Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Narasi Batinmu Menentukan Jalan Hidupmu

16 Juli 2025   17:27 Diperbarui: 16 Juli 2025   18:53 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Pexels from Pixabay 

Pernah nggak sih, bangun pagi terus merasa kayak semua akan kacau? Padahal belum apa-apa, belum ngapa-ngapain, belum cek saldo, belum cek grup kerja. Tapi kepala udah ramai: "Hari ini pasti berat. Hidup kok begini terus ya?"

Lucunya, kadang kita pikir itu perasaan. Padahal itu narasi. Cerita yang kita ulang diam-diam di kepala. Dan anehnya, begitu cerita itu kita percayai... tiba-tiba semesta kayak ikut kerja sama. Ketinggalan bus. Bos nyolot. Deadline nyantol. Dunia pun terlihat sepakat: "Tuh kan, hidup emang kacau."

Tapi tunggu dulu---bagaimana kalau yang bikin kacau itu bukan dunia, tapi cerita yang kita pegang tentang dunia itu sendiri?

Dalam psikologi, ini dikenal sebagai confirmation bias---pikiran kita mencari bukti dari apa yang sudah kita percaya. Dalam tasawuf, ini seperti bisikan hati yang diulang-ulang hingga membentuk takdir. Dan dalam neurosains, ini bukan cuma teori, tapi pola biologis yang mengatur hormon, stres, bahkan arah hidup kita.

Maka sebelum mengubah dunia di luar sana, mungkin kita perlu menyusun ulang dunia dalam kepala---dan lebih penting lagi, dalam hati.

Pikiran Mencari Bukti, Bukan Kebenaran

Otak manusia itu canggih, tapi juga licik. Ia bukan pencari kebenaran, melainkan tukang bukti dari apa yang sudah kamu yakini.

Dalam dunia psikologi, fenomena ini dikenal sebagai confirmation bias---kecenderungan untuk menyaring, memilih, dan menyusun informasi yang sejalan dengan kepercayaan yang kita pegang sebelumnya. Bukan karena otak kita jahat, tapi karena ia butuh konsistensi.

Bayangkan seseorang percaya bahwa dirinya selalu gagal. Maka otaknya akan menjadi seperti pengacara yang sangat berdedikasi:

  • Ia akan mengutip momen-momen ketika nilai ujian jeblok,
  • Mengulang dialog saat ditolak kerja,
  • Bahkan menyelipkan komentar iseng dari teman sebagai bukti tambahan.
    "Lihat kan? Aku emang nggak bisa apa-apa."
    Dan anehnya, bukti-bukti ini terasa sah. Rasional. Nyata. Padahal, banyak momen keberhasilan kecil yang diabaikan begitu saja.

Inilah bahayanya framing.
Misalnya: kegagalan.

  • Dalam framing negatif: "Aku bodoh, makanya gagal."
  • Dalam framing reflektif: "Aku belajar satu hal baru lewat kegagalan ini."
    Padahal faktanya sama. Tapi cara membungkusnya berbeda. Dan itulah yang membentuk emosi, lalu menjadi realitas yang kita rasakan.

Pikiranmu bukan jendela netral ke dunia, tapi lebih seperti kamera yang lensanya kamu pilih sendiri. Dan kabar buruknya: kalau lensanya buram, hidup pun terlihat suram. Tapi kabar baiknya: lensa itu bisa diganti.

Ketika Hati Menyimpan Cerita yang Salah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun