Mohon tunggu...
FadlinBimanus
FadlinBimanus Mohon Tunggu... Mahasiswa/Guru mengaji

Sebaik-baik manusia yang memberikan manfaat kepada orang lain, menjadi mukmin sejati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terus Berjuang, Jatuh, Bangkit, Tidak ada Kata Menyerah!

14 September 2025   13:11 Diperbarui: 14 September 2025   13:11 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

+Bab 4 -- Jatuh, Bangkit, dan Terus Berjuang Tidak ada Kata Menyerah!

Tidak semua perjalanan di pascasarjana berjalan mulus. Ada saat-saat di mana Fadlin merasa berada di titik terendah. Ia pernah gagal dalam sebuah ujian penting---ujian yang seharusnya bisa ia lewati dengan baik, tetapi justru membuatnya terpukul. Saat itu, ia merasa semua usahanya sia-sia.

Malam setelah ujian itu, ia duduk lama di kamar kostnya. Buku-buku berserakan, laptop masih menyala, tetapi pikirannya kosong. Rasa lelah bercampur kecewa membuatnya hampir menyerah. Ia bertanya pada dirinya sendiri: "Apakah aku memang pantas berada di sini? Apakah aku bisa menyelesaikan perjalanan ini?"

Namun, di tengah kegundahan itu, ia teringat pada nasihat seorang dosen:
"Kegagalan itu bagian dari proses ilmiah. Yang penting bukan seberapa sering kamu jatuh, tetapi seberapa kuat kamu bangkit."

Kalimat itu seperti cahaya yang menuntun langkahnya kembali. Ia mulai menyadari bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan pelajaran. Ia belajar menata strategi baru: memperbaiki manajemen waktu, memperdalam bacaan, serta lebih rajin berdiskusi dengan dosen dan teman-teman.

Perlahan, semangatnya bangkit. Ia kembali menghadapi ujian, kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Dan ketika hasilnya keluar, ia tersenyum lega---ia berhasil melewati rintangan itu.

Dari pengalaman tersebut, Fadlin belajar satu hal penting: perjuangan seorang mahasiswa pascasarjana bukan hanya soal nilai atau kelulusan, tetapi soal keteguhan hati. Kegigihan, kesabaran, dan keberanian untuk bangkit setelah jatuh adalah kunci sejati.

Sejak itu, setiap kali menghadapi kesulitan, ia tidak lagi memandangnya sebagai musibah, melainkan sebagai kesempatan untuk tumbuh. Ia semakin yakin bahwa jalan menuju cita-cita memang penuh rintangan, tetapi dengan iman, usaha, dan semangat pantang menyerah, semua bisa dilewati.

Setelah melewati masa-masa sulit, semangat Fadlin mulai kembali menyala. Kegagalan yang pernah ia alami kini menjadi cerita masa lalu, dan dari situ ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat. Usahanya yang tekun, konsistensinya dalam belajar, serta keberaniannya untuk bangkit perlahan-lahan membuatnya mulai diperhitungkan.

Dosen-dosen melihat kesungguhan Fadlin. Ia dikenal rajin bertanya, kritis dalam diskusi, dan selalu berusaha melengkapi argumennya dengan referensi yang kuat. Teman-temannya pun menghargainya, bukan hanya karena pengetahuannya, tetapi juga karena sikapnya yang rendah hati dan siap membantu siapa pun yang kesulitan.

Suatu hari, ia diminta dosen menjadi asisten dalam sebuah seminar kampus. Tugas itu sederhana: membantu menyiapkan materi dan mengatur jalannya acara. Namun bagi Fadlin, kesempatan itu sangat berharga. Dari situ, ia merasakan kepercayaan yang mulai diberikan kepadanya. Lebih dari itu, ia semakin yakin bahwa jalannya menuju dunia akademik memang terbuka.

Di tengah kesibukan akademik, perjalanan spiritualnya pun semakin dalam. Setiap kali merasa lelah, ia menenangkan diri dengan shalat malam. Di sujud panjangnya, ia berdoa agar diberi kekuatan menyelesaikan perjalanan ini. Ia yakin, ilmu yang sedang ia kejar bukan semata untuk dirinya, melainkan juga untuk kemaslahatan umat.

Pengalaman hidup di Jakarta juga mengajarkannya banyak hal tentang kesabaran dan tawakal. Ia belajar menerima bahwa tidak semua hal berjalan sesuai rencana, tetapi selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Semakin ia mendekatkan diri pada Allah, semakin ia merasa ringan melangkah, meski jalan di hadapannya penuh tantangan.

Gabungan antara pengakuan akademik dan penguatan spiritual inilah yang membuatnya semakin matang. Ia tidak lagi sekadar mahasiswa yang mengejar gelar, tetapi seorang pejuang ilmu yang berusaha menyeimbangkan akal dan hati.

Bagi Fadlin, inilah fase penting: saat dunia akademik dan spiritual bertemu, membentuk pondasi yang kokoh untuk melangkah menuju puncak perjalanan pascasarjana.

Setelah melalui berbagai dinamika perkuliahan, diskusi hangat, hingga ujian yang penuh pelajaran, tibalah saatnya Fadlin menghadapi tantangan besar berikutnya: menyusun proposal tesis. Inilah tahap yang menentukan arah penelitiannya sekaligus menguji kedewasaan ilmiahnya.

Di ruang sunyi perpustakaan pascasarjana, Fadlin duduk berjam-jam dengan laptop terbuka. Di sampingnya menumpuk buku-buku filsafat Islam, metodologi penelitian, dan jurnal-jurnal internasional yang ia kumpulkan. Ia tahu, proposal bukan sekadar formalitas, melainkan peta jalan penelitian yang akan ia tempuh selama berbulan-bulan.

Topik yang semula hanya gagasan kini perlahan-lahan menjelma menjadi kerangka ilmiah. Ia menulis judul sementara: "Digitalisasi dan Perubahan Pola Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia". Dari judul itu, ia mulai merinci latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta metodologi yang akan digunakan.

Namun perjalanan tidak semudah yang ia bayangkan. Berkali-kali ia merasa buntu. Draf yang ditulis malam ini sering ia hapus keesokan harinya. Kritik dari dosen pembimbing kadang membuatnya merasa kecil hati: "Fokusmu masih terlalu luas, persempit lagi." atau "Metodologinya belum jelas, kamu harus lebih spesifik."

Meski demikian, Fadlin tidak menyerah. Ia justru menjadikan kritik itu sebagai bahan bakar untuk memperbaiki diri. Setiap kali pulang dari bimbingan, ia merenung sambil menuliskan kembali idenya. Malam-malam panjang di kost ia lewati dengan penuh tekad, ditemani secangkir kopi dan doa yang terlantun di sela-sela keheningan.

Pada akhirnya, draf proposalnya mulai menemukan bentuk yang lebih kokoh. Ia memutuskan untuk fokus meneliti kelompok mahasiswa sebagai objek penelitian, dengan pendekatan kualitatif yang menggabungkan wawancara mendalam dan analisis literatur. Pilihan ini terasa lebih realistis sekaligus relevan dengan minatnya.

Hari presentasi proposal pun semakin dekat. Degup jantungnya kian kencang setiap kali mengingatnya. Namun di balik rasa cemas, ia juga merasakan semangat baru. Bagi Fadlin, ini bukan hanya ujian akademik, tetapi juga ujian keyakinan: sejauh mana ia mampu berdiri tegak, mempertahankan gagasan, dan menunjukkan kesungguhannya sebagai peneliti muda.

Hari yang ditunggu akhirnya semakin dekat: sidang proposal. Bagi sebagian orang, ini hanyalah tahap formal sebelum memasuki penelitian yang sesungguhnya. Namun bagi Fadlin, sidang proposal adalah tonggak penting---momen di mana ia harus membuktikan keseriusan dan kelayakan penelitiannya.

Seminggu sebelum hari sidang, suasana hati Fadlin campur aduk. Setiap malam ia memperbaiki slide presentasi, menata kalimat agar jelas dan ringkas, serta berlatih menjawab kemungkinan pertanyaan yang akan muncul. Di hadapan cermin, ia mencoba berbicara dengan tegas, seakan-akan dosen penguji sudah ada di hadapannya.

Namun, rasa cemas tetap sulit dihindari. Pikiran buruk kadang datang: "Bagaimana kalau pertanyaanku tidak bisa terjawab?" atau "Bagaimana kalau proposal ini dianggap lemah?" Saat keraguan itu datang, Fadlin memilih menenangkan diri dengan berdoa. Ia yakin, usaha maksimal harus ditemani dengan tawakal penuh kepada Allah.

Beberapa hari menjelang sidang, ia semakin sering mengunjungi masjid kampus. Di sela-sela belajar, ia mengambil wudhu, duduk tenang di pojok masjid, lalu berbisik dalam hati: "Ya Allah, kuatkan langkahku. Jika ini jalan menuju kebaikan, mudahkanlah. Jika ada kekurangan, tunjukkanlah agar bisa aku perbaiki."

Dukungan dari teman-teman juga menjadi kekuatan tersendiri. Rahman sering menyemangati dengan candaan khas santri: "Tenang saja, kalau gugup, anggap saja dosen penguji itu jamaah pengajianmu." Laila mengingatkan untuk tidak terlalu perfeksionis: "Yang penting kamu paham isi penelitianmu. Jangan takut salah, justru di sinilah tempatnya diperbaiki."

Malam terakhir sebelum sidang, Fadlin hampir tidak tidur. Ia membuka kembali catatan metodologi, membaca ulang draft proposal, dan menyiapkan semua dokumen. Saat azan Subuh berkumandang, ia menutup buku, mengambil air wudhu, dan berserah penuh. Hatinya bergetar, bukan hanya karena akan menghadapi ujian akademik, tetapi juga karena ia sadar: perjalanan ini adalah bagian dari panggilan hidupnya.

Kini, hari itu pun tiba. Dengan setelan rapi dan map berisi proposal di tangan, Fadlin melangkah menuju ruang sidang. Jantungnya berdegup kencang, tapi di dalam dirinya ada keyakinan: apa pun yang terjadi, ia siap berjuang.

Ruang sidang itu terasa dingin meski pendingin ruangan bekerja biasa saja. Bagi Fadlin, setiap detik yang berlalu seakan berjalan lebih lambat. Di depan, tiga dosen penguji sudah duduk dengan ekspresi serius, sementara dosen pembimbing memberi isyarat halus agar ia tetap tenang.

Dengan suara bergetar namun penuh tekad, Fadlin membuka presentasinya. Slide demi slide ia jelaskan: latar belakang, rumusan masalah, metodologi, hingga manfaat penelitian. Sesekali ia menatap ke arah penguji, berusaha menjaga kontak mata agar terlihat percaya diri.

Namun, bagian paling menegangkan datang setelah presentasi selesai. Dosen pertama mengajukan pertanyaan tajam:
"Topikmu menarik, tapi bagaimana kamu memastikan data lapanganmu valid? Jangan hanya wawancara, kamu perlu triangulasi."

Belum sempat lega, dosen kedua menambahkan:
"Judulmu terlalu luas. Kalau bicara digitalisasi, cakupannya sangat besar. Apa fokus utamamu---media sosial, aplikasi, atau literatur digital? Jangan sampai penelitianmu kabur."

Dosen ketiga lebih menekankan aspek teoritis:
"Kamu menggunakan kerangka pemikiran siapa? Pastikan ada landasan teori yang kuat, bukan sekadar pengamatan pribadi."

Hati Fadlin sempat ciut. Keringat dingin mengalir di dahinya. Tetapi ia menarik napas dalam-dalam, mengingat kembali doa yang ia panjatkan malam sebelumnya. Dengan suara yang lebih mantap, ia menjawab satu per satu pertanyaan. Tidak semua bisa ia jawab sempurna, namun ia berusaha jujur, sistematis, dan menunjukkan kesiapan untuk memperbaiki kekurangan.

Sidang berlangsung hampir satu jam. Setelah itu, Fadlin diminta keluar ruangan sementara para dosen berdiskusi. Waktu menunggu terasa seperti selamanya. Ia hanya bisa duduk di bangku koridor, berdoa dalam hati agar hasilnya baik.

Ketika dipanggil kembali, wajah dosen pembimbing tampak tenang. Ketua sidang menyampaikan keputusan:
"Proposalmu diterima dengan revisi. Ada banyak hal yang harus diperbaiki, tapi semangat dan arah penelitianmu sudah jelas. Perbaiki catatan yang kami berikan, dan lanjutkan."

Hati Fadlin langsung terasa lega. Senyum tipis terukir di wajahnya, meski ia tahu pekerjaan besar baru saja dimulai. Sidang proposal bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang penelitian tesis.

Bagi Fadlin, hari itu menjadi bukti nyata: keberanian untuk berdiri dan mempertahankan gagasan jauh lebih penting daripada kesempurnaan jawaban.

Keputusan sidang proposal yang "diterima dengan revisi" menjadi awal babak baru bagi Fadlin. Ia tahu, perjuangan belum selesai. Justru kini ia harus menyelam lebih dalam ke dunia literatur, metodologi, dan teori untuk memperbaiki kekurangan yang ditunjukkan para dosen penguji.

Beberapa hari setelah sidang, ia membuka kembali catatan revisi. Di sana ada coretan merah dari dosen: "Fokus penelitian masih terlalu luas", "Kerangka teori perlu diperjelas", "Metode pengumpulan data harus lebih detail."

Awalnya, Fadlin merasa lelah. Ia sempat bertanya dalam hati: "Apakah aku mampu menyempurnakan semua ini?" Namun, ia segera sadar bahwa setiap catatan bukanlah bentuk penolakan, melainkan arahan agar penelitiannya lebih kokoh.

Ia mulai dari yang paling mendasar: mempersempit fokus penelitian. Dari semula "digitalisasi dalam pemikiran Islam kontemporer", ia mempertegas menjadi "Pengaruh Media Sosial terhadap Pola Pemikiran Keagamaan Mahasiswa Pascasarjana". Dengan begitu, cakupannya lebih spesifik, datanya lebih mudah dikumpulkan, dan arah penelitian lebih jelas.

Setiap hari, Fadlin menenggelamkan diri dalam buku-buku teori komunikasi, sosiologi agama, serta literatur tentang digitalisasi. Ia menyalin kutipan penting, menambahkan catatan di margin, dan menuliskannya kembali dalam draft. Kadang, ia bekerja sampai larut malam dengan kopi yang mulai dingin di samping laptopnya.

Revisi bukan sekadar menulis ulang. Ia harus berulang kali bertemu dengan dosen pembimbing, mendengarkan masukan tambahan, lalu kembali membenahi draft. Proses ini melatih kesabaran dan ketelitian---dua hal yang tidak bisa dipelajari hanya dari teori, melainkan dari pengalaman langsung.

Beberapa minggu kemudian, draf revisi selesai ia rampungkan. Saat menyerahkan kepada pembimbing, jantungnya berdebar. Dosen itu membaca sekilas, lalu tersenyum tipis:
"Sekarang sudah jauh lebih baik. Fokusmu jelas, teori lebih kuat, dan metodologimu sudah bisa dipertanggungjawabkan. Silakan lanjut ke tahap penelitian lapangan."

Ucapan itu seperti angin segar yang menyapu lelah. Fadlin tersenyum lega. Ia tahu, jalan masih panjang. Tetapi kini, langkahnya lebih mantap. Ia siap menapaki fase berikutnya: turun langsung ke lapangan, bertemu responden, dan menggali data yang akan menjadi jiwa penelitiannya.

Setelah proposal revisinya diterima, Fadlin memasuki tahap yang paling menantang: penelitian lapangan. Inilah saat di mana teori yang selama ini ia baca harus bertemu dengan kenyataan di luar kampus.

Dengan map berisi pedoman wawancara dan daftar pertanyaan, ia mendatangi beberapa mahasiswa pascasarjana UIN Jakarta yang menjadi responden penelitiannya. Awal langkah tidak mudah. Beberapa calon responden terlihat sibuk, ada pula yang kurang antusias saat diajak bicara tentang penelitian. Namun, Fadlin tidak menyerah. Ia belajar menyesuaikan pendekatan---kadang dengan obrolan ringan terlebih dahulu, baru kemudian masuk ke pertanyaan yang lebih serius.

Pengalaman wawancara pertama menjadi pelajaran berharga. Seorang mahasiswa berkata,
"Sejujurnya, media sosial itu memang memengaruhi cara kita belajar agama. Banyak ustaz digital, tapi kadang ilmunya bercampur dengan opini pribadi. Kalau tidak kritis, kita bisa salah paham."

Pernyataan sederhana itu membuka wawasan baru bagi Fadlin. Ia menyadari, digitalisasi bukan hanya fenomena teknis, tapi juga persoalan otoritas keilmuan dan kepercayaan publik.

Selain wawancara, ia juga melakukan observasi. Ia bergabung dalam beberapa forum diskusi daring mahasiswa, mengikuti bagaimana perdebatan tentang isu-isu keagamaan berlangsung di media sosial. Dari situ, ia melihat dengan jelas bagaimana informasi agama tersebar begitu cepat---kadang mencerahkan, kadang juga membingungkan.

Hari-hari Fadlin penuh dengan catatan lapangan. Ia menuliskan setiap kutipan penting, merekam percakapan (dengan izin responden), dan merapikan data secara sistematis. Meski melelahkan, ia merasakan energi baru. Ada kepuasan tersendiri saat melihat bahwa penelitiannya bukan hanya sekadar tulisan di kertas, melainkan refleksi nyata dari kehidupan mahasiswa.

Namun, di balik semangat itu, Fadlin juga menghadapi kendala. Beberapa responden sulit dijadwalkan, ada data yang kurang konsisten, bahkan kadang ia sendiri merasa ragu: "Apakah aku sudah cukup objektif? Apakah dataku valid?"

Di saat-saat seperti itu, ia kembali mengingat pesan dosen pembimbing:
"Penelitian bukan tentang sempurna, tapi tentang jujur dan sistematis. Kalau kamu konsisten, hasilnya akan terlihat."

Kata-kata itu menenangkan hatinya. Ia pun terus melangkah, menyusuri jejak data satu per satu, sambil menyadari bahwa perjalanan ini tidak hanya membentuk penelitiannya, tapi juga membentuk dirinya sebagai seorang pembelajar yang lebih matang.

Semakin dalam Fadlin menekuni penelitian, semakin nyata pula tantangan yang harus ia hadapi. Pengumpulan data ternyata jauh lebih melelahkan daripada yang ia bayangkan di awal.

Ada kalanya responden tiba-tiba membatalkan janji wawancara. Ia sudah datang jauh-jauh ke kampus, bahkan menunggu berjam-jam di kantin, namun akhirnya hanya pulang dengan catatan kosong. Pernah juga ia menghadapi responden yang menjawab singkat-singkat, seolah enggan berbagi pengalaman. Situasi itu membuat Fadlin merasa kecewa, bahkan hampir putus asa.

Selain faktor manusia, ada pula kendala teknis. Rekaman wawancara yang ia simpan di ponselnya tiba-tiba rusak, membuat satu sesi wawancara hilang begitu saja. Malam itu, ia terduduk lesu di kamar kos, menatap layar ponsel yang tak lagi bisa memutar file penting itu. Ia merasa semua kerja kerasnya sia-sia.

Namun, setelah merenung, Fadlin memilih bangkit kembali. Ia menghubungi responden yang datanya hilang, menjelaskan dengan jujur situasinya, dan meminta izin untuk melakukan wawancara ulang. Untungnya, responden itu memahami dan bersedia membantu. Dari peristiwa itu, Fadlin belajar pentingnya sikap jujur, sabar, dan konsisten dalam penelitian.

Di sisi lain, ada tantangan batin yang lebih halus. Semakin banyak data yang ia kumpulkan, semakin besar pula rasa bingungnya. Data terasa begitu beragam dan kompleks, seakan-akan tidak ada pola yang jelas. Kadang ia merasa bimbang: "Apakah semua ini bisa dirangkai menjadi temuan yang bermakna?"

Di saat genting itu, Fadlin kembali mengingat pesan pembimbingnya:
"Jangan buru-buru menyimpulkan. Biarkan data berbicara. Tugasmu adalah mendengarkan dengan sabar, lalu merangkainya dengan hati-hati."

Pesan itu menjadi pegangan. Fadlin pun berusaha lebih teliti---ia mulai mengelompokkan data berdasarkan tema, memberi kode pada transkrip wawancara, dan menuliskan catatan reflektif setiap kali menemukan hal yang berulang. Perlahan, rasa bimbangnya berubah menjadi keyakinan: di balik kerumitan data, ada benang merah yang bisa ditarik.

Meski penuh cobaan, Fadlin semakin yakin bahwa penelitian bukan sekadar tugas akademik, melainkan latihan kesabaran, ketekunan, dan keteguhan hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun