Namun, fakta korban sipil begitu banyak menunjukkan bahwa tindakan mereka tidak hanya sekadar perang melawan Hamas, tetapi juga menghancurkan kehidupan warga Palestina secara sistematis.
Tindakan Israel memang sudah sangat jauh melewati batas. Perampasan tanah, penghancuran rumah-rumah warga Palestina, dan blokade ketat yang membuat rakyat Gaza hidup dalam penderitaan adalah bukti nyata bahwa ini bukan sekadar konflik biasa, tapi bentuk kolonialisme modern.
Yang paling menyedihkan adalah bagaimana anak-anak dan bayi pun menjadi korban. Inkubator rumah sakit yang mati karena blokade listrik, sekolah-sekolah yang dibom, dan anak-anak yang kehilangan seluruh keluarganya---ini semua bukan lagi sekadar "kerugian perang" tapi indikasi kejahatan kemanusiaan yang disengaja.
Israel beralasan bahwa mereka menyerang Hamas, tapi faktanya, mayoritas korban adalah warga sipil tak bersalah.Â
Kalau tujuan mereka hanya menghancurkan Hamas, kenapa justru yang jadi korban adalah perempuan dan anak-anak? Ini yang membuat banyak orang percaya bahwa serangan ini bukan sekadar perang melawan kelompok bersenjata, melainkan usaha sistematis untuk melenyapkan rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri.
Jika dunia tetap membiarkan ini terjadi, ini akan menjadi preseden berbahaya. Hari ini Palestina, besok bisa saja negara lain mengalami hal yang sama.
Analisis hukum dalam kasus ini bisa dilihat dari perspektif Hukum Humaniter Internasional (HHI), khususnya Prinsip Proporsionalitas dan Prinsip Pembedaan dalam Konvensi Jenewa 1949 serta Statuta Roma 1998.
1. Prinsip Proporsionalitas
HHI melarang serangan yang menyebabkan korban sipil berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang diperoleh.
Jika tujuan Israel adalah membebaskan sandera dan menghancurkan Hamas, namun menewaskan lebih dari 40.000 warga Palestina, maka ada dugaan kuat pelanggaran proporsionalitas.
2. Prinsip Pembedaan