Mohon tunggu...
Fiahsani Taqwim
Fiahsani Taqwim Mohon Tunggu... Penulis - :)

Penganut Absurditas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Maaf

27 Februari 2021   09:08 Diperbarui: 27 Februari 2021   09:13 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sumber Sono memang terlalu sempit. Kesempitan yang dimaksud adalah dalam konteks pengetahuan, juga pengalaman para warganya. Hal tersebut setidaknya disadari oleh seorang perempuan muda yang lahir di desa tersebut, dan setelah memutuskan untuk merantau sejak usia 15 tahun, dia hanya pulang kampung ketika libur lebaran atau tahun baru. Perempuan muda itu, Halimah namanya, dan anak tunggal adalah takdirnya.

Halimah memiliki seorang tante. Adik kandung dari ibunya. Ketika Halimah memasuki semester lima di universitas, dia mendapatkan kabar dari sang Ibu bahwa tantenya itu sedang kisruh rumah tangganya. Kabar buruk itu disampaikan oleh ibunya secara singkat: omnya Halimah tertangkap basah memiliki wanita simpanan. Sudah tentu, sang Ibu tidak ingin membuat putrinya yang masih sibuk menuntut ilmu ikut kepikiran atau merasa gundah akan permasalahan tersebut.

Sebagai perempuan berpendidikan dan beretika, Halimah segan untuk turut mencampuri dan membahas berlaru-larut permasalahan pribadi adik ibunya itu. Dengan demikian, dia memutuskan untuk cuek saja dan fokus pada sekolahnya. Akan tetapi, sikap acuhnya itu terusik tatkala salah seorang sepupunya, yang tidak lain adalah anak dari kakak sang Ibu malah menelpon Halimah buat menceritakan kronologi lengkapnya. Sangat lengkap. Selengkap-lengkapnya. Halimah sampai dibuat heran, bagaimana mungkin kakak sepupunya itu mengetahui tiap bagiannya secara mendetail.

“Tante Lin pergi ke pengadilan diantar Mama Papaku, Dik Imah.” Kata kakak sepupunya lewat panggilan wasap.

“Oh ya.”

“Iya. Eh, kamu tahu enggak. Om Maksum itu selingkuh. Ya Allah, Dik Imah, selingkuhannya masih umur 20-an. Edannn.”

“Ya Allah. Sumpah. Kok bisa.” Halimah terperangah dan setengah tidak percaya dengan penjelasan anak budenya itu.

Kemudian, sang kakak sepupu menjelaskan kisah cinta antara om mereka bersama wanita muda itu dengan intonasi yang meletup-letup. Antara terlalu semangat atau mungkin juga terlampau geregetan.

Berikutnya, sang kakak sepupu bercerita tentang kondisi tante mereka yang tengah dihadapkan dengan permasalahan pelik ini. Dalam cerita itu, Halimah mampu menangkap bahwa tantenya saat ini tengah terpuruk. Seorang wanita berusia tiga puluh lima, dengan dua anak yang masih kecil akan menjadi janda akibat perceraian yang dipicu oleh perselingkuhan suaminya dengan sosok yang lebih muda. Benar-benar seperti kisah di sinetron, atau drama korea, yang berjudul The World of The Married misalnya. Akibat kejadian tersebut, tantenya menjadi kurus kering dan sakit-sakitan. Ditambah lagi, dua putrinya yang ayu nan lucu berubah bak gelas kaca yang berdebu. Bocah-bocah malang itu tampak lusuh karena kehilangan perawatan dan perhatian dari dua orang tuanya.

Lalu, masalah perceraian ini juga memicu kesakitan psikis yang menembus pula lapisan fisik para Eyang dari Halimah. Mula-mula, Eyang Kakungnya yang sakit parah. Selama sebulan berturut-turut diinfus di rumah sakit karena lemas. Ya bagaimana tidak lemas kalau lelaki tua itu benar-benar kehilangan gairah untuk makan. Robohnya kebugaran mental maupun jasmani Eyang Kakung Halimah disusul pula oleh Eyang putrinya yang tiba-tiba kumat sakit strokenya. Padahal, di masa sebelumnya, wanita tua itu jarang mengalami masalah kesehetan yang berat levelnya. Halimah menduga, para eyangnya itu sakit jiwa dan raganya lantaran menganggap bahwa perceraian tentenya merupakan hal yang memalukan. Apalagi, ini yang sebetulnya menjadi penyebab utama atas kacaunya keadaan tersebut adalah: Eyang putrinya Halimah sangat membanggakan omnya yang bajingan itu. Menantu paling bungsu adalah yang paling kaya, paling terlihat cerdas sekaligus modern, dan hal itulah yang membuat omnya Halimah menjadi kesayangan.

“Masak sih ibumu enggak cerita apa-apa. Haduhh. Rame di sini rame.”

“Ibuku cuma bilang kalau Eyang sakit. Terus aku disuruh banyak-banyak berdoa buat kesembuhan Eyang. Tapi tidak cerita banyak. Lagi pula, aku kan jauh. Pasti dianggap tidak terlalu berguna kalau pun diberi banyak cerita.”

“Iya juga sih. Kalau aku kan memang satu kampung dengan Tante Lin, Eyang, dengan ibumu juga.  Jadi, ya sudah pasti banyak yang aku dengar.”

“Terus-terus, apa lagi?” tanya Halimah penasaran karena kali ini dia menyadari bahwa dia telah ketinggalan sangat jauh. Halimah berpikir, kalau sudah seheboh itu, berarti urusan ini adalah masalah keluarga besar, tidak hanya antara tante dan omnya yang bercerai saja. Dengan demikian, dia juga berhak tahu.

“Dik Imah, kamu tahu enggak, gara-gara masalah ini, keluarga kita jadi bahan omongan. Di mana-mana semua orang bergosip, ngomongin kita.”

Halimah bisa membayangkan betapa ramai tanah kelahirannya dengan berita menggemparkan ini. Seorang putri bungsu pasangan Pak Haji dan Bu Hajah terpandang di kampung, menggugat cerai suaminya yang ketahuan berselingkuh. Semakin semarak, lantaran omnya Halimah adalah penduduk asli kampung Sumber Sono. Dengan demikian, meletuslah perang saudara dalam satu kampung tersebut dikarenakan setiap kerjadian yang diceritakan itu pasti memiliki dua versi. Pihak keluarga besar omnya Halimah tidak akan berpangku tangan melihat putra terbaik mereka dipojokkan dan dianggal tidak bermoral seperti itu.

“Ibu mertuanya Tante Lin dan anak-anaknya yang lain datang ke rumah Eyang. Ibu mertuanya sih cuma menangis, tapi adik-adiknya Om Maksum itu, ya ampun, marah-marah tidak jelas dan meminta semua uang yang pernah diberikan oleh Om Maksum dikembalikan. Ya kali, masak uang makan bakso, uang bayar parkir, dan lain-lainnya diminta juga. Goblok sekali. Amit-amit…….. Dik Imah, untung kamu tidak ada di rumah saat itu. Aku yang cuma bisa mendengar dari rumah sebelah saja campur aduk rasanya. Padahal aku tidak menghadapi langsung. Bayangkan, bagaimana Ibu kita yang saat itu di sana menemani Eyang.!”

Halimah menghela napas panjang sekali. Dia marah tanpa mengeluarkan emosi kepada omnya yang seperti binatang itu. Dalam benak Halimah, bagaimana pun, omnya adalah biang keladinya.

“Mbak, apakah mereka juga rebutan anak?” Tanya Halimah kepada Kakak sepupunya.

“Jelas.”

“Lalu, Tante Lin dapat hak asuhnya?”

“Ya iyalah. Orang pengadilan juga tidak bodoh. Mereka paham kalau Om Maksum yang salah.”

“Oh. Terus, untuk urusan nafkah bagaimana? Tante Lin kan tidak bekerja. Dia cuma bergantung kepada Om Maksum selama ini.”

