Kalau pikiran itu ibarat tukang cat, maka hati adalah dinding tempat semua warna melekat. Dan sering kali, dinding itu sudah lebih dulu bernoda sebelum catnya datang.
Dalam tasawuf, hati (qalb) adalah pusat kesadaran sejati. Bukan sekadar tempat perasaan lewat, tapi ruang spiritual yang bisa menangkap cahaya, ilham, bahkan petunjuk ilahi. Tapi... ada satu syarat: hati itu harus bersih dari cerita lama. Cerita yang menyimpan luka, prasangka, dan keburukan.
Seorang sufi tak menolak kenyataan. Tapi ia tidak mau tinggal terlalu lama dalam narasi yang menyakitkan. Karena ia tahu, cerita yang diulang dalam hati bisa berubah menjadi doa yang diam-diam dikabulkan.
Kalau dalam psikologi kita bicara tentang framing, maka dalam tasawuf kita bicara tentang husnuzhan---berbaik sangka. Bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada diri sendiri dan alur kehidupan.
Karena apa gunanya zikir di bibir jika hati terus mengulang narasi "aku ini buruk," "aku ini gagal," atau "aku nggak pantas dicintai" Dzikir bukan mantra sulap. Ia adalah alat edit ulang batin. Sebuah cara untuk mencetak ulang narasi dari keluhan menjadi pujian. Dari keraguan menjadi penerimaan.
Syaikh Ibnu Athaillah pernah menulis dalam al-Hikam:
"Apa yang tampak di dunia luar hanyalah cerminan dari isi batinmu."
Dan kita semua pernah mengalaminya---saat batin tenang, dunia terasa lebih damai, meski tagihan tetap datang. Tapi saat hati penuh kemarahan, jangankan hidup, suara nyamuk pun bisa terasa provokatif.
Maka membersihkan hati bukan sekadar kerja spiritual. Itu kerja membongkar narasi.
Melihat luka tanpa mengulang-ulang kisahnya.
Melihat hidup tanpa menyumpahi takdirnya.
Melihat diri tanpa menyesali jalannya.
Karena bisa jadi, dunia di sekitarmu hanya sedang memantulkan cerita yang kamu simpan dalam hati.
Otak dan Tubuh Merespons Cerita Kita
Cerita yang kamu ulang dalam hati itu bukan hanya berdiam di sana. Ia merambat. Ke otak. Ke tubuh. Ke sistem saraf. Bahkan ke detak jantung.