Sudah lebih dari setahun tak terdengar gaungnya, apa kabar Revisi UU KPK di parlemen dan istana? Terakhir tanggal 22 Februari 2016, presiden dan pimpinan sepakat untuk menunda pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada yang aneh memang karena pembahasannya ditunda, yang berarti bisa saja sewaktu – waktu pembahasan diadakan kembali hanya untuk menjatuhkan KPK.
Sebagai lembaga dari anak reformasi yang tak diharapkan kelahirannya. KPK punya kewenangan luas yang benar – benar harus dijalankan secara total. Namun dengan ada revisi undang – undang ini, posisi KPK malah akan dilemahkan.
Revisi UU KPK sudah lama masuk dalam program legislasi DPR. Setidaknya ada empat poin yang dianggap melemahkan :
•KPK harus minta izin Dewan Pengawas dalam penyadapan;
•KPK nantinya akan diawasi oleh Dewan Pengawas;
•KPK dapat menghentikan perkara (SP3);
•KPK hanya diberi kewenangan menangani perkara korupsi di atas Rp 50 miliar.
Terkait masalah penyadapan, sebenarnya Mahkamah Konstitusi sudah memberikan wewenang penyadapan kepada KPK, hal ini didasari karena kepentingan yang jauh lebih besar. Yaitu kepentingan negara. Alasan Hak Asasi Manusia sudah tidak bisa lagi dijadikan dasar untuk mengebiri kewenangan penyedapan, yah karena kepentingan nasional yang dilindungi. Penyadapan ibarat taringnya KPK, jika kewenangan ini dibatasi maka kekuatan lembaga ini hampir hilang separuh. KPK juga tak main-main dalam membuntuti seseorang yang diduka melakukan tindak pidana korupsi, tidak 1 – 2 hari bahkan bisa sampai setahun lebih.
Pemberian SP3 juga tidak ada urgensinya. Dalam setiap menangani kasus, KPK selalu berhati-hati melakukan penyelidikan. Adalah wewenang hakim yang memutuskan di pengadilan.
Adapun dengan dewan penasehat, ini bisa membahayakan posisi KPK dalam setiap penanganan kasus tindak pidana korupsi. Tidak ada dasar filosofis kalau selalu ada izin dalam menindak korupsi. Karena apabila dewan pengawas masuk substansi ini bisa berbahya. Padahal sejak awal berdiri KPK sudah punya independensi dan bebas dari intervensi dalam menangani kasus korupsi. Jika ada pengawas tak ada lagi kemandirian, harus lapor sana sini.
Lalu siapa yang menolak dan mendukung Revisi UU KPK ini? Penting untuk mengetahui karena ini berkaitan erat dengan spirit perlawanan terhadap korupsi, toh apakah kita mau diwakili oleh partai yang tidak pro pemberantasan korupsi.
Sementara ini hanya tiga partai politik yang menolak revisi UU KPK. Ketiga partai itu adalah Fraksi Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kita harapkan partai lainnya segera sadar.
Sementara itu, adapun Fraksi yang mati – matian mendorong revisi UU KPK adalah Fraksi PDI Perjuangan, Partai Golkar, PAN, PKB, dan Partai Hanura. Masih mau dukung partai yang mau melemahkan KPK ?
Lebih baik DPR dan Pemerintah menyelesaikan Revisi Undang – Undang Terorisme, Revisi Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi dan RUU KUHP ver. Indonesia yang lebih mendesak bagi kepentingan bangsa dan negara, daripada sibuk membredel KPK.
Perubahan atas UU No 30 Tahun 2002 ini harus benar-benar dikaji secara matang. Selain dari pihak KPK, DPR dan Pemerintah juga harus melibatkan para ahli dan tokoh akademisi, terjun ke kampus - kampus untuk menyelesaikan masalah konsep tersebut.
Jadi naskah akademik itu nantinya akan tersusun secara komprehensif dan tak ada yang dirugikan. Harus ada komunikasi dan duduk bersama serta tidak membawa kepentingan politik partai. Jangan malah jalan sendiri-sendiri dan memikirkan partai. Revisi itu perlu untuk memperbaiki, bukan melemahkan!
Kita lihat saja nanti, apakah Revisi UU KPK akan dibatalkan atau akan menjadi “Gunung Es”.
*) Fahmi Ramadhan Firdaus
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI