"Inilah jalan Ki Hadjar Dewantara, jalan yang perlu kita hidupkan kembali demi aspirasi pendidikan bermutu untuk semua"
Ketika Ki Hadjar Dewantara merumuskan falsafah pendidikannya lebih dari seabad lalu, beliau tidak sekadar membicarakan soal sekolah, kurikulum, atau nilai ujian. Bagi beliau, pendidikan adalah jalan untuk memerdekakan manusia. Pendidikan bermutu, menurut Ki Hadjar Dewantara, bukanlah pendidikan yang hanya mencetak anak pandai menghitung atau menghafal, melainkan pendidikan yang menumbuhkan manusia yang berkarakter, berbudaya, serta mampu berdiri tegak di tengah masyarakatnya.
Tiga falsafah beliau yang legendaris "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" sebenarnya bisa dipandang sebagai kerangka mutu pendidikan itu sendiri. Di depan, pendidik harus menjadi teladan; di tengah, ia harus membangkitkan semangat; dan di belakang, ia memberi dorongan agar anak bisa mandiri.
Dengan cara ini, pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan proses hidup bersama, membimbing anak-anak agar tumbuh sesuai kodratnya.
Ki Hadjar juga menekankan pentingnya pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa. Ia menolak pendidikan kolonial yang hanya meniru Barat tanpa memperhatikan realitas Indonesia. Baginya, pendidikan bermutu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya sendiri: menghormati tradisi, memahami kondisi sosial-ekonomi, sekaligus membuka jalan bagi kemajuan.
Pendidikan bukan proyek menyalin sistem luar, melainkan upaya membangun manusia yang siap menghadapi dunia dengan jati diri bangsa.
Sayangnya, falsafah sederhana ini sering kali kita lupakan. Pendidikan kita lebih banyak diukur lewat kurikulum baru, metode instan, dan target angka. Padahal Ki Hadjar sudah mengingatkan, mutu pendidikan sejati lahir dari manusia yang hidup di dalamnya terdapat guru, murid, orang tua, dan masyarakat, bukan dari dokumen administrasi semata.
Lantas, bagaimana situasi dan kondisi pendidikan kita saat ini?
Jika kita menengok kondisi pendidikan Indonesia hari ini, tantangannya jelas masih besar. Di satu sisi, pemerintah berusaha melakukan berbagai terobosan, misalnya Kurikulum Merdeka, digitalisasi pembelajaran, dan program guru penggerak.
Di sisi lain, masih banyak masalah mendasar yang belum terselesaikan: ketimpangan mutu antara kota dan desa, beban administrasi guru yang berlebihan, serta sistem seleksi yang masih menekankan hafalan dan ujian standar.