+Bab 4Â -- Jatuh, Bangkit, dan Terus Berjuang Tidak ada Kata Menyerah!
Tidak semua perjalanan di pascasarjana berjalan mulus. Ada saat-saat di mana Fadlin merasa berada di titik terendah. Ia pernah gagal dalam sebuah ujian penting---ujian yang seharusnya bisa ia lewati dengan baik, tetapi justru membuatnya terpukul. Saat itu, ia merasa semua usahanya sia-sia.
Malam setelah ujian itu, ia duduk lama di kamar kostnya. Buku-buku berserakan, laptop masih menyala, tetapi pikirannya kosong. Rasa lelah bercampur kecewa membuatnya hampir menyerah. Ia bertanya pada dirinya sendiri: "Apakah aku memang pantas berada di sini? Apakah aku bisa menyelesaikan perjalanan ini?"
Namun, di tengah kegundahan itu, ia teringat pada nasihat seorang dosen:
"Kegagalan itu bagian dari proses ilmiah. Yang penting bukan seberapa sering kamu jatuh, tetapi seberapa kuat kamu bangkit."
Kalimat itu seperti cahaya yang menuntun langkahnya kembali. Ia mulai menyadari bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan pelajaran. Ia belajar menata strategi baru: memperbaiki manajemen waktu, memperdalam bacaan, serta lebih rajin berdiskusi dengan dosen dan teman-teman.
Perlahan, semangatnya bangkit. Ia kembali menghadapi ujian, kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Dan ketika hasilnya keluar, ia tersenyum lega---ia berhasil melewati rintangan itu.
Dari pengalaman tersebut, Fadlin belajar satu hal penting: perjuangan seorang mahasiswa pascasarjana bukan hanya soal nilai atau kelulusan, tetapi soal keteguhan hati. Kegigihan, kesabaran, dan keberanian untuk bangkit setelah jatuh adalah kunci sejati.
Sejak itu, setiap kali menghadapi kesulitan, ia tidak lagi memandangnya sebagai musibah, melainkan sebagai kesempatan untuk tumbuh. Ia semakin yakin bahwa jalan menuju cita-cita memang penuh rintangan, tetapi dengan iman, usaha, dan semangat pantang menyerah, semua bisa dilewati.
Setelah melewati masa-masa sulit, semangat Fadlin mulai kembali menyala. Kegagalan yang pernah ia alami kini menjadi cerita masa lalu, dan dari situ ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat. Usahanya yang tekun, konsistensinya dalam belajar, serta keberaniannya untuk bangkit perlahan-lahan membuatnya mulai diperhitungkan.
Dosen-dosen melihat kesungguhan Fadlin. Ia dikenal rajin bertanya, kritis dalam diskusi, dan selalu berusaha melengkapi argumennya dengan referensi yang kuat. Teman-temannya pun menghargainya, bukan hanya karena pengetahuannya, tetapi juga karena sikapnya yang rendah hati dan siap membantu siapa pun yang kesulitan.
Suatu hari, ia diminta dosen menjadi asisten dalam sebuah seminar kampus. Tugas itu sederhana: membantu menyiapkan materi dan mengatur jalannya acara. Namun bagi Fadlin, kesempatan itu sangat berharga. Dari situ, ia merasakan kepercayaan yang mulai diberikan kepadanya. Lebih dari itu, ia semakin yakin bahwa jalannya menuju dunia akademik memang terbuka.