Ibu telah lama tiada. Puluhan tahun yang lalu. Namun, aku selalu merindukan apel pemberiannya waktu itu. Istriku sering mengeluh, karena aku terus-menerus memintanya membelikan apel ranum seperti yang dibelikan ibuku dulu.
“Semua apel itu sama saja,” cetus istriku sambil memulas bibirnya dengan lipstik oranye. Sama seperti ucapannya yang sudah-sudah. Busana kerjanya hari ini berwarna hitam putih. Sangat pas membungkus tubuh langsingnya. Perempuan itu terlihat semakin menarik di usianya yang menginjak akhir tiga puluh.
“Tapi apel itu berbeda,” bantahku, “rasa manis dan segarnya tak bisa kulupakan.”
“Karena itu apel pertamamu.”
“Tidak,” gelengku,”kupikir bukan karena itu.”
“Mungkin karena ibumu yang membelikan.” Istriku berbalik dengan riasan sempurna: sepasang alis lengkung, kulit tanpa cela serta rona warna di kelopak mata dan pipi.
“Kau istriku, kan?”
Istriku terbahak. “Tentu saja. Memangnya aku istri siapa?”
“Kalau begitu, percayalah suamimu.”
“Sejak kita menikah, sudah tak terhitung berapa kali aku membelikan apel untukmu. Tapi, kau tak pernah merasa puas.”
“Ayolah, aku akan berhenti sampai menemukan apel itu,” bujukku.