Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Penulis Multitalenta, Pengamat Sosial, Pemerhati AI, Pelaku Pasar Modal

Penulis multidisipliner yang aktif menulis di ranah fiksi dan nonfiksi. Fokus tulisan meliputi pendidikan, politik, hukum, artificial intelligence, sastra, pengetahuan populer, dan kuliner. Menulis sebagai kemerdekaan berpikir, medium refleksi, ekspresi ilmiah, dan kontribusi budaya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bangsa Besar Bukan yang Banyak Bicara, Tapi Banyak Membaca!

1 Mei 2025   08:39 Diperbarui: 1 Mei 2025   08:39 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka yang membaca, berpikir.

Mereka yang berpikir, memimpin.

Dan mereka yang memimpin dengan cerdas---itulah pembawa perubahan sejati

Banyak bangsa di dunia mengalami lonjakan kemajuan karena satu kebiasaan sederhana: membaca. 

Namun di Indonesia, budaya membaca belum menjadi kebutuhan pokok seperti halnya makan atau bersosial media. 

Seringkali orang lebih tertarik menonton video pendek ketimbang membaca tulisan reflektif dan kritis. 

Akibatnya, kualitas berpikir pun melemah, dan bangsa ini tertinggal bukan karena kekurangan sumber daya, tetapi karena malas membuka halaman demi halaman ilmu.


Membaca adalah Kebiasaan Orang Besar

Tokoh-tokoh besar dunia---dari Soekarno, Bung Hatta, sampai Elon Musk dan Barack Obama---adalah pembaca rakus. Mereka tidak menunggu ilmu datang dalam bentuk video viral. Mereka mencari, membaca, merenung, dan menulis kembali. Itu sebabnya mereka mampu berpikir jauh ke depan.

Membaca sebagai Proses Kognitif Tingkat Tinggi

Membaca bukan sekadar mengenali huruf. Ia adalah latihan otak, seni menalar, dan jalan menuju kemampuan berpikir kritis. 

Dibandingkan dengan menonton video, membaca memaksa otak untuk:

* Menyusun makna sendiri.

* Mengolah informasi secara aktif.

* Memperluas kosa kata dan struktur berpikir.

Orang yang suka membaca lebih terbiasa menyerap ide kompleks, berargumen logis, dan memahami konteks luas---semua ini tak didapat dari hiburan visual instan.

Maka tak heran, penelitian menunjukkan bahwa pembaca aktif cenderung memiliki IQ verbal dan kemampuan analisis yang lebih tinggi.

Malas Membaca = Malas Menganalisis

Ketika seseorang meminta tulisan diubah jadi video karena malas baca, itu tanda lemahnya daya tahan intelektual. 

Padahal bangsa besar lahir dari masyarakat yang mau berpikir panjang, bukan yang minta serba cepat.

Negara Maju Adalah Negara Membaca

* Jepang punya budaya membaca sangat tinggi, bahkan di kereta umum pun orang membaca buku.

* Jerman, Finlandia, dan Korea Selatan memasukkan literasi membaca dalam strategi nasional pembangunan.

* Sementara di Indonesia, data UNESCO (meskipun sering diperdebatkan validitasnya) menunjukkan minat baca masih sangat rendah.


Hasil Rilis PISA dan UNESCO

Skor rata-rata membaca: 359 poin, jauh di bawah rata-rata OECD yang sebesar 476 poin (gpseducation.oecd.org, 2022)

PISA Indonesia (rilis terakhir: 2022):

* Literasi membaca: Indonesia berada di bawah rata-rata OECD.

* Skor Indonesia berada di kisaran 371, sedangkan rata-rata OECD sekitar 487.

* Hanya sekitar 30% siswa Indonesia yang mencapai level kompetensi minimal dalam membaca (Level 2 ke atas).

* Artinya: Banyak siswa Indonesia masih kesulitan memahami makna teks yang panjang, menyimpulkan informasi, atau menilai argumen dalam teks tertulis.

Beberapa penyebab menurut analisis PISA dan berbagai studi:

* Kurangnya budaya membaca sejak dini di rumah dan sekolah.

* Kurikulum yang masih terlalu menekankan hafalan, bukan pemahaman.

* Akses ke buku dan bahan bacaan berkualitas masih minim, terutama di daerah terpencil.

* Gawai lebih sering digunakan untuk hiburan daripada membaca teks bermakna.

Hampir tidak ada siswa Indonesia yang mencapai Level 5 atau lebih tinggi dalam membaca, sementara rata-rata OECD adalah 7%.(oecd.org, 2022)

PISA memberi konfirmasi kuat dan terstandar bahwa literasi membaca di Indonesia masih memprihatinkan.

UNESCO:

UNESCO memang sering menyebut angka 0,001 untuk indeks minat baca Indonesia, artinya hanya 1 dari 1.000 orang yang benar-benar memiliki minat baca tinggi. 

Meski sering diperdebatkan validitasnya (karena metode pengukurannya tidak transparan), tren rendahnya minat baca memang konsisten dengan temuan PISA dan studi-studi lokal.

Menonton itu Pasif, Membaca itu Aktif

Video bisa menjadi pelengkap, tapi bukan pengganti nalar. Seseorang bisa menonton tanpa berpikir, tapi tak bisa membaca serius tanpa berpikir.

Dampak Malas Membaca dalam Skala Nasional

* Meningkatnya hoaks karena rendahnya kemampuan literasi kritis.

* Lemahnya argumen publik.

* Rendahnya kualitas pemimpin karena rakyat tidak terbiasa memilih berdasarkan isi, melainkan impresi.

Jika bangsa ini ingin maju, solusinya bukan sekadar infrastruktur dan teknologi, tapi pembangunan budaya literasi. Karena bangsa besar bukan yang banyak bicara, tapi yang banyak membaca.

Mereka yang membaca, berpikir.

Mereka yang berpikir, memimpin.

Dan mereka yang memimpin dengan cerdas---itulah pembawa perubahan sejati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun