Jika kita jujur, rendahnya minat baca di Indonesia tidak bisa hanya disalahkan kepada generasi saat ini. Ini sebenarnya masalah yang sudah ada sejak lama, mungkin bahkan sejak zaman kolonial. Budaya tidak membaca tidak muncul tiba-tiba, tetapi lahir dari kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan yang tidak merata dari dulu.
Mari kita tinjau dari sudut pandang ekonomi terlebih dahulu. Banyak dari orang tua atau bahkan nenek moyang kita hidup di dalam keterbatasan. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Bahkan, menyelesaikan pendidikan dasar atau menengah sudah dianggap suatu pencapaian yang luar biasa. Mereka yang berhasil lulus dari sekolah menengah atas umumnya berasal dari keluarga yang memiliki sumber daya lebih. Sejak lama, terdapat pola yang terlihat: mereka yang memiliki akses semakin maju, sementara yang tidak memiliki akses tertinggal. Apakah ini bukan cerminan dari sistem yang tidak adil?
Aspek kedua yang perlu dipertimbangkan adalah pendidikan. Bagaimana seseorang dapat mencintai membaca jika mereka tidak pernah mendapat pengalaman belajar yang memadai? Kita sering mendengar pernyataan bahwa "masyarakat kita malas membaca," padahal sebenarnya bukan karena malas, tetapi lebih kepada kurangnya akses dan sarana untuk berkembang. Banyak yang ingin belajar, tetapi terhalang oleh biaya, lokasi, atau tanggung jawab hidup. Terkadang, mereka harus membantu orang tua mencari nafkah sebelum memikirkan soal belajar.
Latar belakang sejarah juga tidak boleh dilupakan. Nenek moyang kita hidup dalam masa yang penuh kesulitan seperti penjajahan, konflik, dan perjuangan untuk bertahan hidup. Fokus mereka lebih kepada kelangsungan hidup daripada pendidikan. Pola pikir ini kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya, termasuk kepada kita. Karena itu, tidak mengherankan jika kebiasaan membaca tidak berkembang dengan baik, karena tidak pernah menjadi bagian penting dalam pendidikan keluarga dari generasi ke generasi.
Inilah saatnya untuk memutus siklus budaya ini. Kita perlu berani mengadopsi hal-hal positif dari luar, termasuk dalam hal kebiasaan membaca. Tidak ada salahnya mengikuti jejak negara lain yang telah lebih awal menyadari pentingnya literasi.
Saya percaya bahwa salah satu penyebab rendahnya minat baca terletak pada sistem sosial yang masih terpengaruh oleh feodalisme. Di berbagai daerah, membaca sering kali dianggap sebagai aktivitas untuk kalangan tertentu, seperti ustad, guru, atau orang-orang berpendidikan tinggi. Sementara kita, sebagai siswa atau masyarakat umum, hanya diminta untuk mendengarkan dan tidak melibatkan diri dalam diskusi atau memberikan pendapat.
Padahal, membaca bukan hanya hak orang-orang yang memiliki gelar akademik. Setiap orang berhak untuk menikmati buku dan mengembangkan diri melalui membaca. Kita membutuhkan budaya yang menghargai dan mendukung, bukan yang membatasi.
Dengan demikian, menurut saya, bukan karena orang Indonesia malas membaca. Namun, kita mewarisi sistem dan pandangan yang tidak menciptakan cinta terhadap literasi. Saatnya untuk melakukan perubahan, dimulai dari diri sendiri, dari rumah, dan dari hal kecil seperti membaca satu atau dua halaman setiap hari. Dengan bertahap, semoga ini akan berkembang menjadi budaya baru yang lebih baik.
Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa membaca bukan semata-mata tentang mencari informasi atau pengetahuan. Ini juga merupakan bentuk perlawanan kecil terhadap kehidupan yang cepat dan instan. Ketika kita memilih untuk duduk dan membuka buku, kita sebenarnya memberi kesempatan kepada diri kita sendiri untuk merenung, berpikir, dan berkembang. Dan harapan saya, semoga semakin banyak orang yang berani menempuh jalan ini, jalan sunyi yang bernama membaca.
Jadi ya, menurut saya, bukan orang Indonesia malas baca. Tapi kita mewarisi sistem dan cara pandang yang tidak menumbuhkan cinta terhadap literasi. Sekarang saatnya diubah, dimulai dari diri sendiri, dari rumah, dan dari hal kecil seperti membaca satu-dua halaman setiap hari. Lama-lama, semoga jadi budaya baru yang lebih baik.