, belum tamat, tapi setidaknya untuk hari ini sudah cukup bercerita tentangnya.

Beranjak dari dudukku di samping jendela yang sudah kututup menggunakan tirai. Kulangkahkan kaki menuju pintu kayu yang penuh dengan stiker kartun barbie, menggambarkan diriku di masa lalu. Ketika aku kecil dan belum tahu tentang kehidupan yang sesungguhnya, apalagi yang namanya cinta.

Aku tidak tahu banyak tentang dirinya selain, kondisi keluarga, makanan favorit, hobi, alergi, serta siapa saja yang berkawan dengannya. Apalagi mengenai perasaannya terhadap diriku, tentu saja aku adalah orang paling bodoh tentang itu.

"Shafa!" teriak ibu, mulai merusak bayang-bayangku tentangnya. Namun, katanya 'kan tidak boleh melawan, nanti bisa kualat. Jadi, aku memilih untuk mempercepat langkah menuju sumber suara.

"Shafa! Kamu di mana?"

Nyatanya teriakan lantang itu kembali terdengar meskipun kakiku sudah mendekati pintu dapur. Napas panjangku terhela sesaat, berusaha menyamarkan mimik wajah agar terlihat biasa saja.

"Iya, Mah. Ada apa?" tanyaku setelah sampai. Sepertinya niatku bersantai di depan televisi dengan camilan dan minuman dingin harus terhalang untuk saat ini. Sejujurnya aku sudah menduga apa yang akan diperintahkan ibuku itu padaku.

"Hantarkan ini ke rumah Bu Retno, ya!"

Sayang sekali, dugaanku tidak meleset. Lagi-lagi aku harus ke rumah minimalis itu dan kembali bertemu dengan dia. Iya, dia yang kumaksud ialah anak lelaki Bu Retno. Temanku bermain layangan dari dulu serta sumber inspirasi dari cerita yang sedang kugarap.

Baiklah, sambil mengantar rantang ini, biar kuceritakan. Dia, sosok dibalik berjuta cerita.

Pertama kali aku mengenalnya, itu ketika arisan sosialita di rumahku dua tahun lalu. Kutahu dia baru pindah dari solo karena mengikuti dinas ayahnya. Kala itu dia adalah satu-satunya remaja laki-laki di daerahku yang mau mengantar ibunya arisan, sebab itulah rasa kagumku mulai timbul untuknya.

Seluruh keluarga Bu Retno memang tidak pernah gagal menarik hati semua orang. Termasuk anak lelakinya yang mendadak menjadi primadona ibu-ibu komplek. Selain karena tampan, anak Bu Retno itu memang terkenal baik dan mudah bersosialisasi.

"Cocok buat dijadiin mantu!" kata salah satu ibu yang menghuni rumah sebelahku. Dalam diam aku tersenyum, berharap ibuku-lah yang akan memenangkan kompetisi itu. Perebutan calon mantu.

Perlahan rasa kagumku berubah menjadi suka. Apalagi ketika dia bersekolah di tempat yang sama denganku. Dengan posisi bangku yang berdekatan, membuatku mau tidak mau harus sering bertemu dengannya. Tidak jarang, mata kami sering tanpa sengaja bersitubruk dan berakhir detak jantungku yang kian cepat.

Belum berani aku mendefinisikan itu dengan tingkatan di atas suka. Karena yang kutahu, cinta tidak sekedar rasa nyaman atau getaran yang tidak pasti asal muasalnya. Namun, lebih kompleks dari itu semua.

Cinta itu rumit, pelik, dan tidak perlu diulik. Sampai saat ini belum kutemukan seseorang yang begitu tepatnya menjelaskan soal cinta, sebab cinta hanya bisa dirasakan oleh hati nan bersih. Apakah cinta itu sesungguhnya?

Bersamaan dengan pertanyaan yang hanya berani kutanyakan dalam pikiran, kakiku melangkah masuk melewati pagar besi yang mulai berkarat. Ialah rumah lama peninggalan Bu Wati---ibu dari Bu Retno---menjadi tempat tinggal keluarganya ketimbang harus menempati rumah dinas. Kendati demikian, hal tersebut membuatku senang bukan kepalang karena aku dapat terus ada di dekatnya. Memandanginya secara diam-diam serta tetap bisa memberinya perhatian tanpa ketahuan.

"Aku sebenarnya malas mengantar ini karena harus bertemu denganmu, tapi Mamah memaksa," dalihku selalu.

Padahal yang sesungguhnya, inilah kesempatanku untuk bertemu dengannya. Memastikan bahwa dia baik-baik saja, serta mengetahui perkembangannya melalui cerita Bu Retno yang tiap kali aku mengunjungi tempat itu tidak pernah absen berceloteh ria. Tentang dia yang tidak pernah bosan kudengar.

Biarlah aku mencintainya dalam diam agar asa dan harapan ini tidak pudar lantaran menyatakan dan berujung pada penolakan. Aku tidak takut kehilangannya, hanya saja belum siap jika harus menatap pandangan kebencian miliknya. Karena aku mencintainya, dengan tawa yang kuharap tidak pernah hilang dari wajahnya. Meski dengan begitu aku yang harus menderita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun