“Masalahnya sampai kapan?” Istriku menghembuskan nafas panjang. Gusar. “Menurutku, kau hanya merindukan ibumu.”
Perempuan itu berlalu. Suara pintu tertutup. Bunyi mesin menderu. Lalu rumah kembali terasa sepi.
***
Aroma apel menguasai seisi rumah. Buah-buah mengilat itu memenuhi kulkas. Plastik-plastik kemasannya teronggok di tong sampah depan rumah. Sebagian apel turut membusuk di sana. Aku tak pernah menghabiskan sebutir apel. Satu gigitan saja, untuk menemukan rasa apel yang kucari. Sialnya, aku belum juga menemukannya.
Istriku akhirnya menyerah. Setelah bosan membelikanku apel, dia menyerahkan tugas itu pada asisten rumah tangga kami. Jumariyah namanya. Baru bekerja dua bulan. Hitam manis kulitnya. Janda beranak satu. Kerabat jauh istriku dari kampung. Rajin dan cekatan. Meski otaknya kadang-kadang agak lamban. Bila tersenyum, lesung pipi samar-samar menghiasi pipi kirinya.
“Belikan Tuan apel setiap hari. Jangan lupa, tempatnya harus berganti-ganti.” Itulah pesan istriku di hari pertama Jumariyah bekerja di rumah kami.
Asisten rumah tangga kami menggangguk. Lupa bahwa ia pendatang baru yang tak tahu jalan. Minggu pertama, ia masih bisa mengatasi masalah itu. Barulah di minggu kedua, ia memohon pertolonganku dengan raut memelas.
“Tolong saya, Tuan. Saya bingung harus membeli apel di mana lagi. Saya tak tahu jalan,” keluhnya suatu siang padaku.
Aku meletakkan kuas di tanganku. Lukisanku masih bisa menunggu. Lagipula, bukankah aku yang menginginkan apel itu?
“Baiklah, aku akan mengantarkanmu.”
Jumariyah mengangguk setuju.