“Ya Tante Lin kasih makan anaknya pakai uang pensiunan Eyang. Mau bagaimana lagi. Putusan pengadilan cuma mewajibkan Om Maksum menafkahi empat juta perbulan.”

Halimah melongo panjang. Bagaimana mungkin tantenya yang sangat kapitalis itu akan bertahan dengan uang empat juta dalam sebulan. Kehidupan terdahulu sebagi istri seorang staf BUMN membuat dirinya punya kesempatan untuk berbelanja dan menghabiskan uang sesuka hati. Bahkan, tantenya itu dapat keleluasaan untuk pamer kepada para kakak serta tetangganya di Sumber Sono. Mampuslah dia. Roda kehidupan betul-betul berputar.

***

Pada tahun ketiga pascacerai, Halimah yang tengah berada di Sumber Sono karena tengah libur lebaran mendapati kenyataan bahwa om dan tantenya yang telah bercerai akan segera rujuk. Alasannya klise: demi para anak.

Halimah mendengar sendiri tangis dan rayu om serta tantenya itu kepada ibunya kala memohon restu untuk menikah lagi. Tidak hanya kepada ibunya, bahkan kepada bapaknya juga. Halimah mendengar Bapaknya yang bijak berkata dengan penuh wibawa, “Mas enggak mau terlibat. Dahulu sebelum kalian cerai, kan Mas dan Mbak sudah ingatkan. Coba kalau dulu kalian nurut, pasti tidak ada acara nikah balikan seperti ini”

Senada dengan bapaknya, ibunya Halimah yang cenderung pendiam pun hanya bisa mendoakan yang terbaik. Akan tetapi, wanita itu tidak mampu menahan tangisnya tatkala teringat kepada mendiang Eyang putri Halimah yang meninggal akibat strok. Para anggota keluarga besar ibunya meyakini bahwa sakit fatal yang diderita oleh Eyang putrinya itu tidak lain adalah karena tidak sanggup menanggung beban karena ulah menantu kebanggaannya itu.

Sebelum om dan tantenya itu bersimpuh memohon restu kepada bapak dan ibunya, terlebih dahulu mereka pergi ke rumah sebelah. Di sana adalah rumah Pakde dan Bude Halimah, yang tidak lain adalah para orang tua kakak sepupu Halimah sang sumber informan atas semua yang terjadi di keluarga besar mereka ketika Halimah pergi merantau.

Dari kakak sepupunya itulah, Halimah mendapatkan kabar tentang bagaimana prosesi permohonan restu yang dilakukan oleh keduanya di rumah tersebut.

“Jijik aku mendengar tangisnya. Apa mereka tidak ingat dulu kisruhnya seperti apa. Bikin malu keluarga. Sampai membuat Eyang Uti meninggal.” Kata kakanya melalui rekaman voicenote wasap. 

“Sama. Aku juga.” Kata Halimah dengan tegang.

Diam-diam, dia juga menyimpan dendam kepada om, juga tentenya itu. Walau pada awalnya dia hanya merasa kesal dengan omnya, namun seiring berjalan waktu, Halimah menaruh sebal juga kepada tantenya. Halimah berpikir, andai saja sang tante memilih suami yang tidak berdasarkan harta, namun berpatokan kepada ilmu dan akhlak seperti yang dilakukan oleh ibunya, sudah pasti tidak akan seperti ini jadinya. Atau, andai saja sang tante yang selalu mengikuti suaminya berdinas di kota metropolitan dan hanya pulang ke rumah saat lebaran itu tidak memutuskan buat membawa masalah rumah tangganya hingga ke Sumber Sono, sudah pasti aib sekaligus perang saudara sebesar itu tidak akan meledak di kampungnya. Dia juga makin benci kepada tantenya yang ketika keluarga omnya menyerang keluarga besarnya habis-habisan dengan amunisi berupa pernyataan-pernyataan tidak kredibel, sang tente itu malah terpancing dan membuat keadaan semakin runyam.

Ketika diumbar kejelekannya, sang tante mengumbar balik keburukan mantan suaminya. Ujaran demi ujaran kebencian itu terus berputar dan berkembang tanpa mereka sadari akan membahayakan diri mereka sendiri jika tidak segera diputus. Coba bayangkan, gara-gara acara saling menjelekkan ini, betapa banyak orang di Sumber Sono yang menjadi tahu aib mereka masing-masing.

“Mbak Lin tidak jago di ranjang. Makanya Mas Maksum bosan.” Kata salah satu anggota keluarga omnya Halimah.

“Loh, sebentar. Jangan salahkan aku dulu. Si Maksum itu memang mesum. Coba tanya langsung ke orangnya, berapa banyak pelacur yang sudah dia nafkahi sebelum dengan yang sekarang ini? ” kata tantenya Halimah membela diri.

“Mas Maksum cari uang siang malam dan Mbak Lin cuma bisa menghabiskannya. Makanya dia mencari pelarian, Mbak. Buat menghibur dirinya sendiri. ”

“Tugas suami memang menafkahi. Aku sudah menyiapkan segalanya di rumah, kenapa masih perlu hiburan lain.”

“Mbak Lin tertalu cerewet, Mas Maksum tidak tahan.”

“Si Maksum itu bejat. Menyesal aku menikah dengan buaya darat seperti dia. Ya Allah kasian sekali anakku punya bapak yang akhlaknya rusak. Coba tanyakan, sudah berepa perempuan yang dia hamili. Aku punya bukti. Ada semua buktinyaaaaaa!!!!”

“Mbak Lin kurang ini…..”

“Maksum tidak pernah bisa ini….”

Pertengkaran dua kubu itu meletus selama berbulan dan menjadi sesuatu yang aktual di berbagai sudut Sumber Sono. Dan menurut Halimah, baik keluarga besar omnya, maupun keluarganya menyikapi masalah ini dengan sangat norak. Begitu tidak elegan sampai melibatkan Pak Lurah dan warga lainnya.

Lalu, mereka hendak rujuk. Yang benar saja. Sudah pasti ini akan memicu skandal jilid II dengan bintang utama om dan tantenya di Sumber Sono. Apa mereka tidak ingat pernah saling menuduh, saling menjelekkan, saling menjatuhkan? Kenapa sekarang mau bersama lagi. Apa lagi sih yang tersisa dari kerunyaman yang telah mereka ciptakan selain kerunyaman itu sendiri. Di mata Halimah, biar bagaimana pun keluarga kecil tantenya sudah cacat. Tidak akan bisa kembali sempurna seperti semula. Walau sekarang omnya telah berubah menjadi lebih religius, sering pergi ke masjid dan memelihara jenggot. Begitu pula dengan tantenya yang sekarang lebih rutin bersedekah dan tidak konsisten pamer lagi kepada para sanak saudara lainnya.

Dalam hatinya, Halimah yakin bahwa keberlangsungan rumah tangga mereka di hari selanjutnya tidak akan berjalan lancar. Apalagi, setelah omnya mengakui bahwa dia memang betul-betul punya seorang anak lelaki dari istri mudanya, yang telah diceraikan demi bisa menikah lagi dengan sang tante.

“Jangan percaya kepada lelaki yang sudah pernah ketahuan selingkuh. Suatu hari nanti dia pasti akan kambuh lagi, sebab selingkuh itu penyakit.” Kata salah seorang teman sekelas Halimah di universitas. Dia sangat mempercayai keabsahan pernyataan tersebut karena yang menyatakannya adalah seorang tukang selingkuh kelas kakap. Menurut Halimah, satu pernyataan akan benar apabila dibuktikan, atau disampaikan langsung oleh pelaku yang sudah sangat berpengalaman.

Dengan demikian, Halimah beranggapan bahwa tantenya itu sangat naïf, dan omnya benar-benar binatang.

Halimah yang lebih peka, juga berpengetahuan, bersiap menyusun rencana untuk mencegah adanya prahara yang diprediksinya.

***

Om dan tante Halimah telah resmi menikah dan mereka kembali ke meninggalkan Sumber Sono seperti sedia kala. Berpindah dari satu kota menuju kota lainnya. Sampai pada suatu ketika, Halimah berada dalam satu kota yang sama dengan keduanya: Jakarta. Halimah pikir, ini adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan prediksinya!

Dia mulai rutin berkunjung ke apartemen om dan tantenya di Jakarta. Saat melakukan kunjungan sekaligus pengintaian, Halimah akan membawa kue atau makanan yang disukai oleh semua orang dalam anggota keluarga itu. Halimah cukup senang karena tantenya sekarang betul-betul berubah dan menjadi pribadi yang tidak terlalu suka pamer seperti dulu. Apabila sebelum prahara rumah tangga yang menimpanya sang tente punya sifat sombong dan suka pamer dengan level delapan, sekarang menurun menjadi empat. Sudah berkurang setengahnya. Lumayan. Begitu pikir Halimah.

Terkadang, Om dan tantenya meminta Halimah untuk bermalam di apartemen mereka kalau hujan tengah turun dengan sangat lebat. Halimah akan diminta untuk berbagi kamar dengan putri bungsu pasangan rujuk tersebut yang baru berusia delapan tahun. Sebelum tidur, mereka akan terlebih dahulu bertukar cerita, dan kadang berfoto bersama dengan kamera depan telepon genggam pintar masing-masing. Pokoknya, dua anak-beranak ini rukun sekali. Sebab, Halimah punya cita-cita untuk menjaga sang adik sepupu yang lugu ini. Dia bahkan sempat ingin mengajak gadis kecil itu pergi bersamanya dan menjauhkannya dari orang tuanya yang tidak sempurna.

Suatu malam di mana hujan turun dengan lebat, saat tantenya sedang berada di kamar mandi, kedua adik sepupunya asyik menonton TV, dan omnya sedang menikmati secangkir kopi susu buatan Halimah, dan dirinya sendiri sedang mencuci piring, tiba-tiba dia merasakan tangan omnya sudah berpindah berada di pundaknya. Jantung Halimah langsung berdebar sangat kencang. Telapak tangan kakinya menjadi dingin seketika. Dia berusaha menyembunyikan ketakutannya dan mencoba untuk berpikir jernih.

Dia teringat akan salah seorang teman di universitasnya yang merupakan tukang selingkuh kelas kakap. Ketika dahulu sekali Halimah bertanya kepada temannya itu, “Apakah menurutmu tanteku harus memaafkan suaminya?”, maka sang teman menjawab tegas, “Jangan. Jangan sampai memberi maaf!”

“Memangnya kenapa?” Tanya Halimah lagi.

“Bodoh itu namanya.”

“Tapi, Tuhan saja memberi maaf, masak manusia tidak bisa.”

“Ya justru karena kita ini cuma manusia, Say. Kita tidak maha pengampun seperti Gusti Allah.”

Halimah menghela napas lalu menjauh dari Omnya. Dia menatap lekat lelaki cabul itu dengan mata penuh wibawa dan daya. Dia berikan senyum indahnya. Cantik sekali. Sebuah keindahan ala kembang berumur dua puluhan yang sedang mekar-mekarnya.

“Berengsek. Omku yang cabul ini, rupanya titik kelemahannya adalah sang dara muda.” Begitu gumam Halimah.

Ketika dia melihat tanda-tanda bahwa sang tante akan keluar dari kamar mandi, Halimah segera menjauh dari dapur dan menyusupkan diri di antara dua adik sepupunya. Saat dia lihat smartphone miliknya, ada sebuah pesan singkat dari Omnya: kamu akan pulang ke Sumber Sono kan, weekend minggu depan kita berangkat bareng yuk. Berdua saja tapi. Jangan bilang Tante ya. 

Halimah tersenyum tipis. Dia teringat akan banyaknya foto dirinya sebelum tidur yang tersimpan di smartphone milik adik sepupunya.

                                                                                  Sda, Februari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun