Malam itu aku makan malam, dan Ibu menyuapi aku sambil memuji nilai ujianku. Setelahnya Kay pulang membawa piagam juara, dua lomba seni lukis dan beberapa lembar uang dari manggung. Bagiku, Kay luar biasa, dengan talentanya mampu membawa kehidupan, yaitu suara kedamaian untuk hidup, andai ibu juga merasakannya.
"Bu, aku menang lomba. Dan ini, uang dari kafe..."
Ibu hanya menoleh sekilas. "Kamu pulang malam. Persis ayahmu."
"Aku cuma ingin bantu bu..."
"Sudah! Aku tak butuh uang dari musik haram itu!"
Aku ingin membela Kakak ku Kay. Tapi lidahku kelu dan tak mampu menyuarakan pembelaanku, dan takut menambah panjang pertengkaran ini. Kay terdiam. Dan aku tahu, luka itu lebih dalam dari yang terlihat, seandainya kau tahu kakak, aku juga terluka karena apa yang kau rasa.
Kay pernah bilang padaku, bahwa setiap orang menyimpan lagu dalam dirinya, sebagai bahasa jiwa dan cinta dalam hatinya. Tapi tak semua lagu bisa dinyanyikan. Dan ketika itu aku berpikir, atau karena tertahan oleh hambatan dan penolakan serta tidak diterimanya suatu hal itu, yaitu kejernihan bahasa jiwa dan cinta dari dalam hati
Malam sebelum ia menghilang, ia merekam lagu di studio tua milik temannya. Tapi sesuatu menghentikannya. Di dompetnya, ia menemukan foto lama Ibu---tersenyum bersama seorang pria yang bukan Ayah, dan itu menyakiti hati Kay, apakah alasan dari semua itu? Yang jelas ibu adalah cinta pertama seorang seperti kakak ku dan mungkin anak laki-laki lainnya juga sama.
Kay menangis. Dan lagu itu pun mengendap. Tak pernah selesai.
Setelah kepergiannya, aku menemukan catatan terakhirnya. Kertas-kertas penuh lirik putus. Sketsa gelap. Simbol aneh. Dan di halaman paling akhir:
"Raihan, jika aku tiada... selesaikan laguku. Dengarkan dengan hatimu.dan tangkap serta gapailah dengan jiwamu"