Pertanyaan tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia seakan terus muncul dari waktu ke waktu. Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan fenomena ini, tapi menurut saya, dua hal yang paling menonjol adalah pendidikan dan ekonomi.
1. Pendidikan: "Mangut-Mangut" Sejak Kecil
Sejak kecil, sebagian besar dari kita tidak terbiasa dilatih berpikir kritis. Anak-anak sering kali diarahkan hanya untuk mengikuti, tanpa diberi ruang mengemukakan pendapat. Ketika ada yang berani berbeda, biasanya langsung ditegur dengan kalimat semacam: "Tahu apa kamu, masih kecil?"
Kebiasaan seperti ini membuat rasa ingin tahu jadi tumpul. Padahal, membaca adalah salah satu pintu untuk melatih logika, menumbuhkan imajinasi, sekaligus membuka cakrawala berpikir yang lebih luas.
2.Ekonomi: Membaca Tak Jadi Prioritas
Dari sisi ekonomi, alasannya juga cukup masuk akal. Bagaimana mau membeli buku atau meluangkan waktu membaca, kalau kebutuhan dasar sehari-hari saja masih harus dipikirkan? Membaca Filosofi Teras atau Negeri 5 Menara mungkin terasa "tidak relevan" ketika pikiran lebih banyak dipenuhi soal bagaimana caranya memenuhi kebutuhan besok. Akhirnya, membaca sering dianggap sebagai kegiatan buang-buang waktu dibanding mencari nafkah.
Pengalaman Pribadi
Kalau saya pribadi, membaca justru menjadi bentuk pelarian. Saat suasana keluarga tidak nyaman, saya memilih untuk larut dalam buku. Rasanya seperti menemukan dunia baru yang memberi ruang untuk bernapas lebih lega.
Ketika menjadi orang tua, saya semakin yakin bahwa membaca bukan sekadar kebiasaan, tapi teladan.
Saya sering mengajak anak memperhatikan iklan di TV atau jalan, lalu meminta mereka membacanya keras-keras.
Koleksi buku saya (yang sebagian besar komik) ternyata membuat mereka sadar: kalau ingin tahu sesuatu, ya harus dibaca sendiri, bukan selalu menunggu orang lain membacakan.
Bahkan, saya membiasakan mereka menyalin cerita dari buku atau komik. Awalnya hanya untuk melatih tulisan supaya rapi, tapi ternyata itu juga mendorong mereka untuk lebih sering membaca.