Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebutir Apel Pemberian Ibu

24 September 2016   08:25 Diperbarui: 24 September 2016   10:20 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: www.freestockphotos.biz

“Jangan gunakan alasan itu untuk menekanku,” ucap istriku tak senang. “Bukankah setiap kali kita bersama, kau selalu bicara tentang apel? Aku benar-benar jenuh.”

Serangan. Kata-katanya adalah serangan tanpa ampun. Ia memang benar. Tapi aku juga tersiksa dengan keinginanku. Harusnya ia tahu itu. “Sebagai seorang istri, tak bisakah kau mendukungku?”

“Mendukung?” Celaan terdengar jelas dari nada suaranya. “Kapan aku tak mendukungmu? Memangnya, aku pernah protes kau bergelut seharian dengan lukisan-lukisanmu itu?”

Alarm di otakku berbunyi. Bila diteruskan, pembicaraan ini akan tiba di masalah klasik. Soal besaran penghasilan. Aku akan berakhir sebagai pihak yang kalah. Malam akan terasa lebih panjang karena dinding kebisuan yang memisahkan kami. Memikirkannya saja membuatku merasa ngeri. “Sudahlah, untuk apa kita berdebat malam-malam begini. Kamu lelah, kan?”

Terlambat. Tatapan istriku dipenuhi kekesalan. Ia beranjak dari sofa. Brakkk! Pintu kamar dibanting. Lebih baik aku tidur di ruang tamu malam ini.

***


Kuputuskan untuk membawa Jumariyah ke kebun apel. Sudah cukup aku berburu apel di kota. Aku akan menemukan apel ranum pada salah satu pohon di sana. Keyakinan itu muncul ketika Jumariyah bercerita, bahwa dusun asalnya menghasilkan apel-apel terbaik.

Kami berdua berangkat ke dusunnya pagi-pagi sekali. Sepanjang jalan, tak henti-hentinya Jumariyah bersenandung tentang kerinduannya pada daun-daun apel aroma udara segar. Sosoknya menjelma menjadi bidadari yang hangat. Bosan bersenandung, Jumariyah bercerita tentang masa kanak-kanaknya. Sambil mengemudi, aku menyimak setiap kata yang diucapkannya. Tak satu pun yang terlewatkan. Sesekali Jumariyah tergelak atau tersenyum. Perempuan itu tak merasa canggung sama sekali.

Mendekati dusun Jumariyah, pohon-pohon apel berbaris menyambut kedatangan kami. Udara sejuk dan menyegarkan. Aku menepikan mobil ketika Jumariyah mengatakan, apel-apel itu bebas dipetik lalu dibayar setelahnya. Sebuah apel ranum menarik perhatianku. Segera kupetik. Manis dan segar. Sayangnya, masih belum seperti apel waktu itu. Tapi Jumariyah tak henti-hentinya membesarkan hatiku.

“Mungkin harus disertai mantra,” bisik Jumariyah. Kami duduk di bawah salah satu pohon apel. Berdekatan. Lalu entah siapa yang memulai, Jumariyah telah bersandar di dadaku. “Petikkan satu untukku,” pintanya.

Aku memetik sebutir apel, lalu memberikan padanya. Jumariyah menyeka apel itu dengan selembar tisu. Setelah mengucapkan sebaris kalimat dengan nada berbisik, ia mengembalikan apel itu padaku. “Makanlah,” ujarnya lembut. Perlahan kugigit apel itu. Kenangan masa lalu tiba-tiba menyeruak. Suara ibu dan apel ranum yang manis itu. Pelupuk mataku menggenang. Aku telah menemukan apel yang kucari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun