Angin malam menusuk kulit, menggetarkan lampu jalan yang redup di Jembatan Kalimas. Di antara terali besi, selembar kertas mencicit pelan tertiup angin. Hampir lepas. Hampir terbang. Tapi tak jadi. Ia bertahan, terjepit di situ, seolah menanti seseorang untuk membacanya.
"Jika suara ku ini tak pernah ada dan sampai ,
biarlah air membawa lagu ini ke tempat yang indah
di mana aku bisa dicintai dan semua ..."
Lalu..., seketika dentum cipratan air. Sebuah tubuh jatuh. Dan sunyi jadi saksi.
Namanya Kayla, dan panggilannya Kay. Usianya tujuh belas. Kakakku.
Aku Raihan, tiga belas tahun. Nilai matematikaku selalu sembilan puluh. Dinding kamarku penuh rumus dan grafik. Tapi di pojok sana---di meja yang berdebu---tersimpan dunia yang berbeda. Gitar tua. Sketsa potret. Kertas lirik yang tak selesai. Dunia milik Kay.
Kay tak begitu menyukai angka. Ia memilih alur nada. Ia bilang, musik adalah bahasa jiwa yang tak butuh izin untuk dirasakan karena semua mengalir dengan jernih apa adanya, suara dari lubuk dan relung semesta.
Aku masih ingat saat ia duduk di depan sekolahku, mengamen sambil menungguku pulang.
"Kamu yang mennyanyikan ya?" katanya, menyodorkan gitar.
Aku menggeleng. "Tapi suara Kakak lebih keren dan indah."
Dia tertawa kecil. "Yang penting, nyanyi dari hati..., jujur apa adanya dari hati."
Itulah Kay. Tak sempurna, tapi tulus dan satu hal yang membuatnya abadi yaitu tentang kebesaran hatinya dalam menjalani ini semua. Tak semua orang bisa melihatnya. Termasuk Ibu.