Di tengah kesibukan akademik, perjalanan spiritualnya pun semakin dalam. Setiap kali merasa lelah, ia menenangkan diri dengan shalat malam. Di sujud panjangnya, ia berdoa agar diberi kekuatan menyelesaikan perjalanan ini. Ia yakin, ilmu yang sedang ia kejar bukan semata untuk dirinya, melainkan juga untuk kemaslahatan umat.
Pengalaman hidup di Jakarta juga mengajarkannya banyak hal tentang kesabaran dan tawakal. Ia belajar menerima bahwa tidak semua hal berjalan sesuai rencana, tetapi selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Semakin ia mendekatkan diri pada Allah, semakin ia merasa ringan melangkah, meski jalan di hadapannya penuh tantangan.
Gabungan antara pengakuan akademik dan penguatan spiritual inilah yang membuatnya semakin matang. Ia tidak lagi sekadar mahasiswa yang mengejar gelar, tetapi seorang pejuang ilmu yang berusaha menyeimbangkan akal dan hati.
Bagi Fadlin, inilah fase penting: saat dunia akademik dan spiritual bertemu, membentuk pondasi yang kokoh untuk melangkah menuju puncak perjalanan pascasarjana.
Setelah melalui berbagai dinamika perkuliahan, diskusi hangat, hingga ujian yang penuh pelajaran, tibalah saatnya Fadlin menghadapi tantangan besar berikutnya: menyusun proposal tesis. Inilah tahap yang menentukan arah penelitiannya sekaligus menguji kedewasaan ilmiahnya.
Di ruang sunyi perpustakaan pascasarjana, Fadlin duduk berjam-jam dengan laptop terbuka. Di sampingnya menumpuk buku-buku filsafat Islam, metodologi penelitian, dan jurnal-jurnal internasional yang ia kumpulkan. Ia tahu, proposal bukan sekadar formalitas, melainkan peta jalan penelitian yang akan ia tempuh selama berbulan-bulan.
Topik yang semula hanya gagasan kini perlahan-lahan menjelma menjadi kerangka ilmiah. Ia menulis judul sementara: "Digitalisasi dan Perubahan Pola Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia". Dari judul itu, ia mulai merinci latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta metodologi yang akan digunakan.
Namun perjalanan tidak semudah yang ia bayangkan. Berkali-kali ia merasa buntu. Draf yang ditulis malam ini sering ia hapus keesokan harinya. Kritik dari dosen pembimbing kadang membuatnya merasa kecil hati: "Fokusmu masih terlalu luas, persempit lagi." atau "Metodologinya belum jelas, kamu harus lebih spesifik."
Meski demikian, Fadlin tidak menyerah. Ia justru menjadikan kritik itu sebagai bahan bakar untuk memperbaiki diri. Setiap kali pulang dari bimbingan, ia merenung sambil menuliskan kembali idenya. Malam-malam panjang di kost ia lewati dengan penuh tekad, ditemani secangkir kopi dan doa yang terlantun di sela-sela keheningan.
Pada akhirnya, draf proposalnya mulai menemukan bentuk yang lebih kokoh. Ia memutuskan untuk fokus meneliti kelompok mahasiswa sebagai objek penelitian, dengan pendekatan kualitatif yang menggabungkan wawancara mendalam dan analisis literatur. Pilihan ini terasa lebih realistis sekaligus relevan dengan minatnya.
Hari presentasi proposal pun semakin dekat. Degup jantungnya kian kencang setiap kali mengingatnya. Namun di balik rasa cemas, ia juga merasakan semangat baru. Bagi Fadlin, ini bukan hanya ujian akademik, tetapi juga ujian keyakinan: sejauh mana ia mampu berdiri tegak, mempertahankan gagasan, dan menunjukkan kesungguhannya sebagai peneliti muda.