Mohon tunggu...
Fiqih Akhdiyatu Salam
Fiqih Akhdiyatu Salam Mohon Tunggu... Writer

Nama: Fiqih Akhdiyatu Salam. Latar Pendidikan. Sarjana Ilmu Komunikasi, Jurusan Public Relations, dan Magister Ilmu Komunikasi, Jurusan Corporate Communication. Sebagai penulis, saya memiliki minat yang kuat dalam berbagi ilmu pengetahuan melalui tulisan. Saya telah menulis berbagai tulisan diberbagai media, seputar Ilmu Parenting, Media Massa, Politik, Propaganda, dan Komunikasi yang efektif di kehidupan sehari-hari. Saya ingin berbagi ilmu pengetahuan yang saya miliki dengan masyarakat luas, dan menuliskan yang belum banyak ditulis di platform media lainnya, serta memberikan perspektif berbeda dari yang lain. Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi saya melalui fiqihucil24@gmail.com] atau IG Fiqihakhdiyatusalam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Buku, Kereta, dan Kebiasaan yang Mulai Langka

1 Mei 2025   13:56 Diperbarui: 9 Mei 2025   05:39 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto saat membaca buku di KRL. Sumber foto pribadi.

Penulis : Fiqih Akhdiyatu Salam, M.I.Kom

Sebelum membahas topik utama tulisan ini, saya ingin memberikan penghargaan yang tinggi kepada penyelenggara yang memilih tema literasi, khususnya mengenai membaca buku. Di era sekarang, kebiasaan membaca sangatlah penting. Kita memerlukan orang-orang yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki kebiasaan baik seperti membaca buku. Sayangnya, minat baca masih belum menjadi budaya yang kuat di masyarakat kita. Tanpa upaya bersama melalui sosialisasi, pendidikan, dan kegiatan seperti acara ini, terasa sulit untuk meningkatkan kebiasaan membaca di kalangan masyarakat.

Yang sering menyedihkan adalah, banyak individu yang basically suka membaca, tetapi jarang memberikan contoh atau mengajak orang lain untuk menumbuhkan minat ini. Sebenarnya, jika bukan kita, siapa lagi?

Saat ini, membaca buku sudah menjadi aktivitas yang cukup langka. Terlebih lagi, dengan banjir informasi dari media sosial dan konten digital yang terus datang tanpa henti. Saya pernah melihat data dari UNESCO pada tahun 2022 yang menyatakan bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya mencapai 0,001%. Bayangkan saja, dari setiap 1. 000 orang, hanya satu yang mempunyai kebiasaan membaca. Jujur saja, angka tersebut membuat saya terkejut. Tidak mengherankan jika kondisi ini dianggap memprihatinkan.

Sebagai seseorang yang mencintai buku, saya sering kali mengalami situasi lucu. Contohnya, ketika saya membaca di tempat umum, banyak yang menduga saya sedang bersiap untuk ujian. Komentar seperti, "Lho, besok ujian ya? " atau "Masih kuliah? Bukannya sudah lulus?" sudah sering saya dengar. Dalam hati saya hanya bisa berpikir, "Apakah membaca buku hanya untuk persiapan ujian? "

Membaca adalah hal yang sama pentingnya dengan kegiatan rutinitas kita, seperti beribadah. Tidakkah membaca seharusnya menjadi kebutuhan juga?

Secara pribadi, saya tidak hanya membaca di rumah atau di perpustakaan. Kadang-kadang saya membawa buku saat berada di taman, naik bus, bahkan dalam perjalanan dengan kereta listrik (KRL) pun saya meluangkan waktu untuk membaca. Namun, reaksi orang-orang di sekitar tetap serupa, mereka terlihat heran. Seolah-olah yang diperbolehkan membaca buku hanyalah mahasiswa, dosen, atau pelajar. Sebenarnya, tidak ada aturan yang membatasi siapa pun dari menikmati bacaan.

Jika kita membandingkan dengan negara lain seperti Jepang atau Tiongkok, suasananya sangat berbeda. Di sana, orang membaca buku di kereta merupakan hal yang biasa. Justru yang aneh ialah jika kita hanya duduk tanpa melakukan apa-apa atau bermain-main dengan hal lainnya. Di sini, justru terbalik. Membuka buku dianggap aneh, sementara menggulir media sosial selama berjam-jam dianggap normal. Ironis, bukan?

Namun, saya juga tidak ingin mengeneralisasi. Tidak semua individu yang memegang ponsel di kereta pasti hanya menggulir video yang tidak berguna. Mungkin saja mereka sedang membaca e-book, artikel, atau berita terbaru. Tapi tetap, kesannya aktivitas membaca buku fisik menjadi sesuatu yang aneh.

Sekarang, mari kita masuk ke dalam pembahasan opini pribadi tentang mengapa rendahnya minat baca kita. Mungkin jawabannya ada pada sejarah dan budaya.

Jika kita jujur, rendahnya minat baca di Indonesia tidak bisa hanya disalahkan kepada generasi saat ini. Ini sebenarnya masalah yang sudah ada sejak lama, mungkin bahkan sejak zaman kolonial. Budaya tidak membaca tidak muncul tiba-tiba, tetapi lahir dari kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan yang tidak merata dari dulu.

Mari kita tinjau dari sudut pandang ekonomi terlebih dahulu. Banyak dari orang tua atau bahkan nenek moyang kita hidup di dalam keterbatasan. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Bahkan, menyelesaikan pendidikan dasar atau menengah sudah dianggap suatu pencapaian yang luar biasa. Mereka yang berhasil lulus dari sekolah menengah atas umumnya berasal dari keluarga yang memiliki sumber daya lebih. Sejak lama, terdapat pola yang terlihat: mereka yang memiliki akses semakin maju, sementara yang tidak memiliki akses tertinggal. Apakah ini bukan cerminan dari sistem yang tidak adil?

Aspek kedua yang perlu dipertimbangkan adalah pendidikan. Bagaimana seseorang dapat mencintai membaca jika mereka tidak pernah mendapat pengalaman belajar yang memadai? Kita sering mendengar pernyataan bahwa "masyarakat kita malas membaca," padahal sebenarnya bukan karena malas, tetapi lebih kepada kurangnya akses dan sarana untuk berkembang. Banyak yang ingin belajar, tetapi terhalang oleh biaya, lokasi, atau tanggung jawab hidup. Terkadang, mereka harus membantu orang tua mencari nafkah sebelum memikirkan soal belajar.

Latar belakang sejarah juga tidak boleh dilupakan. Nenek moyang kita hidup dalam masa yang penuh kesulitan seperti penjajahan, konflik, dan perjuangan untuk bertahan hidup. Fokus mereka lebih kepada kelangsungan hidup daripada pendidikan. Pola pikir ini kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya, termasuk kepada kita. Karena itu, tidak mengherankan jika kebiasaan membaca tidak berkembang dengan baik, karena tidak pernah menjadi bagian penting dalam pendidikan keluarga dari generasi ke generasi.

Inilah saatnya untuk memutus siklus budaya ini. Kita perlu berani mengadopsi hal-hal positif dari luar, termasuk dalam hal kebiasaan membaca. Tidak ada salahnya mengikuti jejak negara lain yang telah lebih awal menyadari pentingnya literasi.

Saya percaya bahwa salah satu penyebab rendahnya minat baca terletak pada sistem sosial yang masih terpengaruh oleh feodalisme. Di berbagai daerah, membaca sering kali dianggap sebagai aktivitas untuk kalangan tertentu, seperti ustad, guru, atau orang-orang berpendidikan tinggi. Sementara kita, sebagai siswa atau masyarakat umum, hanya diminta untuk mendengarkan dan tidak melibatkan diri dalam diskusi atau memberikan pendapat.

Padahal, membaca bukan hanya hak orang-orang yang memiliki gelar akademik. Setiap orang berhak untuk menikmati buku dan mengembangkan diri melalui membaca. Kita membutuhkan budaya yang menghargai dan mendukung, bukan yang membatasi.

Dengan demikian, menurut saya, bukan karena orang Indonesia malas membaca. Namun, kita mewarisi sistem dan pandangan yang tidak menciptakan cinta terhadap literasi. Saatnya untuk melakukan perubahan, dimulai dari diri sendiri, dari rumah, dan dari hal kecil seperti membaca satu atau dua halaman setiap hari. Dengan bertahap, semoga ini akan berkembang menjadi budaya baru yang lebih baik.

Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa membaca bukan semata-mata tentang mencari informasi atau pengetahuan. Ini juga merupakan bentuk perlawanan kecil terhadap kehidupan yang cepat dan instan. Ketika kita memilih untuk duduk dan membuka buku, kita sebenarnya memberi kesempatan kepada diri kita sendiri untuk merenung, berpikir, dan berkembang. Dan harapan saya, semoga semakin banyak orang yang berani menempuh jalan ini, jalan sunyi yang bernama membaca.

Saat memilih buku di Gramedia. Sumber foto pribadi.
Saat memilih buku di Gramedia. Sumber foto pribadi.

Jadi ya, menurut saya, bukan orang Indonesia malas baca. Tapi kita mewarisi sistem dan cara pandang yang tidak menumbuhkan cinta terhadap literasi. Sekarang saatnya diubah, dimulai dari diri sendiri, dari rumah, dan dari hal kecil seperti membaca satu-dua halaman setiap hari. Lama-lama, semoga jadi budaya baru yang lebih baik.

Akhir kata, saya cuma ingin bilang, membaca itu bukan hanya soal mencari informasi atau pengetahuan. Tapi juga bentuk perlawanan kecil terhadap arus kehidupan yang serba cepat dan instan. Saat kita memilih duduk dan membuka buku, sebenarnya kita sedang memberi ruang pada diri sendiri untuk merenung, berpikir, dan berkembang. Dan kalau boleh berharap, semoga makin banyak orang yang berani memilih jalan ini, jalan sunyi yang bernama membaca.

#EventHardiknasClick, #Membacabukudikereta, #EventClick, #ClicKompasiana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun