Mohon tunggu...
FAIZ FATURROHMAN
FAIZ FATURROHMAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

MAHASISWA SASTRA INGGRIS UIN JAKARTA.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Two Words: Indonesia Version

20 Desember 2022   12:46 Diperbarui: 20 Desember 2022   12:52 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari di malam bulan purnama yang indah, seekor burung terbang diatas Keraton Kerajaan Wonosari yang sedang menyambut putra kedua dari Raja Wijaya yang baru lahir. Pada saat itu Kumara yaitu istri Raja Wijaya melahirkan anak keduannya di malam bulan purnama. Burung tersebut bukanlah burung biasa, tetapi burung itu berasal dari Lentera yang sedang menjalankan misinya atas perintah Ratu. Lentera adalah kerajaan keluarga penyihir yang dipimpin oleh Kanjeng Ratu Nyai Buyung, kerajaan ini terbentuk karena keluarga penyihir yang diasingkan dan diusir dari Wonosari karena dianggap meresahkan oleh Raja Wijaya. Karena mereka selalu menentang perintah Raja dan memberontak dengan membuat kerusuhan di kerajaan yang menyebabkan mereka di usir dari Wonosari.

Burung tersebut terbang memutar dan bergegas kembali ke Lentera, lalu burung itu hinggap di jendela suatu ruangan yang gelap dan menghampiri Ratu yang sedang duduk di singgahsananya.

Ratu: "apa yang membuat mu kembali dengan cepat Wanita Tua?."

Lalu burung itu tiba-tiba berubah menjadi seorang wanita tua yang menyeramkan, lalu ia berkata:

Wanita Tua: "aku membawa kabar yang entah baik atau buruk untukmu Ibu." Sambil tertawa dengan menyeramkan.

Ratu: "jika itu bukan tentang Wonosari, pergilah... jangan menggangguku atau aku akan penggal kepalamu lagi."

Wanita Tua: "hahahahaha" tertawa terbahak-bahak dengan nada yang menyeramkan. "kau akan menyesal jika tidak mendengarkanku" sambil berbalik badan dan menyombongkan diri.

Ratu: menghela nafas dan berkata "baiklah cepat, katakan kepadaku."

Wanita Tua: "Wonosari telah kehadiran calon putra mahkota baru"

Ratu: "apa maksudmu?."

Wanita Tua: "Kumara telah melahirkan seorang anak laki-laki. Apakah mantra yang kau gunakan itu gagal?."

Ratu: "apaa..???" Ratu sangat terkejut  dengan raut muka yang marah dan berdiri dari singgahsananya. "itu sangat mustahil... aku sudah mengutuknya agar dia tidak melahirkan seorang bayi laki-laki, tidak mungkin mantraku salah alamat." Dengan raut muka yang bingung. "baiklah jika begitu, aku tidak akan tinggal diam."

Wanita Tua: "apa yang akan kau lakukan?."

Ratu: "tidak ada pilihan lain... aku akan menyerang Wonosari malam ini juga. Aku ingin kau menyiapkan pasukan secepat mungkin"

Wanita Tua: "baik Ibu" sambil tertawa. "inilah yang aku tunggu hahaha... akhirnya Ibu akan membalaskan dendamnya, ini akan menjadi malam yang tak terlupakan bagi Wijaya"

Kembali ke Keraton.

Raja menghampiri Kumara bersama Raden Radya diruangan tempat Kumara melahirkan, beliau berjalan dengan raut muka yang gembira setelah dipersilahkan masuk oleh bidan. Setelah beliau masuk beliau sambil berkata "sudah aku duga bayi kita adalah laki-laki." Beliau mengatakan itu dengan perasaan yang sangat bahagia.

Kumara: "darimana kau tau bahwa bayi kita adalah laki-laki?. Padahal bidan saja belum memberitahumu kan?."

Raja Wijaya: "dari tangisanya... dari tangisanya saja sudah sangat jelas dia adalah laki-laki... hahaha.." sambil menoleh kea arah Radyan dan mengatakan "benarkan Radyan?." Dan Radyan pun menjawab "iya ayah" sambil tersenyum.

Kumara: "bagaimana menurutmu sayang?. Bukankah dia sangat tampan sama sepertimu dan Radyan"

Raja Wijaya: "yaaa... dia sangat tampan sepertiku dan Radya, tetapi alis dan bibirnya mirip sepertimu Kumara, bukan hanya tampan dia juga terlihat manis." sambil menggendong tersenyum dan mencium bayi tersebut.

Kumara: "hmmm nama apa menurutmu yang bagus untuknya?."

Raja Wijaya: "kamu tenang saja sayang... aku sudah memikirkanya jauh sebelum bayi ini lahir. Bayi ini akan ku beri nama Ra...." Tiba-tiba terdengar suara ribuan burung gagak datang dan berputar diatas Keraton yang membuat semua orang di keraton tiba-tiba diam dan bingung.

Kemudian sang Marhapatih yang berjaga di depan pintu keraton berkata "ini bukan pertanda baik." Kemudian terdengar suara ledakan di dekat pintu masuk Wonosari. Kemudian Marhapatih Meda bergegas mengumpulkan pasukan dan membagikanya ke dua sisi.

Marhapatih Meda: "Kapten Arjuna!!! Aku mau kau bawa sebagian pasukan ke dekat pintu masuk Wonosari. Aku harus tetap berjaga disini untuk melindungi Raja."

Kapten Arjuna: dia berkata dengan tegas "siap Patih Meda!!. Aku akan membawa pasukan ke dekat pintu masuk."

Marhapatih Meda: "baik kau berhati-hatilah. Apapun yang terjadi kau harus tetap bertahan Kapten.... Pertahankan Wonosari semampumuh." Kapten Arjuna menganggukan kepala dengan wajah yang penuh keyakinan. Kemudian Patih Meda bergegas menemui Raja untuk melaporkan apa yang terjadi.

Raden Radya: "ada apa ayah?."

Raja Wijaya: "ayah tidak tahu nak" beliau sambil menoleh ke arah Kumara dan berbisik "sayang perasaanku sungguh tidak enak."

Tiba-tiba terdengar suara seseorang tertawa dengan nada yang mengerihkan.

Kumara: "sayang.. kau dengar itu?" Raja mendengarnya dan menjawab "ya.. aku mendegarnya."

Kumara: "kau ingat suara ini?? Ini seperti suara Ratu penyihir itu. kau harus bergegas berlindung... bawa Raden dan Bayi ini cepat!!. Tinggalkan akuu.. aku tidak apa-apa."

Raja Wijaya: "kau sudah gila??? Tidak mungkin aku melakukan itu. Aku tidak ingin pergi tanpamu Kumara."

Kumara: "aku bilang aku tidak apa-apa.. tinggalkan aku. Bagaimana aku bisa berjalan?? Bangun saja aku susah... kau tahu itu... aku baru saja melahirkan."

Kemudian Patih Meda mengetuk pintu dan berkata "yang mulia apa kau masih didalam?." Dan Raja menjawab "ya aku masi di dalam... masuklah". Lalu Patih Meda masuk membuka pintu dengan perlahan. Kemudian Raja Bertanya "ada apa Meda?".

Marhapatih Meda: "kau harus segera berlindung yang mulia!!! Keadaan diluar sudah tidak kondusif bahkan aku mendengar sebuah ledakan di pintu masuk Wonosari." Kemudian Raja dan Patih Meda keluar ruangan dan menutup pintu untuk berbincang strategi apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini. Setelah itu hujan deras mengguyur seluruh kerajaan dan juga Keraton.

Tidak sempat berlindung serangan penyihir itu sudah sampai ke Keraton. Keadaan pun menjadi tegang karena keadaan Keraton sudah terbakar, hancur, dan berantakan. Keadaan disekitar Keraton sudah luluh lantah apalagi keadaan diluar Keraton, sebagian besar pasukan pun banyak yang gugur dan bahkan pasukan terhebat pun seperti Kapten Arjuna telah gugur dalam tugasnya dan juga Kapten-kapten yang lainnya yang berjaga di dalam Keraton pun ikut gugur. Hanya ruangan melahirkan saja yang belum tersentuh dengan sihir yang mengerikan itu.

Raden Radya: "bagaimana ini ayah??. Apa yang harus kita lakukan." Dia mengatakannya dengan ekspresi panik dan bingung.

Kumara: "tidak apa-apa nak, kita akan baik-baik saja. Raden... tolong dengarkan ibu nak, ibu minta kamu bawa adikmu ini pergi dan carilah perilndungan"

Raden Radya: "tapi bagaimana dengan ibu dan ayah??."

Kumara: "jangan khawatirkan ibu nak... ibu akan baik-baik saja, lagipula disini ada ayah dan paman Meda yang akan menjaga ibu."

Raden Radya: "tapi bu kenapa aku yang harus berlindung?? Kenapa aku tidak disini saja bersama ibu dan ayah??."

Kumara: "tidak bisa nak.. penyihir itu pasti mengincar adikmu... kamu harus melindunginya dan cepatlah pergi berlindung... ayah dan paman Meda akan menahannya sebelum penyihir itu menemukan adikmu."

Raden Radya: "tetapi ibu... aku tidak tau harus pergi kemana."

Kumara: "kemana saja nak... carilah tempat yang aman dan jauhi penyihir itu dan jangan sampai ketahuan olehnya. Cepat.. kau harus pergi sekarang sebelum ayahmu tau, kalau dia tahu dia tidak akan mengizinkannya."

Kemudian kumara berpisah dengan kedua putranya, di akhir perpisahannya yang haru itu sebelum Raden pergi Kumara memberinya pelukan terakhir dan ciuman terakhir pada bayi itu. Lalu Raden membawanya pergi menjauh dari Keraton. Di tengah perjalanan Raden melihat situasi di luar Keraton yang sangat kacau, dia melihat banyak mayat bergeletakan di jalan, mayat itu terdiri dari prajurit kerajaan dan rakyat jelata yang tidak bersalah. Raden berkata kepada adiknya "tenang adikku..." sambil memperhatikan wajah adiknya. "kamu tidak boleh melihat ini semua, aku tahu umur kita berbeda 10 tahun, tetapi aku sangat menyayangimu aku sangat ingin bermain denganmu... kau harus tetap hidup adikku".

Tidak lama dari kepergiannya Raden dari Keraton lalu, Wanita Tua itu menemukan Raja dan Patih Meda yang sedang berjaga di depan pintu ruangan melahirkan itu. Wanita Tua menghampirinya dalam wujud burung lalu tiba-tiba berubah dengan wujud aslinya di hadapan Raja Wijaya dan Patih Meda.

Wanita Tua: "hahahahahaha" tertawa menyeramkan dan berteriak sangat keras sambil mengatakan "ibuuu... aku menemukannya!!!".

Marhapatih Meda: "yang mulia.. apakah wanita tua itu adalah calon selir yang bernama Naharayu??". Sambil berbisik kepada Raja.

Raja Wijaya: "yaa.. kau tidak salah Meda. Dia adalah selir yang akan menikah denganku 20 tahun yang lalu."

Marhapatih Meda: "bukanya umurnya tidak jauh dengan mu yang mulia?? Mengapa wujudnya seperti itu?."

Raja Wijaya: "itu pasti karena mantra sihir yang dia gunakannya agar awet muda... setelah aku tahu latar belakangnya adalah penyihir aku membatalkan pernikahan itu."

Setelah perbincangan singkat Ratu tiba di hadapan Wijaya dan Meda.

Raja Wijaya: "bersiaplah.. persiapkan pedangmu Meda". Patih Meda mengangguk dengan wajah serius.

Ratu menghampiri Raja dan Meda. Wujudnya berbeda dengan manusa yang lain, dia lebih tinggi dan besar. Tetapi dia sangat cantik.

Ratu: "lama tidak berjumpa Wijaya..."

Raja Wijaya: "huff, kau tidak pernah berubah Buyung".

Marhapatih Meda: "mantranya berhasil... tetapi tidak dengan anaknya". Sambil menoleh ke arah Raja.

Raja Wijaya: "apa yang kau mau kali ini???. Mengapa kau menyerang kerajaanku dan rakyatku yang tidak bersalah???."

Ratu: "mungkin rakyatmu tidak bersalah... tetapi pemimpin dari rakyatmu yang tidak bersalah ini adalah seorang bajingan. Rakyat mu akan berterima kasih kepadaku suatu hari nanti, karena hari ini aku akan memotong garis keturunanmu itu, walaupun dengan cara membunuhnya.. hmm terdengar sedikit kejam, tetapi itu adalah kenyataan yang harus diterima oleh seorang raja sepertimu Wijaya."

Raja Wijaya: "aku tidak biarkan kau membunuh keluargaku dan menghancurkan kerajaanku".

Ratu: "Naharayu... cari bayi itu dan bunuhlah kedua anaknya".

Wanita Tua: "senang kau menyebut namaku lagi Ibu... mwahahahaha" tertawa dengan mengerihkan.

Marhapatih Meda: "sebelum kau sentuh Raden... lewati aku dulu Naharayu..."

Kemudian Patih Meda dan Wanita Tua itu bertarung, Patih Meda menggunakan Pedangnya yang tidak akan hancur saat terkena sihir dan Naharayu mengeluarkan ilmu sihir yang telah dia latih selama bertahun-tahun, ini adalah pertarungan sesame tangan kanan dari seorang Raja dan Ratu. Raja Wijaya berhadapan dengan Ratu Buyung, ini adalah pertarungan sengit yang sangat mengagumkan, mereka berdua sama-sama mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Prajurit yang tersisapun harus bertarung melawan penyihir yang tersisa juga.

Setelah beberapa menit pertarungan Patih Meda dengan Naharayu berakhir seri, Patih Meda terbaring lemas dengan tubuh bersimpah darah karena goresan ilmu sihir dan terpental beberapa kali. Sedangkan Naharayu harus kehilangan tangan kanannya yang terkena tebasan pedang dari Patih Meda, tetapi itu bukan masalah besar baginya, karena dia adalah penyihir dia bisa melakukan apa saja dengan mantranya walaupun sempat gagal dengan mantra awet muda, tetapi kali ini dengan mantra mengembalikan tangan kanannya bukanlah hal yang sulit baginya. Lalu Naharayu pergi meninggalkan Ibunya yang masih bertarung dengan Raja, dia tidak bisa berubah menjadi burung karena kekuatannya sebagian besar sudah hilang dan dia memanfaatkan waktu disaat Raja masih bertarung dan Meda yang sekarat diapun bergegas ke ruang bersalin untuk menemukan anak Raja, tetapi setelah dia masuk kamar tersebut hanya ada Kumara yang terbaring tak sadarkan diri. Setelah dia mengetahui Ratu terbunuh dia tidak punya waktu untuk berfikir panjang lalu dia membawa Kumara yang tak sadarkan diri dengan menyeretnya menggunakan satu tangan.

Kemudian pertarungan Raja dengan Ratu masih berlanjut, seketika Raja melihat Patih Meda yang sedang sekarat dan berlumur darah, Raja berniat harus mengakhiri pertarungan ini dengan cepat dengan menggunakan jurus terakhirnya yaitu menggunakan panah Dewa yang menggunakan tenaga dalam yang ia sudah latih bertahun-tahun. Ini adalah jurus tenaga dalam siapapun bisa melakukannya, tetapi dengan syarat yang berat yaitu salah satunya melakukan petapaan di salah satu candi yang dibuat karena dipercaya Dewa pernah bertapa dan mengumpulkan kekuatannya di tempat itu dan jurus ini juga butuh latihan bertahun-tahun. Itulah mengapa di Kerajaan Wonosari hanya beliau yang mampu melakukan jurus tersebut, berbeda dengan ilmu sihir yang siapapun bisa melakukannya dengan ritual dan berlatih menggunakan mantra, tetapi ilmu ini membutuhkan korban terlebih dahulu.

Lanjut ke pertarungan Raja dengan Ratu, setelah Raja menggunakan jurus tersebut dan juga Ratu telah kehabisan tenaga karena semua serangannya di tangkis oleh Raja akhirnya pandangan Ratu mulai kabur sehingga Ratu tak sempat menghindar dari serangan panah Dewa itu yang membuat tubuhnya di tembus oleh busur panah yang melaju secepat kilat dan tepat mengenai jantung dari Ratu tersebut. Pada akhirnya pertarungan dimenangkan oleh Raja dan ratupun harus terbaring tidak bernyawa dengan berlumuran darah hitam. Walaupun pertarungan dimenangkan Raja, tetapi Raja hampir terjatuh karena kehilangan seluruh tenaganya. Kemudian Raja segera menghampiri Meda dan Meda berkata "aku tidak apa-apa yang mulia.. aku masih bisa menahan ini, lebih baik kau temui anak dan istrimu.. cepat". Rajapun  bergegas ke ruang bersalin dan seketika membuka pintu beliau terkejut karena tidak ada siapa-siapa diruangan itu.

Kemudian Raja berteriak dengan memanggil nama Kumara "kumara... sayang dimana kau??" dia berpikir bahwa Kumaralah yang telah membawa anak-anak pergi untuk berlindung. Patih Meda bertanya "ada apa yang mulia??". Raja Menjawab "Kumara dan anak-anak tidak ada diruangan." Lalu Patih Meda menjawab "apaa??. Kemana mereka??." Dengan ekspresi yang sangat bingung sambil menahan sakit dan berkata "maaf yang mulia aku tidak bisa membantumu untuk mencarinya... aku tidak bisa dengan kondisiku yang sekarang". Rajapun menjawab "tidak apa-apa Meda.. kau harus tetap disini... kau harus bertahan". Sambil memegangnya.

Kemudian Raja meninggalkan Meda dan keluar dari Keraton, dan beliau sangat terkejut melihat kondisi sekitar, banyak bangunan yang rusak dan banyak sekali orang merintis kesakitan. Hanya beberapa orang saja yang mundar mandir memberikan pertolongan mereka, adalah prajurit dari tim medis kerajaan. Beliau berkata dalam hatinya "ini adalah sejarah yang tak terlupakan bagi rakyat Wonosari dan juga bagiku.. ini adalah peperangan terbesar Wonosari." Lalu Raja bertanya ke salah satu prajurit "hey apakah kalian melihat anak kecil lewat sini?". Lalu prajurit itu menjawab dengan perasaan kaget "hahh?? Yang mulia apa kau baik --baik saja?? Anak kecil?? Aku tidak melihatnya yang mulia. Apa yang kau maksud adalah Raden??." Raja menjawab "yaa.. aku kehilangan Raden dan istriku saat bertarung.. kemungkinan mereka pergi meninggalkan Keraton untuk bersembunyi". Lalu Raja dan prajurit yang tersisa pergi mencari Raden dan Kusmara.

Mereka semua berpencar, dan seorang prajurit yang sedang membersihkan reruntuhan tiba-tiba berteriak "yang mulia... aku menemukan Raden". Lalu Raja bergegas menghampirinya dan saat di periksa Raden sudah tidak bernyawa sambil memeluk adiknya itu. Tetapi, bayi itu masih bernafas dan langsung digendong oleh Raja, melihat anaknya yang sudah tidak bernyawa Raja sangat sedih dan menangis dia hanya bisa pasrah dengan keadaan sekarang. Sambil menangis dan menggendong adik Radya, Raja masih berkeliling untuk mencari Kumara dan ketika beliau menghampiri bangunan yang telah hangus terbakar dia melihat ada seorang wanita yang tewas terbakar dan tubuhnya gosong, tetapi wanita itu persis memakai gaun putih yang sama yang dipakai oleh Kumara saat setelah melahirkan. Rajapun menghampiri wanita tersebut sambil menggendong bayi dan seketika Raja berteriak "Kumara....!!!" Sambil menangis dan mengatakan "kenapa kamu berakhir seperti ini sayang... tidak.. aku tidak akan menerima ini. Suatu saat nanti aku akan balas perbuatan penyihir itu.

1 bulan setelah peperangan Wonosari dengan Lentera.

Raja Wijaya mengunjungi Patih Meda yang masih dalam perawatan di Bhadra (semacam rumah sakit untuk mengobati rakyat dan prajurit), lokasinya tidak jauh dari Keraton beliau mengendarai kuda bersama prajurit lainnya yang sedang melakukan pengawalan.

Raja Wijaya: "bagaimana kondisimu Meda??"

Marhapatih Meda: "sudah lebih baik yang mulia.. oh ya bagaimana kondisi Wonosari saat ini?? Aku belum sempat melihatnya."

Raja Wijaya: "Wonosari sedang menjalani perbaikan dan pembangunan besar-besaran saat ini.. tenang saja kerajaan ini akan tetap berdiri kokoh selama aku yang bertahta. Hmmm.. sepertinya aku harus membangun candi baru."

Marhapatih Meda: "benarkah..??? kau akan membangunnya untuk yang ketiga kalinya?? Hmmm... kalau begitu buatlah yang besar yang besar mulia, candi apa yang kau ingin bangun??."

Raja Wijaya: "setelah Curtina dan Dewananda sepertinya aku ingin membangun candi yang melambangkan pelindung untuk rakyatku... aku ingin membangun yang lebih besar dari kedua candi sebelumnya... aku ingin membangunnya di kaki gunung, itu akan menambah nilai keindahannya."

Marhapatih Meda: "baiklah..." sambil menganggukan kepalanya. "ohh yaa, bagaimana dengan anak itu yang mulia?? Apa kau sudah memberikannya nama??."

Raja Wijaya: "sejujurnya aku belum memberinnya nama hingga sekarang... saat itu aku ingin memberikannya nama bersama Kumara" sambil menundukan kepala dan mengingat kenangan itu. "aku ingat waktu itu aku ingin memberi nama Adya kepadannya dan aku ingin Kumara yang memberi nama keduannya".

Marhapatih Meda: "Adya..?? Nama kedua?? Hmmm... dia lahir pada bulan purnama, malam yang indah dengan terangnya bulan sebelum penyihir terkutuk itu menyerang kita. Bagaimana jika aku yang memberikannya nama kedua??."

Raja Wijaya: "kau punya ide??"

Marhapatih Meda: "hmmm Adya ya??.. mirip seperti kakaknya. Bagaimana jika Adya Purnama?? Aku ingin dia bersinar seperti bulan purnama yang menerangi Wonosari dalam kegelapan...".

Raja Wijaya: "hmmm" sambil berfikir dan menganggukan kepalanya. "sepertinya itu terdengar meyakinkan... yaa. aku setuju. Aku akan segera menggelar upacara peresmiannya di Keraton dan aku ingin kau mendampingiku." Raja bertanya kepada perawat "apa dia sudah boleh keluar dari sini perawat??." Lalu perawat itu menjawab "tentu saja yang mulia... kau sudah boleh membawanya pergi, dia hanya perlu beberapa pemeriksaan terakhir saja sebelum ia bangun dan berjalan."

Keesokan harinya, satu hari sebelum upacara dimulai. Patih Meda datang ke Keraton sambil mengendarai kuda untuk bertemu Raja Wijaya. Dia sudah di tunggu di Keraton dan disambut dengan hangat untuk menhadiri acara minum teh bersama dan merayakan kepulanganya dari Bhadra. Raja Wijaya sudah menunggu di depan pintu Keraton bersama prajurit lainnya. Kemudian sampailah Patih Meda, alunan musik Gamelan dan suara nyanyian wanita cantik serta tarian yang dimainkan oleh beberapa wanita cantik di Keraton telah menyambut ketibaanya di Keraton.

Raja Wijaya: "selamat datang kembali di Keraton saudaraku" sambil tersenyum bahagia.

Marhapatih Meda: "terimakasih yang mulia" sambil membalas senyum sang raja dan memeluknya dengan hangat.

Raja Wijaya dan Patih meda berjalan menuju ruangan yang sudah disiapkan. Ruangan itu berpemandangan gunung-gunung yang indah yang mengelilingi Wonosari dan juga terdapat makanan lezat di meja yang panjang itu. Dan setelah jamuan makan siang mereka berdua berbincang mengenai hal apa yang harus dilakukan kedepannya. Di tengah perbincangannya itu Patih Meda tiba-tiba mengatakan:

Marhapatih Meda: "yang mulia.. apa kau akan menikah lagi?"

Raja Wijaya: "aku tidak tahu... aku masih belum lepas dengan Kumara, hatiku masih untuknya sampai saat ini."

Marhapatih Meda: "lalu jika kau tidak menikah, bagaimana dengan Adya??. Apa kau bisa membesarkanya sendirian??."

Raja Wijaya: "tentu tidak bisa. Maka dari itu aku serahkan dia kepada para selir, biarkan para selir yang merawatnya dan menyusuinya".

Marhapatih Meda: "apakah dari para selir itu ada yang bisa menyusuinya?"

Raja Wijaya: "tentu saja tidak. Mereka menyusuinya tidak dengan asi, mereka menyusuinya dengan ramuan itu yang setara dengan asi. Dan memang dibuat khusus untuk bayi".

Marhapatih Meda: "ohh, dengan ramuan itu. Huffhh aku berharap dia tumbuh menjadi pria kuat seperti ayahnya. Aku sungguh prihatin... aku tidak kuat melihatnya tumbuh tanpa Kumara."

Raja Wijaya: "ya begitulah.. dia harus menerima takdir. Bagaimanapun aku akan tetap menjaganya, karena sekarang hanya dialah satu-satunya keturunanku yang bisa meneruskan kerajaan ini. Cepat atau lambat aku akan membalas perbuatan penyihir itu."

Marhapatih Meda: "berbicara mengenai balas dendam, salah satu dari kita harus ada yang mencari tahu tentang kerajaan penyihir itu yang mulia... mereka tahu kita tapi kita tidak tahu dimana mereka, bagaimana kita mau menyerangnya??. Aku harus mencari tau.. yaa aku harus mencari tau tentang kerajaan itu."

Raja Wijaya: "bagaimana kau melakukannya?"

Marhapatih Meda: "aku harus pergi dari Wonosari yang mulia.. aku harus pergi menjarah hutan dan menemukan penyihir itu. Kau harus mencari penggantiku di Keraton".

Raja Wijaya: "apa kau yakin bisa melakukannya??? Dengan kondisimu yang seperti ini..??."

Marhapatih Meda: "aku datang bukan untuk berperang, aku hanya mengintainya yang mulia... itu tidak akan menguras tenagaku. Aku akan membawa beberapa pasukan dan pergi dari sini mala mini juga."

Raja Wijaya: "apa kau tidak bisa menunggu sampai upacara besok selesai??"

Marhapatih Meda: "aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.. aku ingin pergi hari ini juga."

Raja Wijaya: "bagaimana jika penyihir itu menyerang Wonosari lagi disaat kau pergi?"

Marhapatih Meda: "itu adalah hal yang tidak mungkin yang mulia... mereka juga saat ini sedang lemah sama seperti kita."

Raja Wijaya: "apa kau yakin??"

Marhapatih Meda: "percayalah padaku... untuk berjaga-jaga mulai sekarang kau harus menembak jatuh setiap burung gagak yang terbang diatas Wonosari. Aku minta kau melakukan itu sampai aku kembali yang mulia."

Raja Wijaya: "mengapa harus seperti itu??"

Marhapatih Meda: "karena sebagian besar dari mereka adalah menyerupai burung gagak."

Raja Wijaya: "baiklah."

Hari mulai gelap dan sang Raja pun siap melepas orang yang paling dia percayai itu pergi. Dan Patih Meda sedang bersiap pergi dengan menunggangi kuda di depan pintu masuk Wonosari, dan raja pun bertanya:

Raja wijaya: "kapan kau akan kembali?"

Marhapatih Meda: "secepatnya yang mulia."

Raja Wijaya: "baiklah berhati-hatilah."

Dan sang Raja pun melepasnya sambil menatap kepergiannya itu.

Keesokan harinya Raja Wijaya menggelar upacara peresmian nama untuk bayinya. Acara ini dihadiri oleh ribuan masyarakat di Keraton dan dijaga dengan ketat. Dalam upacara ini Raja Wijaya sekaligus mencari pengganti jabatan yang ditinggalkan Patih Meda. Salah seorang pengawal raja menghampiri Raja Wijaya dan mengatakan:

Pengawal: "yang mulia sepertinya aku tau siapa orang yang tepat yang akan menggantikan Patih Meda dalam jabatan ini."

Raja Wijaya: "apa kau yakin?, siapa orang itu?"

Pengawal: "tunggu sebentar yang mulia, aku akan membawakannya padamu."

10 menit berselang Pengawal itu kembali dan membawa orang yang dia rekomendasikan kepada Raja.

Raja Wijaya: "siapa namamu anak muda?"

Anak Muda: "namaku Bima Pandawa yang mulia." Sambil membungkuk di hadapan Raja.

Raja Wijaya: "baik Bima, salah satu pengawal ku telah melihat kemampuanmu. Dia bilang kau adalah orang terkuat di kerajaan ini setelah aku dan Meda... dan aku dengar kau membunuh banyak penyihir pada saat Wonosari di serang. Aku ingin kau buktikan itu di hadapanku. Aku ingin kau melawan 10 prajurit ku dengan tongkat itu."

Pertarungan pun dimulai dan di tonton oleh banyak masyarakat, pertarungan ini berlangsung tidak lama. Bima berhasil mengalahkan 10 prajurit itu dengan mudah walaupun ini adalah peratrungan 1 orang melawan 10.

Raja Wijaya: "baiklah aku terkesan dengan bakatmu itu anak muda." Sambil tersenyum. "apakah kau bersiap menggantikan posisi Marhapatih Meda?"

Bima: "dengan senang hati yang mulia. Ini adalah mimpiku  sejak kecil, aku ingin menjadi salah satu orang yang berguna untuk Wonosari. Aku juga kehilangan keluargaku saat serangan itu."

Raja Wijaya: "baiklah... rakyatku yang kucintai dan yang kumuliakan. Mulai hari ini dengan hormat aku tunjuk Bima Pandawa sebagai pemimpin militer tertinggi untuk menggantikan tugas Meda yang ditinggalnya." Sambil mengarahkan pedangnya kepada Bima yang sedang berlutut untuk diberi gelar jabatan. "aku akan memberikannya gelar Adipati sebagai pemimpin pengganti." Sorak dan tepuk tangan masyarakatpun meramaikan Keraton untuk menyambut pemimpin militer tertinggi itu.

7 tahun berlalu... Meda masih belum kembali. Kondisi Wonosari sudah mengalami kepesatan pembangunan dan banyak bangunan baru yang megah, salah satunya adalah candi yang ingin di bangun oleh Raja Wijaya 7 tahun lalu saat ini sudah diresmikan dan diberi nama Candi Cakra. Raja Wijaya masih belum menikah sampai saat ini, dan Adya pun perlahan bertumbuh besar. Adya tumbuh tanpa adanya sosok ibu disampingnya, dan itu mungkin membuatnya sedikit bandel. Dia sering menyelinap keluar Keraton dan bermain oleh anak-anak lainnya walaupun ayahnya itu melarangnya. Tidak hanya itu, dia sering membuat nangis teman-temannya dan dia juga sering mencuri barang milik orang lain, karena ulahnya itu ayahnya sering menghukumnya diruang bawah tanah. Tetapi disamping sifatnya yang agak nakal, dia sering juara kompetisi memanah di tingkat kerajaan, dia selalu menjadi nomor satu, karena memanah adalah hobinya sejak ia berumur 3 tahun dan bakat itu diajari oleh ayahnya dan juga di bimbing oleh Adipati Bima.

Memasuki musim hujan, dan saat Adya berumur 7 tahun dia terus mengasah kemampuan memanahnya walaupun dibawah hujan deras. Setiap hari dia berada dilapangan memanah, tidak ada yang menemaninya. Dia tidak punya teman, dia selalu dijauhi oleh orang-orang karena kenakalanya saat dia berumur 5 tahun. Sesekali Adipati Bima datang untuk melihat Adya yang sedang berlatih. Saat Adya berumur 10 tahun ia mulai diajari ilmu bela diri, sebelumnya ia tidak mau mempelajarinya karena hobi dia hanya memanah. Tetapi setelah Adipati Bima memaksanya dan juga tekanan dari ayahnya dia akhirnya mau berlatih dan mulai mempelajari ilmu bela diri. Lalu Rden Adya bertanya kepada Adipati:

Raden Adya: "kenapa aku harus selalu mengikuti perintahmu?"

Adipati Bima: "kau adalah calon putra mahkota Adya... kau harus kuat untuk menggantikan tahta ayahmu nanti."

Raden Adya: "sudah berapakali aku katakan kepadamu dan ayah... aku tidak mau menjadi putra mahkota. Aku saja dibenci dan dijauhi oleh orang-orang.. lalu mengapa aku harus menjadi pemimpinya??" dia mengataknya dengan penuh amarah dan kesal.

Adipati Bima: "kau adalah satu-satunya anak keturunan Raja.. kakak mu meninggal demi menyelamatkan mu, kenapa kau begitu egois??"

Raden Radya: "dengar paman... semua orang menyalahkanku atas semua yang telah terjadi, mereka semua menyalahkanku dan menganggap akulah penyebab Wonosari diserang oleh para penyihir itu."

Adipati Bima: "mereka semua tidak tau apa-apa tentangmu Raden... yang paling tau tentangmu adalah ayahmu dan Patih Meda."

Tiba-tiba Raden Adya menaruh tongkat beladirinya dan pergi meninggalkan Adipati dengan raut wajah yang kesal.

Raden pergi ke Candi Dewananda, tempat beribadah semua orang di kerajaan Wonosari. Pada saat itu kondisi candi sedang sepi, karena sedang diguyur hujan deras. Kemudian Raden berlutut menatap ukiran-ukiran candi dan juga patung para dewa, dia sambil merenung dan berdoa. Dia berkata pada dirinya "mengapa harus aku yang menanggung ini semua." Sambil menangis dengan sendu-sendu. Kemudian dia bertanya-tanya "apakah yang semua orang katakan tentang penyihir it benar??? Dan juga mengapa ayah selalu menceritakan kisah tentang Patih Meda??? Apakah dia hanya mengarang saja?? Dan juga kenapa mereka menyalahkanku atas kematian kakak dan ibuku..?? suatu saat nanti aku harus mencari tahu semuanya... aku harus keluar dari sini dan mencari tau kebenarannya." Dia mengatakannya dengan penuh keyakinan.

Saat Raden berusia 17 tahun dia diangkat menjadi putra mahkota oleh Raja Wijaya. Pada saat itu Keraton sedang mengadakan upacara pengangkatan putra mahkota, tetapi sebelum upacara dimulai banyak masyarakat yang protes keras atas keputusan itu. Walaupun begitu Raja tetap mengangkatnya sebagai putra mahkota sang penerus kerajaan Wonosari, apapun yang terjadi secara garis keturunan Adya lah yang paling pantas untuk meneruskan tahta ayahnya. Beberapa menit sebelum pelantikan Raden Adya bersiap-siap untuk menghadapi sang Raja. Dia memakai pakaian yang sangat mewah, dia memakai jubah kerajaan dengan berlambang tapak buda yang mana itu adalah lambing dari Kerajaan Wonosari, dan dia memakai semacam mahkota yang terbuat dari emas, bajunya di lapisi manik-manik yang terbuat dari emas. Sebenarnya banyak wanita yang terpesona olehnya, karena wajahnya yang tampan dan dia juga menjadi pria tertampan di Wonosari. Tetapi karena isu yang beredar wanita-wanita Wonosari harus menahan syahwatnya dan harus menjauhi pangeran karena tekanan dari para orangtua.

Selama 3 tahun Adya menjalani gelar putra mahkota tanpa rasa hormat. Ketika ia berjalan keluar Keraton, tidak ada satupun orang disekitar yang memandangnya walaupun ia sedang di kalau, kecuali prajurit kerajaan, prajurit kerajaan harus tetap patuh terhadap semua keputusan Raja dan jika tidak mematuhinya prajurit itu akan kena hukuman penjara bahkan ada yang bisa dihukum mati dengan di pasung.

Untuk menyemangati dirinya Adya terus mengunjungi Candi Dewananda, dia pergi dari Keraton menggunakan kuda menuju candi itu. Diperjalanan Adya bertemu oleh sekelompok prajurit yang sedang memanah burung gagak yang terbang diatas kerajaan. Adya memelankan laju kudanya sambil berfikir dan berkata di dalam hati "mengapa hewan itu tidak pernah punah" dan Adya menghampiri para prajurit itu dan melihat banyak sekali burung gagak yang mati jatuh dan tergeletak di tanah, Adya berkata "heyy.. banyak sekali burung ini, bahkan aku saja tidak pernah menjatuhkannya sebanyak ini. Memangnya untuk apa??" prajurit itu menjawab sambil menundukan kepalanya "tidak untuk apa-apa pangeran... kami memang ditugaskan untuk memburu burung-burung ini." Dan Adya membalasnya "ditugaskan?? Kenapa begitu??" para prajurit itu bingung dan berkata:

Prajurit: "bukankah kau sudah tau alasanya pangeran?? Kenapa masih bertanya??"

Raden Adya: "tidak.. aku tidak tahu alasannya. Memangnya apa alasannya?"

Prajurit: "aku kira yang mulia telah menceritakannya padamu tentang hal ini." Sambil terheran-heran dengan prajurit yang lainnya."

Raden Adya: "baiklah lupakan... aku pergi dulu."

Prajurit: "baik pangeran... hati-hati dijalan."

Kemudian Adya memacu kudanya dan sambil berfikir diperjalanan mengenai burung itu dan berkata "huffhh... memangnya ada apa dengan burung-burung itu?, kenapa semua orang di Wonosari membunuhnya..? aku kira selama ini ayah menyuruhku membunuhnya hanya untuk latihan saja... ternyata dibalik itu ada alasannya. Apakah ini ada hubungannya dengan cerita penyihir itu??."

Sepulangnya dari candi Adya mengunjungi makam ibu dan kakaknya, makam bukan berisi jasad manusia, melainkan hanya abunya saja, karena di Wonosari setiap orang yang meninggal itu akan dibakar. Makam itu berada di kaki gunung dan dibawah rimbunnya pepohonan sehingga terasa sejuk saat datang kesitu, dimakam itu ada sebuah batu yang cukup besar dan terukir nama Wijaya Kumara Radya putra dan Kumara Sri Rahayu.

Adya segera turun dari kudanya dan mengikat kuda itu di sebuah batang pohon sambil memberi makan kuda itu. Dia berkata "kakak... ibu... bagaimana keadaan mu disana?? Apa kalian baik-baik saja???" sambil menaburi bunga ke kedua makam itu. "aku belum sempat bertemu kalian... tetapi takdir memisahkan kita seperti ini. Aku dengar ini semua karena salahku... orang-orang berkata seharusnya aku terlahir menjadi perempuan.. bukan laki-laki." Dia mengatakan itu sambil tersenyum. "ibuu seharusnya kau ubah saja aku menjadi perempuan... pasti aku akan terlihat cantik sepertimu. Aku sangat rindu padamu ibu.. selama ini aku melihat wajahmu hanya dari sebuah lukisan saja." Kemudian Adya pergi meninggalkan makam itu dan kembali ke Keraton.

Satu tahun kemudian kerajaan mengalami kerisis ekonomi yang cukup parah. Hal ini karena keputusan Raja Wijaya yang merugikan sebagian pihak, karena hal ini banyak desa yang memisahkan diri dari Wonosari. Karena keputusan Raja Wijaya terlihat seperti pilih kasih dia hanya memerdulikan desa yang kaya saja dan membagikan hasil pangan hanya kepada desa itu dan sebagian besarnya lagi di timbun di kerajaan untuk alasan stok di Keraton, padahal stok di Keraton masih mencukupi untuk 2 tahun ke depan dan pangan-pangan yang didapatnya itu dari desa-desa yang miskin yang sangat memuja sang Raja dan desa miskin ini hanya kebagian pangan 10 persen dari hasil panennya. Setelah mendengar kabar yang tidak mengenakan itu, Adya langsung menghadap ayahnya yang sedang berada di singgahsananya dan yang terjadi adalah:

Raden Adya: "ayah...!!! jika kau terus seperti ini.. lebih baik aku pergi saja dari istana." Dengan raut muka yang sangat kesal. Kau seharusnya malu ayah... orang yang kau khianati itu adalah orang yang sangat mempercayaimu, mereka tanpa ragu memberikan hasil panen mereka sepenuhnya kepadamu.. mereka menghormati dan mempercayaimu sebagai seorang Raja untuk mengatur dan memberikan kepada mereka yang membutuhkan, bukan hanya kepada mereka yang kaya saja...".

Raja Wijaya: "kau tidak tahu apa-apa nak, aku melakukan ini demi Wonosari... kita harus cepat menyelesaikan pembangunan yang masih dibangun sampai saat ini, apa kau kira membangun itu gratis??" sambil berbicara dengan tatapan mata yang dingin. "aku ingin secepatnya bangkit dan bisa dengan cepat menyerang semua penyihir itu untuk balas dendam."

Raden Adya: "kenapa kau selalu membicarakan penyihir itu?? Kau saja tidak tahu dimana mereka... iya kan??"

Raja Wijaya: "maka dari itu... jika nanti paman mu Meda kembali kita bisa langsung menyerang semua penyihir itu."

Raden Adya: "aku tidak yakin dia bisa kembali ayah... mungkin dia sudah mati dimakan binatang buas, kau selalu bilang padaku dia pergi disaat umurku 1 bulan dan sekarang lihat umurku berapa??? Sampai kapan kau ingin menunggunya??"

Raja Wijaya: "walaupun terdengar mustahil, tapi aku sangat mempercayainya... pasti dia akan kembali, dia sudah berjanji kepadaku untuk menemukan keberadaan para penyihir itu".

Raden Adya: "huffhhh" sambil menghela mafas. "baiklah... jika memang itu keinginanamu sampai-sampai kau harus mengorbankan banyak orang. Hufffhh..." Adya menarik nafas dan mengatakan " lebih baik aku saja yang mencari penyihir itu..!!" dengan wajah yang penuh keseriusan. Adya langung berbalik arah dan meninggalkan Ayahnya.

Raja Wijaya: "adya... dengarkan ayah!!!" sambil berteriak dan menatap Adya. "kau tidak tau apa-apa tentang penyihir itu nak... kau tidak bisa melawannya hanya dengan kekuatanmu yang sekarang.. kau bisa mati... Adya aku perintahkan kau untuk berhenti!!!"

Adya yang sedang berjalan meninggalkan singgahsana ayahnya itu pun berhenti saat ayahnya meneriakinya. Tetapi Adya tidak perduli, ia terus berjalan keluar dari ruangan itu dan mengambil kuda nya untuk meninggalkan Keraton dan pergi dari Wonosari.

Diperjalanan tidak jauh setelah keluar dari Keraton Adya bertemu Adipati Bima yang sedang berjalan menuju ke Keraton, tetapi dia tidak memelankan laju kudanya dan terus berjalan seperti tidak ada yang menghalanginya. Adipati Bima berkata di dalam hatinya "ada apa dengan dia??? Apa dia ingin buat ulah lagi? Hmmm..." dengan wajah yang kebingungan. "biasanya anak itu menegerku dimanapun kita bertemu". Bima lalu melanjutkan perjalanannya menuju Keraton dengan berjalan kaki. Tiba-tiba Adya kembali dan berteriak "pamaan!!!". Sontak teriakan itu membuat Bima kaget dan berbalik arah.

Adipati Bima: "uwahhh!!!" sangat terkejut. "ada apa Raden?? kau membuat aku kaget saja hufhhh.."

Raden Adya: menghampiri Bima dan mengatakan dengan tergesa-gesa "paman... apa kau tau tentang dimana keberadaan penyihir itu???"

Adipati Bima: "ada apa kau tiba-tiba menanyakan itu??"

Raden Adya: "sudah cepat katakana saja..!!!" dengan membentak Bima.

Adipati Bima: "hmmm... sejujurnya aku tidak tau banyak tentang itu. Tapi burung gagak itu adalah pertanda dari keberadaan mereka. Ada apa..?? kau ingin mencarinya?? Hahahaha..." tertawa tapi tidak serius.

Raden Adya: "hmmm burung gagak... baiklah." Adya langsung meninggalkan Bima dan pergi memacu kudanya dengan cepat, Adya hanya membawa panah dan beberapa busur saja.

Adipati Bima: "apa dia sungguh ingin mencari penyihir itu??? aku saja yang lebih kuat darinya tidak ingin mencarinya." Dengan wajah penuh kebingungan.

Bima langsung pergi ke Keraton dan memasuki ruangan untuk menemui Raja yang sedang berada di singgahsananya. Setelah dia masuk dia melihat Raja sedang merenung dan kebingungan.

Adipati Bima: "ada apa yang mulia??"

Raja Wijaya: "kenapa anak itu tidak mau nurut denganku??? Dia pergi untuk mencari penyihir itu... dia bisa saja mati diperjalanan hufhhh... anak itu tidak tau apa-apa." Sambil bersedih dan kebingungan.

Adipati Bima: "ternyata dia sungguh mencari penyihir itu" dia mengatakannya dengan suara yang sangat pelan.

Raja Wijaya: "Bima.... Aku ingin kau mengejarnya"

Adipati Bima: "apa yang mulia???" dia berteriak dengan kaget. "maaf yang mulia... maksudku baik yang mulia" dengan tegas.

Raja Wijaya: "baiklah... cepat siapkan pasukan. Kau boleh pergi setelah aku perintahkan.. aku ingin memberimu sesuatu terlebih dahulu."

Bima langsung meninggalkan Raja dan bersiap-siap untuk mengejar Adya.

Sedangkan di Lentera, 5 tahun setelah penyerangan ke Wonosari. di malam yang gelap dan juga hujan deras, terdengar suara tangisan wanita, setelah meninggalnya Ratu Buyung, kini Lentera di pimpin oleh anaknya yaitu Naharayu. Tubuh Naharayu makin mengerikan dan dia semakin terlihat tua dengan keriput yang menyeramkan diseluruh tubuhnya, rambutnya sudah memutih semua dan perlahan-lahan sehelai rambut jatuh dari kepalanya di setiap jam, ini akibat mantra yang dia lakukanya itu gagal bertahun-tahun lalu. Dia selalu meringis, berteriak, dan menangis. Untuk menutupi tubuhnya itu dia memakai jubah yang menutupi sekujur tubuhnya, dan mukanya ditutupi seperti kain tipis.

Ratna: "yayu sudahlah... kau harus menerimanya. Aku sudah muak melihatmu seperti ini setiap malam".

Naharayu: menangis dengan tersendu-sendu. "apa yang harus aku lakukan?? Bahkan kau yang jauh lebih tua dariku tidak seburuk tubuhku ini."

Ratna: "jika kau tidak ingin hidup dengan tubuh seperti itu.. kau harus segera melakukan ritual itu secepatnya. Kau harus memindahkan jiwamu."

Naharayu: "mengorbankan jiwaku?? Dan memberikannya kepada wanita itu hufhhh.... Aku tidak bisa Ratna, mantra itu tidak menjamin aku bisa bertahan di dalam tubuh wanita itu selamanya. Nyawaku ada di tangan wanita itu jika aku memindahkan jiwaku ke tubuhnya, jika dia bangun dan pulih lebih cepat aku akan mati.. dan kekuatanku menjadi miliknya."

Ratna: "lalu kau lebih memilih meringis seperti ini setiap malam???" bertanya dengan tegas. "kau harus memilih.. lagipula umur tidak ada yang tau. Kau memilih mati di tubuh yang mengerihkan itu atau di tubuh wanita yang jauh lebih bagus daripada tubuhmu. Lagipula wanita itu cantik, kau bisa menikmati kecantikannya itu selama kau berada dalam tubuhnya."

Naharayu: "itu sama saja kau menginginkan aku mati dengan cepat" menatap Ratna dengan sinis.

Ratna: "tidak yayu... aku memberimu pilihan."

Setelah perbincangan itu Naharayu memutuskan untuk memindahkan jiwanya ke salah seorang wanita. Dia melakukan ritual bersama Ratna, karena Ratnalah yang akan membacakan mantra. Pada akhirnya ritual pemindahan jiwapun selesai, Naharayu memiliki tubuh baru. Tetapi dia harus tetap menggunakan penutup muka jika ingin keluar istana, agar tidak ada yang tau tubuh siapa yang dia pakai. Penyihir lainnya hanya mendapat kabar bahwa Ratunya sudah melakukan ritual pemindah jiwa, tetapi mereka tidak diberi tau tubuh siapa yang dipakai oleh Ratu. Pemindah jiwa adalah suatu ritual yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah mempunyai ilmu yang tinggi dan diatas rata-rata dengan penyihir yang lain. Meskipun orang yang akan melakukan ritual itu harus mengorbankan nyawanya karena cepat atau lambat dia akan mati jika tubuh itu melawan mantranya dan ritual ini hanya bisa dilakukan sekali saja.

Setelah jauh pergi dari Wonosari dan juga melewati hutan-hutan, Adya berhenti dan turun dari kudanya, dia duduk di batang pohon besar yang ada di tanah, dia berhenti untuk beristirahat. Sambil minum Adya berbicara di dalam hatinya "aku sudah cukup jauh pergi, tetapi belum ada tanda-tanda apapun tentang penyihir itu". Tiba-tiba ada sekelompok burung gagak terbang kea rah selatan. "hah?? Apa itu?? apa itu burung gagak??? Ya benar itu burung gagak... aku harus cepat mengikutinya."

Adya terus mengikuti burung selama beberapa menit, sampai suatu ketika kudanya tersandung dan terjatuh, Adya pun terpental dari kuda itu. "ada apa denganmu kuda?" Adya menghampiri kudanya. "apa yang terjadi? Ohh.. ternyata kakimu tersangkut ranting. Dasar ranting sialan... bertahanlah aku akan melepaskanmu dari ranting ini." Setelah melepaskan kudanya, tiba-tiba kuda itu mengamuk dan pergi meninggalkan Adya. Adya pun kaget dan berteriak "wooyyy kuda!!! Kau mau kemana?? Jangan tinggal....kan huffhh baiklah". Adya pun bingung harus berbuat apa sambil memegang kepala bagian belakangnya dengan kedua tangannya dan menunduk. Setelah merenung sebentar akhirnya Adya pun tidak mempermasalahkan itu. "baiklah tanpa kuda itu aku bisa melakukannya sendiri... tapi dimana aku?? Kemana aku harus pergi?? Aku juga sudah kehilangan burung itu hufhhh...". Adya pun melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.

Setelah berjalan cukup jauh Adya melihat sebuah desa, dan karena ada aktivitas di desa itu Adya pun penasaran dan mengintai desa itu sambil dengan menyiapkan panahnya. Dia piker desa itu adalah desa penyihir karena letaknya di tengah hutan dan jauh dari Wonosari. Ketika Adya sedang mengintai tiba-tiba pria tua menghampirinya dari belakang:

Pria tua: "sedang mencari apa??"

Raden Adya: "waahh.." adya pun sangat terkejut. "eehhhh... aku sedang mencari kayu bakar... ya kayu bakar hehehehe".

Pria tua: "kau mencari kayu bakar dengan panah itu??"

Raden Adya: "tidak.... Ehh maksudku iya kek.."

Pria tua: "aku bukan kakekmu... dilihat dari pakaianmu, kau pasti bukan orang biasa."

Raden Adya: "tidak... aku orang biasa." Dia mengatakan itu dengan percaya diri dan sombong. "Memangnya orang biasa tidak boleh memakai pakaian yang dilapisi emas??"

Pria tua: "untuk sekarang ini sangat mustahil." Pria tua itu lalu berbisik "Ssttt... suara apa itu?? siapkan panahmu nak!"

Raden Wijaya: "eehhh... kek sebenarnya itu suara perutku." Sambil tersenyum.

Pria tua: "kau lapar??? Kenapa kau tidak bilang daritadi... dasar. Ayo ikut aku"

Raden Wijaya: "sebentar...!!! Apa kau manusia??"

Pria tua: "kau pikir aku apa hah???" dengan membentak Raden. "dasar bocah...".

Akhirnya Raden pun mengikuti pria tua itu ke desa yang ia lihat. Ternyata desa itu hanyalah desa kecil yang hanya di huni tidak sampai seratus orang. Pria tua itu mengajak Raden masuk kerumahnya dan disediakan makanan. Raden pun langsung melahap makanan itu sampai habis. Setelah makan Raden pun berbincang dengan pria tua itu.

Pria tua: "jadi kau berasal dari kerajaan??"

Raden Adya: "bukankah sudah jelas?? Aku berasal dari Wonosari."

Pria tua: "Wonosari??"

Raden Adya: "kau tidak tau Wonosari?? Tidak heran... desamu sangat jauh dan terpencil. Biar ku beritau Wonosari adalah kerajaan terbesar disini, bahkan wilayahnya sangat luas... aku saja tidak sanggup untuk menjelajahinya. Tapi sayangnya 20 tahun lalu kerajaanku diserang oleh penyihir.. ayah bilang pada saat itu aku baru saja dilahirkan. Sebentar.... Tapi kenapa ayahku tidak mengetahui desa ini ya?? Hmm aneh."

Pria tua: "penyihir??"

Raden Wijaya: "yaa.. apa kau tau tentang penyihir itu kek??"

Pria tua: "iyaa aku tau.. jadi kau kesini untuk mencari penyihir itu?"

Raden Adya: "tepat sekali. Aku sebenarnya adalah putra mahkota, aku mencari penyihir itu untuk balas dendam. Aku lelah... aku tidak dihormati oleh orang-orang di Wonosari, kecuali mereka adalah anggota kerajaan. Aku dibesarkan oleh selir, ibu dan kakakku meninggal saat peperangan itu, dan semua orang menyalahkanku."

Pria tua: "sebenarnya... desa ini juga pernah dijarah oleh penyihir itu. Mereka mengambil semua hasil panen kami, akibatnya satu desa menderita kelaparan dan bahkan ada yang meninggal. Yang aku tau dari penyihir itu adalah dia datang dari balik bukit itu. Tetapi jika kau ingin kesana kau harus melewati hutan angker. Beberapa dari kami pernah masuk ke hutan itu... tetapi tidak ada yang kembali."

Raden Wijaya: "dahulu ayah bilang pamanku.. maksudku paman Meda, dia mendapat gelar Marhapatih dari ayahku. Dia pergi dari kerajaan dan berjanji untuk menemukan keberadaan penyihir itu. Tetapi dia tidak pernah kembali sampai sekarang. Padahal dia adalah orang terkuat dikerajaan setelah ayahku. Karena itulah ayah sangat mempercayainya... dia jujur, berani, dan berkorban untuk kerajaan."

Pria tua: "aku turut berduka".... "tetapi sepertinya aku pernah melihat beberapa pasukan... pada saat itu aku masih cukup muda, dan kondisi desa sedang kacau. Melihat lambang yang ada di bajumu, sangat tidak asing bagiku."

Raden Adya: "yaa ini adalah lambang Wonosari".

Pria tua: "sepertinya mereka melewati hutan angker itu juga".

Raden Wijaya: Adya bangun dari duduknya dengan penuh rasa percaya diri dia berkata "baiklah kek... sekarang tunjukan kepadaku dimana hutan itu??"

Pria tua: "tidak bisa..."

Raden Adya: "apaaa???" dengan histeris.

Pria tua: "kau terlalu manis dan lemah... lebih baik kau pulang saja!!"

Raden Adya: "tidak bisa kek... aku sudah sejauh ini, aku tidak mau pulang.. aku tidak mau perjalananku sia-sia sampai disini."

Pria tua: "kalau kau melanjutkan perjalananmu hidupmu akan sia-sia".

Raden Wijaya: "kenapa kau malah jadi seperti ayahku?? Cepatlah tunjukan saja dimana hutan itu!!! aku juga tidak memintamu untuk menemaniku."

Pria tua: "............."

Raden Wijaya: "baiklah kek.... Kalau kau terus diam aku akan cari sendiri hutan itu". adya mulai meninggalkan kakek itu.

Pria tua: "tunggu....."

Adya berbalik arah.

Pria tua: "siapa namamu?"

Raden Adya: "kau bisa memanggilku Adya. Kenapa?? Kau akan membuatkan batu nisan untukku??"

Pria tua: "tidak..." sambil menghampiri dan mendekat ke Adya. "baiklah... aku akan memberi tahumu dimana hutan itu."

Raden Adya: "kau bercanda?? Apa yang mebuatmu berubah pikiran??"

Pria tua: "desa ini dikelilingi oleh jurang... jika kau salah sedikit saja kau akan jatuh dan mati. Aku lebih baik membiarkanmu mati di hutan itu daripada jatuh ke jurang dengan cara yang konyol."

Raden Adya: "okee, dimana hutan itu??" sambil tersenyum.

Pria tua: "tapi sebelum itu... kau harus lepaskan bajumu terlebih dahulu."

Raden Adya: "kenapa?? Kau ingin menjualnya?"

Pria tua: "dengarlah anak bodoh... kalau kau memakai baju itu kau akan keluar dari hutan itu tanpa kepala!!!." Berbicara dengan nada yang tinggi.

Raden Adya terdiam sambil memegangi kepalanya.

Pria tua: "tungu sebentar... aku akan ambilkan baju untukmu."

Lalu Adya mengganti bajunya dengan yang diberikan kakek itu.

Raden Wijaya: "lihatlah pak tua... kau membuatku seperti tukang potong kayu." Sambil melihat kakek itu dengan tatapan yang sinis. "Sepertinya kali ini aku akan akan turun kasta."

Pria tua: "memangnya kenapa?? Kau lebih cocok dengan baju itu hahahaha." Kakek tua itu tertawa terbahak-bahak. "baiklah... kau boleh pergi besok pagi. Sekarang hari sudah mulai gelap... kau istirahatlah terlebih dahulu disini. Aku akan menyimpan bajumu... kapanpun kau kembali aku akan mengembalikannya kepadamu."

Adya pun pergi meninggalkan kakek dan desa itu pada keesokan harinya. Adya berjalan kaki dan mengikuti petunjuk dari kakek itu. Tidak lama, Adya sampai di hutan itu dengan membawa obor yang diberikan kakek itu, suasananya sangat mengerikan, dan hutan itu dipenuhi kabut dan gelap gulita seperti malam hari, dan banyak suara-suara aneh di dalam hutan itu, dan juga terdapat banyak sekali tengkorak manusia.

Raden Adya: "padahal hari masih sangat terang, tapi kenapa setelah aku masuk kesini suasanya berubah drastis... ini sama saja seperti malam hari. Pantas saja kakek itu memberiku mainan ini."

Setelah cukup jauh berjalan Adya menemukan mayat yang sudah menjadi tulang belulang.

Raden Adya: "apa ini?? Apa ini tulang manusia?" lalu dia mengarahkan obornya. "woaahh... banyak sekali mayat disini."

Ketika Adya mengarahkan obornya ke salah satu mayat tersebut tiba-tiba dia menemukan sesuatu.

Raden Adya: "sial.... apa aku kembali saja ke desa itu?? tidak.. tidak.. kenapa aku jadi pengecut seperti ini." Sambil menampar-nampar mukanya. "huffhh... tunggu sebentar, apa itu??". Adya menjulurkan tangannya dan mengambil benda yang tertimbun oleh tumpukan tulang. "ewwh kotor sekali benda ini... apa aku buang saja?? Ini hanya potongan kain". Setelah dia usap-usap benda itu dengan jarinya, ternyata benda itu memiliki sebuah corak. "hahhh..? aku harus mencuci ini agar bisa melihatnya dengan jelas". Setelah Adya mencuci kain itu dengan air minum yang dibawanya "bukankah ini... tidak, tidak mungkin. Ini adalah lambang Wonosari." Dia sangat terkejut. "apakah Paman Meda sudah meninggal??." Dia bertanya-tanya. Tiba-tiba terdengar suara raungan singa dan Adya pun sangat terkejut "woaahh.... Apa itu??" sambil bersiap-siap menembak dengan panahnya. "aku harus cepat pergi dari sini...".

Adya pun berlari dengan sangat kencang untuk menghindari serangan dari makhluk yang misterius itu. Adya sudah berlari sangat jauh dari tempat dia menemukan mayat itu, tetapi makhluk itu terus mengintainya, walaupun Adya belum melihat sosok makhluk itu, tetapi dia terus berlari karena panik. Tapi Adya tidak bisa berlari terus, dia sudah sangat kecapean. Dan akhirnya dia berhenti dan memutuskan untuk melawan makhluk itu.

Raden Adya: "tunggu... aku kan bawa panah, kenapa aku harus lari??. Baiklah.. apapun wujudmu aku tidak akan takut kepadamu". Dia mengatakannya dengan penuh percaya diri.

Setelah dia bersiap untuk menembakan busur panahnya ke arah dari tempat suara itu berasal dan yang terjadi adalah:

Raden Adya: "apa...??? Kucing??? Hahahaha" dia tertawa terbahak-bahak sambil memegangi jidatnya. "jadi aku lari sejauh ini hanya karena seekor kucing?? Dasar bodoh... pantas saja kakek itu bilang aku akan mati konyol." sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ternyata kucing itu bukan kucing biasa, kucing itu berubah menjadi besar, matanya menjadi merah dan taringnya pun sampai terlihat, kucing itu warnanya hitam dan di sekeliling tubuhnya ada api yang berwarna hitam. Adya sangat terkejut, dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat, lalu Adya langsung mengarahkan panahnya kepada kucing itu dan menembaknya, dia tidak mensia-siakan kesempatan itu untuk membuktikan bahwa dirinya adalah pemanah terhebat di Wonosari. Tetapi busur panah yang ditembakan Adya itu menembus tubuh kucing itu, dan Adya pun langsung berbalik arah dan lari. Karena sudah lelah, Adya tidak kuat lari lebih jauh dan mulai melambat dan akhirnya dia diterkam oleh kucing itu sampai tidak sadarkan diri.

Kembali ke Wonosari, Raja menghampiri Adipati Bima dan prajurit lainnya yang sudah siap untuk mencari Adya. Raja Wijaya memberi sebuah jimat dan beberapa persenjataan yang sudah dibuat khusus untuk melawan para penyihir. Tidak lama kuda Adya melewati barisan pasukan dan menghampiri Raja.

Adipati Bima: "yang mulia, bukankah itu kuda yang di tunggangi oleh Adya?"

Raja Wijaya: "benar... ada apa dengan anak itu??" dia semakin cemas. "sepertinya aku harus ikut dalam pencarian ini!".

Adipati Bima: "tapi yang mulia, jika kau pergi... siapa yang akan menjaga Wonosari??"

Raja Wijaya: "kau tidak usah khawatir Bima... hari ini juga kita serang para penyihir itu. Aku mau semua pasukan yang ada di Wonosari ikut denganku!".

Adipati Bima: Dia berkata di dalam hatinya "hufhh... ini akan menjadi serangan balik yang sangat mengerikan".  "Baiklah... kalian dengar apa yang dikatakan yang mulia?? Mari kita serang para penyihir itu!". dan teriakan pasukan menyertainnya.

Kuda itu membawa sang Raja dan pasukan lainnya ke tempat dimana Adya jatuh bersama kuda itu.

Kemudian Adya sadar dari pingsannya.

Raden Adya: "aahh... kepalaku sakit sekali" Sambil melihat sekitar dan memegang kepalanya. "dimana aku?? Apa aku sudah mati?" Adya bangun dan berjalan sedikit demi sedikit. "woaah.. tempat ini indah sekali... aku tidak pernah melihat tempat seindah ini di dalam hidupku. Ternyata aku memang benar-benar sudah mati... apa aku disurga?? Adya berjalan sambil melihat-lihat sekitar.

Ini adalah pemandangan yang luar biasa, setelah dia melewati hutan yang menyeramkan itu. Padang rumput dan lading bunga matahari, bukankah semua orang akan terpesona dengan keindahannya?. Lalu Adya terus berjalan melewati tempat yang indah itu dan dari kejauhan Adya melihat seorang wanita, lalu dengan cepat dia menghampiri wanita yang sedang memetik bunga itu.

Raden Adya: "permisi... apa kau tau dimana aku???". " woaah cantik sekali" sambil menatap wanita itu. " pasti dia adalah bidadari" dia mengucapkannya di dalam hati. "apa kau bidadari??"

Wanita cantik: dia langsung mengarahkan pedangnya kepada Adya dan berkata "siapa kau?."

Raden Adya: "a..a..aa.. apa di surga bidadari juga menggunakan pedang??"

Wanita cantik: "jawab aku!!!" sambil membentak Adya.

Raden Adya: "okee... okee... okee.. namaku Adya, aku hanya manusia biasa."

Wanita cantik: "heh.. manusia?? mau apa kau disini??" dengan tatapan mata yang sangat dingin.

Raden Adya: "aku tidak tau... tadi aku sepertinya pingsan, setelah aku bangun aku tiba-tiba ada disini. Tapi... bisakah kau jauhkan pedangmu dari ku??"

Wanita cantik: menurunkan pedangnya "baiklah... cepat pergi dari sini!!, sebelum aku membunuhmu manusia!".

Raden Adya: "tapi..tapi...tapi... aku tidak tau harus kemana."

Wanita cantik: "bukan urusanku!!! Yang penting menjauhlah dari sini!!".

Wanita itu pergi meninggalkan Adya, tetapi Adya mengikuti wanita itu karena tidak tau harus kemana lagi.

Wanita cantik: "kenapa kau mengikuti ku? Apa kau mau mati hah??" sambil mengeluarkan pedangnya lagi.

Raden Adya: "tidak...tidak... aku ingin pergi kesana, sama sepertimu."

Akhirnya mereka berdua berjalan bersama dan sedikit berbincang.

Raden Adya: "aku pikir aku sudah mati...". " kalau aku tidak kehilangan panahku pasti aku sudah melawanmu tadi".

Wanita cantik: "apa kau bilang??"

Raden Adya: "tidak... aku tidak mengatakan apa-apa" sambil tersenyum.

Wanita cantik: "dengarlah... kalau bukan karena wajahmu, aku sudah membunuhmu daritadi."

Raden Adya: "memangnya ada apa dengan wajahku??"

Wanita cantik: "tidak ada apa-apa, tadi wajahmu seperti anak kecil yang sedang menangis, aku kasian melihatmu" Dia mengatakannya sambil menundukan wajahnya dan sedikit tersenyum.

Raden Adya: "benarkah??" sambil menunjuk wajahnya. "tapi.. bolehkah aku tau namamu?"

Wanita cantik: "untuk apa kau tau namaku??"

Raden Adya: "heyy... bukankah itu tidak adil kau tau namaku, tapi aku tidak tau namamu??."

Wanita cantik: "namaku Rara..."

Raden Adya: "ohh Rara?? Baik.. mulai sekarang aku akan memanggilmu Rara."

Rara: "kenapa??? Kau tidak suka namaku?"

Raden Adya: "tidak... aku suka namamu, namamu lucu. Apa kau tidak punya nama kedua?"

Rara: "tidak"

Raden Adya: "pendek sekali namamu.. seperti orangnya."

Rara: "apa kau bilang?? Sebaiknya.. aku bunuh saja kau tadi... jaga mulutmu, sekali lagi kau seperti itu aku akan memutuskan kepalamu."

Raden Adya: "iyaa... iyaaa.. maaf. Ngomong-ngomong aku suka gaunmu. Kau sangat cantik dengan gaun itu."

Rara: "tadi kau menghina ku... sekarang malah memuji ku" sambil tersenyum.

Setelah perbincangan itu, akhirnya mereka berdua sampai di depan sebuah kerajaan.

Raden Adya: "waahh... temboknya tinggi sekali. Apakah bangunan yang tinggi itu adalah Keraton? Rara kau tinggal di dalam sini??"

Rara: "hufhh... dengar Adya, ini bukan kerajaan biasa, ini adalah kerajaan penyihir. Kau tidak boleh masuk kesana. Berhenti mengikutiku sampa disini, paham??"

Raden Adya: "penyihir??". "ternyata mereka semua nyata, dan mereka mempunyai kerajaan" dia berbicara di dalam hati.

Rara: "iyaa.. kalau kau masuk dan ibuku tau kalau kau adalah manusia... kau akan dibunuh olehnya."

Raden Adya: "tapi bagaimana cara ibumu tau??? Kalian semua terlihat seperti manusia kok."

Rara: "penyihir yang ilmunya tinggi, mereka langsung bisa mengenali kalau kau manusia atau bukan. Memang awalnya penyihir adalah manusia tetapi ketika mereka melakukan sebuah ritual mereka tidak bisa kembali menjadi manusia biasa lagi."

Rara pun pergi meninggalkan Adya sendirian. Tetapi Adya keras kepala, dia terus mengikuti Rara.

Raden Adya: "akhirnya ketemu juga para penyihir itu... aku harus masuk kesana, aku akan langsung membunuh Ratunya. Tunggu... tapi aku harus membunuhnya pakai apa?? Aku kehilangan panahku. Arrghh aku tidak perduli... yang penting aku harus masuk dulu kesana."

Setelah Adya masuk melewati pintu masuk itu, tidak jauh dari pintu masuk Adya langsung dihadang oleh pasukan yang sedang berjaga dan langsung mengarahkan senjatanya. Melihat Adya di cegat oleh beberapa penjaga tersebut Rara pun datang kembali.

Rara: "heyy... lepaskan!!! Dia teriak dari kejauhan dan menghampiri Adya. "lepaskan dia prajurit, dia adalah temanku."

Prajurit: "baik tuan putri"

Raden Adya: "putri..?? kau bangsawan Rara?"

Rara: "iyaa.. ibuku Ratu". "sudah kubilang jangan mengikutiku masuk kesini" sambil memukul dada Adya.

Raden Adya: "aww... sakit. Maafkan aku Rara aku tidak tau harus pergi kemana, selain mengikutimu."

Rara: "baiklah..." sambil memegang kepalanya. "selama kau bersamaku, kau akan aman disini. Ikuti aku, aku akan memberimu tempat tinggal sementara disini"

Tapi diperjalanan menuju tempat itu, Ratu datang menghampirinya.

Naharayu: "Rara... putriku yang manis, kau darimana nak??"

Rara: "ibuu..???" dia sangat terkejut.

Rara sangat terkejut, dan langsung melindungi Adya. Adya bersembunyi di balik Rara.

Naharayu: "ada apa?? Kau bersama seseorang? Siapa dia?? Bertanya dengan sinis."

Rara: "dia.... Eehhh, dia pacarku ibu!!."

Adya lalu keluar dari balik Rara dan menundukan kepalanya kepada Ratu.

Naharayu: "apa kau bercanda??"

Rara langsung menarik Adya dan menciumnya.

Naharayu: "aahhh... ternyata dia benar pacarmu. Tetapi bukankah kau mengatakan tidak ingin punya pacar??"

Rara: "itu dulu ibu, sekarang aku punya. Hehehehe"

Naharayu: "baiklah... ibu pergi dulu"

Rara: "iyaa hati-hati ibu, dadah..."

Kemudian ibu Rara pergi meninggalkan mereka berdua.

Rara: "maaf aku menciummu. Aku piker ibu langsung tau kalau kau adalah manusia."

Raden Adya: "tidak... tidak apa-apa."

Jantung Adya sangat berdebar kencang setelah dicium oleh Rara.

Rara: "baiklah, karena ibu menanggap kau adalah pacarku, kau bisa tinggal di istana untuk sementara waktu."

Kemudian Adya pergi bersama Rara menuju istana. Diperjalanan Adya di hantui oleh perasaannya. "kenapa jantungku masih berdebar??? Apakah karena ini adalah ciuman pertamaku?? Atau ini adalah cinta?? Tidak... tidak aku tidak boleh jatuh cinta oleh anak penyihir itu. Aku datang kesini untuk balas dendam... bukan untuk jatuh cinta."

Disisi lain, rombongan pasukan Wonosari sudah sampai di hutan angker, mereka sampai disana setelah menemukan desa yang menjadi tempat singgah sementara Raden Adya, kakek itu menceritakan semuanya. Lalu Raja dan pasukannya bergegas untuk mencari Adya di hutan itu. Mereka membunuh semua satwa yang berada disana, termasuk kucing yang mengerikan itu. Mereka semua menggunakan senjata yang dibuat khusus untuk melawan penyihir.

Salah satu dari satwa itu terbang ke Lentera, dia bertemu Ratu untuk menyampaikan kabar bahwa Wonosari telah datang. Ratu pun yang sedang berada di istana langsung bergegas mengumpulkan pasukannya untuk melawan pasukan Wonosari.

Rara: "ada apa ibu?? Kau mau kemana?"

Naharayu: "Rara... kau bersembunyilah. Wonosari telah datang, mereka menyerang kita."

Ratu langsung pergi meninggalkan Rara dan Adya.

Raden Adya: "apa???". "apa mereka tau kalau aku disini?" dia berkata di dalam hati.

Rara pergi mengejar ibunya.

Raden Adya: "Rara... kau mau kemana??? Kau harusnya bersembunyi". "Kalau dia datang kesana dia pasti akan dibunuh oleh ayahku" dia berbicara dalam hatinya.

Kemudian Raden pun mengejar Rara untuk melindunginnya.

Banyak satwa yang berada di hutan itu mati karena ulah pasukan Wonosari, beberapa satwa berbicara kepada Raja Wijaya untuk menceritakan kebenaran yang ada di hutan ini, satwa itu berkata "kami tidak pernah membunuh seseorangpun disini, rupa kami memang menyeramkan tapi kami tidak pernah membunuh satu orangpun disini. Mereka semua yang mati disini karena kesalahan mereka sendiri, mereka memetik buah terlarang, kami telah mengingatkan beberapa dari mereka, tetapi mereka malah menyerang kami karena rupa kami yang seperti ini. Yang mulia... berhentilah membunuh... kami sebelumnya adalah manusia sama sepertimu. Bahkan kucing yang kau bunuh itu telah menyelamatkan anakmu yang mulia..."

Adipati Bima: "yang mulia... apakah kita harus mempercayai mereka??"

Raja Wijaya: "tidak Bima... bunuh saja mereka semua."

Tiba-tiba Ratu datang.

Naharayu: "tunggu... jangan bunuh mereka. Mereka semua tidak bersalah!!"

Adipati Bima: "yang mulia... siapa dia??"

Raja Wijaya: "dia adalah salah satu pemimpin dari para penyihir itu" berbicara kepada Bima. "baiklah... minggir kau hewan jelek. Aku akan membunuh Ratumu itu."

Hewan itu semua pergi meninggalkan lokasi yang akan menjadi tempat pertempuran.

Naharayu: "asal kau tau Wijaya... mereka semua adalah manusia. Mereka semua itu adalah penyihir yang gagal, aku tau itu salahku. Maka dari itu aku membuat hutan itu untuk tempat tinggal mereka. Apa kau belum cukup membuat banyak orang menderita??"

Raja Wijaya: "apa kau bodoh?? Kau yang menyerang kerajaanku terlebih dahulu."

Rara dan Adya datang.

Raden Adya: "ayah..."

Raja Wijaya menoleh kea rah Raden.

Rara: "ayah???? Apa dia ayahmu?"

Raden Adya: "Rara... aku akan jelaskan nanti."

Naharayu: "alasan ibuku menyerangmu yaitu karena ulahmu sendiri Wijaya... kau mengancurkan kami terlebih dahulu, apa kau lupa? Kau mengusir kami dari Wonosari... hanya karena kau tidak menerima pendapat dari keluarga penyihir."

Raden Adya: "apa itu benar ayah??"

Naharayu: "ahh.. jadi anak itu adalah putramu Wijaya??? Terakhir kali aku melihatnya saat itu dia masih bayi. Semoga anakmu itu tidak akan mengikuti jejakmu Wijaya" sambil tersenyum.

Raja Wijaya: "dengar Adya... aku melakukan ini semua untuk Wonosari."

Naharayu: "sepertinya anakmu itu harus tau kebenarannya Wijaya."

Raden Adya: "arrgghh.. aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi."

Raja Wijaya: "kau membunuh istriku dan putra pertamaku Naharayu. Hentikan omong kosong itu!."

Naharayu: "aku tidak membunuhnya... dan bukan aku juga yang membunuh putra pertamamu. Bisa dibilang aku menyelamatkan nyawa istrimu ini Wijaya."

Raja Wijaya: "apa maksudmu?"

Naharayu membuka penutup mukanya, dan semua orang terkejut.

Naharayu: "lihat ini Wijaya" dia membuka penutup mukanya.

Raja Wijaya: "Kumara???" Raja sangat terkejut sampai tidak bisa berkata-kata.

Raden Adya: "ibuu..."

Rara: "ibu?? Apa maksudnya semua ini?. Ibu tolong katakana kepadaku apa yang terjadi!!. Siapa kau sebenarnya? Dan aku ini siapa?"

Naharayu: "maafkan aku Rara... 20 tahun lalu ada penyihir yang membawamu ke Lentera, dia bilang ibu dan ayahmu terbunuh. Lalu karena Kumara tidak henti-hentinya menangis setelah aku membawannya dari Wonosari, aku memutuskan untuk membiarkan dia untuk merawatmu sampai umurmu 5 tahun. Setelah itu kondisinya memburuk, dia sakit keras. Begitupun dengan aku... tubuhku semakin buruk. Akhirnya aku memutuskan untuk memindahkan jiwaku kepadanya, selama mantra itu berhasil dia akan baik-baik saja... tetapi jika aku mati, dia akan mewarisi semua kekuatanku. Dalam perbincangan singkat aku dengannya... aku berjanji untuk menyatukan kembali keluarga penyihir ke Wonosari, dengan cara apapun. Walaupun aku harus membunuh Rajanya.

Rara sangat sedih setelah mendengar itu semua. Lalu Adya memeluknya dan mencoba untuk menghiburnya.

Raja Wijaya: "itu tidak akan mungkin terjadi!!!" membantah dengan serius.

Naharayu: "maka dari itu aku harus membunuhmu terlebih dahulu Wijaya....".

Akhirnya pertempuran tak terhindarkan. Ratu menyerang Raja, tapi Raja sangat berhati-hati untuk tidak membunuh Ratu, karena Ratu memakai tubuh istrinya. Adya mencoba melindungi Rara, tetapi Rara masih sedih dengan apa yang terjadi.

Raden Adya: "Rara... sudahlah, aku tau bagaimana perasaanmu sekarang. Tapi yang paling terpenting adalah kita harus menghentikan peperangan ini terlebih dahulu.

Rara tak kuasa menahan tangisannya dan memeluk Adya.

Rara: "sepertinya aku tau bagaimana cara menghentikan ini Adya.."

Raden Adya: "bagaimana???"

Rara: "aku pernah mendengar ibu.. tidak, dia bukan ibuku. Maksudku aku mendengar penyihir itu sedang berbicara dengan Ratna" sambil menangis dengan tersendu-sendu.

Raden Adya: "siapa itu Ratna?"

Rara: "yang aku tau dia adalah tangab kanan dari ibu penyihir itu, mungkin umurnya setara dengan Ratu sebelumnya."

Raden Adya: "baiklah... lanjutkan."

Rara: "penyihir itu berkata kalau tubuh yang dia pakai itu sadar, dia akan mati."

Raden Adya: "apa maksdunya? Apa itu artinya ibuku akan mati juga?"

Rara: "tidak... kau hanya perlu membangunkannya Adya... kau harus bisa bagaiman cara membangunkan ibumu."

Raden Adya: "hmmm baiklah... aku akan mencoba melakukannya. Kau jangan kemana-mana Rara, kau harus tetap disini. Aku tidak mau kau terluka."

Rara: "iyaa.. jangan khawatirkan aku"

Adya mencari tau bagaimana caranya membangunkan ibunya, sedangkan ayahnya sedang bertarung dengan penyihir yang menggunakan tubuh ibunya. Dalam pertarungan antar pemimpin itu Adya mencoba mendekati penyihir itu, dia berteriak "ibu... yang kau lawan adalah suamimu... dan aku adalah anakmu, ibu... kau harus sadar." Adya terus berteriak seperti itu, dia berteriak makin kencang untuk membangunkan ibunya. Dan dia meminta juga kepada ayahnya untuk segera menyadarkan Kumara.

Tetapi penyihir itu berhasil mengenai Raja Wijaya dengan sihir yang sangat berbahaya. Siapapun orang yang terkena sihir itu, perlahan tubuhnya akan terbakar dan berubah menjadi abu. Raja Wijaya tidak bisa berbuat apa-apa, karena dia tidak bisa menyerang penyihir itu, dia hanya terus bertahan dan menangkis serangan dari Naharayu. Raja terjatuh dan terbaring lemas, Naharayu tertawa dengan ciri khasnya, yaitu dengan mengerihkan. Naharayu menganggap dirinya telah menang, melihat Raja Wijaya terbaring dan tidak bisa melakukan apa-apa, Naharayu berniat ingin menancapkan pedangnya ke Raja Wijaya. Tetapi saat ia sedang mengarahkan pedang itu ke Raja Wijaya, Raja Wijaya berkata "bunuhlah aku Kumara" sontak mendengar suara itu Kumara terbangun dan langsung mengambil alih tubuhnya itu lagi.

Rara: "apa dia berhasil sadar??

Rara menghampiri Adya.

Kumara: "apa yang aku lakukan?? Aku ada dimana?" sambil melihat sekelilingnya.

Akhirnya Kumara jatuh pingsan karena tubuhnya yang lemah setelah berhasil mengambil alih tubuhnya itu.

Raden Adya: "ibu... ayah..." dia berlari menghampirinya. "ayah kau tidak apa-apa??"

Raja Wijaya: "ayah tidak apa-apa nak... lebih baik kau periksa ibumu" sambil meringis kesakitan."

Lalu Adipati Bima datang setelah dari pertempuran, dia menghampiri Raja.

Adipati Bima: "yang mulia... kau tidak apa-apa?? Lihat tubuhmu yang mulia."

Raja Wijaya: "aku tidak apa-apa, jangan khawatir. Apa kau terluka??"

Adipati Bima: "aku baik-baik saja yang mulia"

Raja Wijaya: "aku minta hentikan pertempuran ini."

Adipati Bima: "baik yang mulia". Lau Bima berteriak "hey semuanya!!! Hentikan...!!"

Lalu semua prajurit berhenti bertarung walaupun banyak juga yang telah gugur dari kedua belah pihak.

Raja Wijaya akhirnya mengakui kesalahannya, dia meminta maaf kepada semua penyihir di akhir nafasnya atas perbuatanya. Kumara masih terbaring lemas dan belum sadarkan diri. Adya menangis melihat tubuh ayahnya yang perlahan-lahan berubah menjadi abu, tidak ada cara untuk menghentikannya. Rara pun hanya bisa terdiam menyaksikan semua kejadian ini, dia mencoba menenangkan Adyan.

1 minggu setelah kejadian itu, Lentera sekarang berada dibawah pemerintahan Wonosari. Adya yang sebelumnya menjadi putra mahkota, sekarang dia menjadi Raja menggantikan ayahnya yang meninggal. Dibawah pemerintahan Adya, keluarga penyihir akhirnya bisa kembali ke Wonosari, sekarang Wonosari akan membekali semua pasukannya dengan ilmu sihir untuk tujuan yang lebih baik, dan juga agar tidak disalah gunakan. Rara tetap berada disisi Adya, Rara menjadi permaisuri yang sangat cantik di Wonosari, dia menjadi wanita tercantik di Wonosari. Adya dan Rara segera menggelar acara pernikahan setelah ibunya sadar. Kumara masih dirawat di Bhadra.

Setelah 2 minggu, Adya mendapat kabar dari Bhadra bahwa ibunya sudah sadar. Adya langsung bergegas pergi dari Keraton bersama Rara, Adya dan Rara menuju ke Bhadra menggunakan kereta kencana dan dikawal oleh pasukan yang dipimpin oleh Adipati Bima. Sesampainya di Bhadra:

Raja Adya: "ibu, bagaimana kondisimu?" sambil memegangi kedua tangan ibunya.

Kumara: "aku sudah jauh lebih baik nak." Sambil tersenyum dengan terharu. "20 tahun kau tumbuh tanpa ibu, pasti kau melewati hari-hari itu dengan sulit. Setelah perpisahan kita yang lama itu, aku tidak akan mengenalimu jika bertemu di jalan."

Raja Adya: "sudahlah ibu... lupakan yang sudah berlalu. Mari kita bersama-sama menjalani hidup baru."

Kumara terus memandangi wajah Adya.

Raja Adya: "kenapa kau melihatku seperti itu bu?? Aku jadi malu."

Kumara: "kenapa? Ibu hanya memandang wajah anak ibu yang tampan ini."

Raja Adya: "ahh ibu bisa aja."

Kemudian Rara masuk dan memberi hormat kepada Kumara.

Raja Adya: "ibu, perkenalkan ini Rara."

Kumara: "Rara?? Sepertinya aku tidak asing dengan nama itu."

Rara: "ibu, terimakasih telah merawatku" dia mengatakannya dengan berlinang air mata.

Raja Adya: "ibu, ini adalah Rara yang kau rawat dari bayi untuk menggantikan ku di Lentera."

Kumara: "benarkah??" sangat terkejut.

Rara: "benar bu, aku dengar ibu sendiri yang memberi nama itu."

Kumara: "iyaa.... Aku yang memberi nama itu. Nama itu mempunyai makna yang dalam, walaupun tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata."

Semuanya yang ada diruangan itu tersenyum.

Raja Adya: "ibu.. kita akan menggelar upacara pernikahan."

Kumara: "apa?? Kalian akan menikah?? Ibu sangat tidak menyangka ini akan terjadi."

Rara: "takdir memang tidak ada yang tau ibu." Sambil tersenyum gembira.

Seminggu setelah Kumara keluar dari Bhadra, di Keraton sedang menggelar upacara pernikahan antara Adya dengan Rara. Acara itu dihadiri oleh semua kalangan di Wonosari, acara itu berlangsung selama 3 hari, sekaligus merayakan bersatunya kembali keluarga penyihir di Wonosari. Acara itu terdiri dari upacara adat, tarian yang di iringi gamelan, makan-makan, dan masih banyak lagi. Pada intinya ini acara yang sangat megah dan meriah.

Selama dibawah pimpinan Adya, Wonosari berkembang pesat, dan menjadi salah satu kerajaan terbesar di dunia, mengalahkan kerajaan-kerajaan lainnya di Eropa dan juga Asia. Selama pemerintahan beliau, Wonosari mempunyai banyak candi baru, salah satunya adalah Candi Darsana (untuk melambangkan orang yang berbudi), Candi Darsuki (untuk melambangkan perdamaian), dan Candi Donahue (yang berarti prajurit yang tangguh) untuk menghormati jasa prajurit Wonosari yang gugur dalam tugasnya.

Adya dan Rara hidup bahagia sebagai keluarga kerajaan, dan didampingi oleh Kumara sebagai penasihat. Kini Adya sangat dihormati di Wonosari, setelah sebelumnya dia pernah di injak-injak di Wonosari tetapi dia membuktikan dirinya bisa menjadi pemimpin yang baik bagi rakyat Wonosari. Adya menjadi pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya, untuk mengenang semua yang terjadi, Wonosari membuat prasasti sebagai dokumen dan bentuk menghormati sejarah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun