Mohon tunggu...
Rininda Mahardika
Rininda Mahardika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi bukanlah jalan untuk memperoleh kesenangan serta mengisi waktu luang belaka. Hobi merupakan ruang untuk menampung segala skill non akademis di setiap insan. Tidak peduli kau suka menulis ataupun menggambar. Semuanya akan menjadikan pundi-pundi uang atau bahkan media pembelajaran bagi siapa saja yang mengasahnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merayakan Kematian(ku)

27 November 2022   02:00 Diperbarui: 27 November 2022   11:08 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pinterest Anime picture totsukuni no shoujo shiva (totsukuni no shoujo) sensei (totsukuni no shoujo

Jiwamu akan bersemayam dalam genggamanku

Dunia ini merupakan neraka bagi orang-orang kesepian. Tempat yang tak dapat ditembus oleh manusia-manusia yang dirundung rasa takut. Jiwa mereka terbatas hanya dapat membaur pada satu tempat. Di balik jendela kamar, kau menatap anak-anak seusiamu dengan nanar. Bermain di bawah cahaya mentari, tersenyum gembira nan berseri-seri, dan canda tawa turut menyertai. Sementara kau hanya menopang dagu sambil tiada henti berharap ada sepasang suami-istri yang suka rela membawamu pergi dari tempat menyedihkan ini.

Lalu datanglah seorang Suster yang jengah melihatmu sebagai anak penyendiri. Namun dia tetap berbicara normal kepadamu hanya untuk menutup rasa kesalnya. “Jadi Caroline, mengapa kamu tidak ikut bermain dengan mereka?”

Matamu yang bulat menatap sang Suster dan tanganmu mendekap erat-erat boneka beruang yang merupakan temanmu satu-satunya. “Mereka semua tidak peduli kepadaku dan menganggapku aneh!”

Suster menghela napas panajng, menandakan bahwa ia harus menyimpan amarah jika berhadapan dengan anak keras kepala sepertimu. “Tapi kau bisa membaur dengan yang lain kan?”

“Tak ada ruang bagiku untuk membaur lagipula jika Suster kasihan kepadaku mengapa Suster tidak bermain dengan gadis kecil yang malang ini?! MENGAPA ORANG DEWASA SELALU SAJA BEGITU?!” Tanpa kau sadari nada bicaramu mulai meninggi. Perlahan-lahan kristal bening yang sedari tadi membendung matamu, kini mulai tumpah ruah. Tak tertahan air mata ini untuk memberi isyarat betapa tersakiti jiwamu.

Kau pun melarikkan diri dari Suster yang terus menanyakan kondisi tanpa tahu perasaanmu yang sebenarnya. Akan tetapi kedua lututmu mendadak melemas hingga membuatmu hilang keseimbangan dan akhirnya terjatuh di atas lantai kayu. Bahkan boneka beruang kesayanganmu terpental membentur dinding.

Kemudian disusul rasa nyeri menjalar di dadamu. Kau berteriak kesakitan, menangis terguling-guling, dan seluruh badanmu lumpuh total. “TIDAAKK!!! JANGAN LAGI!!!”

Dalam sekejap mata kau hanya melihat kegelapan. Di mana tak ada suara satupun, sunyi, hening, dingin, tiada satu manusia yang mampu memberimu lentera kehangatan. Kesadaranmu terjatuh terlalu jauh hingga ke jurang kegelapan.

“Siapapun tolong aku!” Kau pun meringkih. Sayangnya tak ada orang yang mampu memasuki duniamu.

Di sisi lain Suster yang sebelumnya jengkel dengan sifat keras kepalamu, mendadak panik bukan main. Dia bergegas memberimu pertolongan pertama sambil lari pontang-panting mencari bantuan. Lalu dengan sigap ala-ala kesatria jubah putih menelpon ambulans agar kau mendapatkan pelayanan yang tepat.

Sepuluh menit berlalu, suara sirine ambulans membisingi telinga. Hal tersebut tentu saja menarik perhatian anak-anak lain yang tengah bermain di bawah sinar matahari. Mereka kompak berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi. Sampai-sampai beberapa Suster kualahan menangani rasa penasaran mereka.

Para kesatria berjubah putih menuju garda terdepan untuk mengeluarkanmu dari relung-relung kegelapan. Berbagai peralatan perang siap membantumu agar bisa keluar secepatnya.

Salah satu pimpinan mereka bertanya pada Suster yang selalu memperhatikanmu. “Apa akhir-akhir ini terjadi lagi?”

“Belakangan ini dia sering gelisah karena sering dikucilkan oleh teman-temannya. Dia gadis yang malang sudah sembilan kali ia diadopsi kemudian dikembalikan lagi karena tubuhnya lemah.”

“Kebahagiaan adalah kunci utama untuk membantu proses penyembuhannya. Sebab jantungnya sudah tidak dalam kondisi baik-baik saja. Untuk sementara waktu dia harus tinggal.”

“Tolong lakukan apapun supaya dia sembuh!”

“Akan kuusahakan dan kau sering-seringlah berkunjung. Anak ini sungguh-sungguh mengharapkan kehadiranmu.”

***

sumber gambar: pinterest Anime picture totsukuni no shoujo shiva (totsukuni no shoujo) sensei (totsukuni no shoujo)
sumber gambar: pinterest Anime picture totsukuni no shoujo shiva (totsukuni no shoujo) sensei (totsukuni no shoujo)

Saat kau membuka mata, tubuhmu terasa berat seperti menanggung ribuan dosa orang dewasa. Namun kau memaksanya untuk bergerak, walau begitu kau merasa seperti terjerat puluhan rantai, jarum-jarum halus menusuk jauh ke dalam pori-porimu, hingga kau meringis karena perih.

“A-apa yang terjadi?” Kau mencoba bangkit namun sayangnya serangan denyut di kepalamu membuat kau kehilangan keseimbangan dan akhirnya menyerah. Keadaan membuatmu terpaksa berbaring di tempat tidur yang membosankan dan memilih bersembunyi di balik selimut.

Hingga pada akhirnya suara berat dari pria yang tak kau kenal menyapa. “Caroline Rave’N, Caroline Waltz, Caroline Hawten...agaknya kau tidak memiliki nama belakang.”

“Tidak, semenjak aku dikembalikan ke panti asuhan sembilan kali.”

“Tiga hari, enam jam. Waktu yang tersisa 3 hari 6 jam.” Ia mengulangi ucapannya.

Sedangkan rasa penasaranmu mulai mengalihkan semua nyeri di sekujur tubuh. Kau membuka selimut dan melihat pria yang mengajakmu berbicara. Pria misterius itu tinggi dan jakung, mengenakan setelan jas rapi, di kepalanya terdapat topeng kambing, ia juga membawa sebuah pulpen beserta buku tebal yang berjudul ‘Little Human List’ di tangannya.

Kau pun terkikik, perutmu serasa digelitiki ribuan kupu-kupu, dan akhirnya gelak tawa keluar dari kerongkonganmu. Sambil diiringi gelagak tawa kau menyebutnya, “Pria Bertopeng Aneh! Kupikir kau dokter atau semacamnya hahaha lucu sekali!”

Dia bergeming, hanya menatapmu tanpa menyunggingkan senyum maupun ekspresi. Kau pun kesal dengan sikapnya yang biasa-biasa saja meski kau telah menertawakannya. “Sebenarnya siapa kau? Apa kau orang yang diutus Suster payah itu untuk merawatku?”

“Kedatanganku hanya untuk memastikan apa kau bahagia? Sebelum aku benar-benar menjemputmu.”

“Mengapa?!” tanyamu antusias.

“Apa kau bahagia?” ulangnya lagi.

Kau membuang muka. “Tidak, bahkan aku tidak tahu apakah aku bahagia. Dunia adalah neraka bagi anak kecil sepertiku. Ketika aku lahir, aku tak tahu siapa ayah dan ibuku apalagi aku anak yang sakit-sakitan. Jelas saja mereka membuangku lagipula siapa yang mau merawat gadis lemah?”

Kau tertawa hambar, jelas sekali terukir rasa sakit dari caramu menunjukkan ekspresi kepada orang lain. Lalu kau melanjutkan ceritamu. “Di usiaku yang keenam, aku sering mendapat perlakuan buruk oleh teman sebaya ... menyedihkan bukan? Hei kenapa kau tidak menangis?”

“Aku harus pergi.”

“A-apa—tunggu!”

Terlambat untuk menghentikannya. Dia benar-benar pergi meninggalkanmu bertepatan dengan daun pintu berderit, menghadirkan sosok Suster yang paling kau benci dan dua orang bocah ingusan yang tak kau kenal. Satu laki-laki pemalu, satunya lagi anak perempuan dengan gigi ompong tapi penuh energik. Sedangkan kau cukup terheran-heran dengan kejutan yang dibawakan Suster.

“Hai Coraline, bagaimana keadaanmu? Aku pikir kamu kesepian jadi Suster bawakan teman. Perkenalkan Xavier dan Sophie.”

“Ah, aku ingat! Kau, kau yang selalu membututiku kan?” Kau menunjuk Xavier, sementara Xavier sedikit gemetar hingga dia tak mau melepas rok susternya. Lalu kau beralih menuding Sophie. “Dan kau, kau yang diam-diam menaruh dandelion di atas tempat tidurku kan?”

Sophie menyengir, menunjukkan deretan gigi ompongnya di hadapanmu. “Aku memetik banyak dandelion untukmu!”

“Ah, syukurlah kalian sudah kenal. Kalau begitu Suster tinggal ya, Xavier dan Sophie kalian bisa bermain dengan Coraline. Untuk Coraline yang akrab ya sama teman barumu.”

Belum sempat kau memberi persetujuan, Suster itu lantas berlalu pergi. “Yang benar saja!”

Kau mengamati Sophie yang asyik bermain dengan dandelion di dalam kantung plastik. Kau tak mau tahu tentang apa yang ia lakukan. Di sisi lain sedari tadi Xavier di samping tempat tidurmu memperhatikan selang yang menempel di sekujur tubuhmu.

“Apa tidak sakit?” Ia bertanya malu-malu.

Ide jahil mendadak muncul di kepala kecilmu. Kau pun menyunggingkan senyum iblis dan mulai menamut-nakutinya. “Tentu saja sangat sakit! Seperti digigit harimau, hahahaha!”

Setelah melihat nyali Xavier menciut, kedua bahunya bergetar hebat, dan muncul keringat dingin kau tiada henti menggelakkan tawa jahat. Seakan puas dengan tindakanmu terlebih lagi membuat teman barumu ketakutan bukan kepalang. Di sisi lain Sophie telah menyelesaikan maha karyanya berupa mahkota dari bunga dandelion.

Dia melompat ke arahmu sembari menyodorkan sebuah mahkota indah buatannya. “Untuk Coraline!”

Kau menatapnya tidak suka dan enggan menerima pemberiannya. “Namaku Caroline bukan Coraline.”

Walau begitu Sophie masih menunjukkan sederet gigi ompongnya kemudian memasang mahkota itu di kepalamu. Sementara kau bergeming, matamu berkaca-kaca seperti membendung air, dan kau merasakan perasaan yang berbeda dari biasanya. Perasaan yang belum pernah kau rasakan sebelumnya.

“Apakah ini yang dinamakan kebahagiaan?” gumammu.

***

Sumber gambar: pinterest
Sumber gambar: pinterest

Keesokan harinya kondisimu kian memburuk para tenaga medis nyaris kehilangan akal sehat mereka demi membuatmu tetap bertahan hidup. Berbagai macam jenis jarum mereka tusukkan di area pergelangan tangan dan dadamu.

“Dia harus melakukan operasi!” seru salah satu pimpinan mereka.

“Tapi percuma saja anak ini tidak bisa menahannya.”

“Aku tidak akan menyerah begitu saja! Meskipun dia lemah, kita tak bisa membiarkan satu nyawa pun melayang kan?! Setidaknya kita sudah berusaha.”

Kau telah kehilangan kesadaran. Isi kepalamu telah melampaui batas dunia luar. Kau hanya bisa mendengar suara sayup-sayup tanpa dapat merasakan rasa sakit lagi. Tubuhmu mati rasa, kau hanya bisa beradaptasi di dalam alam bawah sadarmu. Hingga kau tergeletak di atas padang rumput hijau serta cakrawala biru membentang luas bersama sang awan. Tiba-tiba tubuhmu ringan, semua rasa sakit yang kau derita seketika menghilang secara ajaib.

“Kupikir Tuhan akan menerima tawaranku tapi ternyata kau tidak bisa menahannya lebih lama lagi.” Pria Bertopeng Aneh muncul secara misterius tepat di sampingmu. Kehadirannya sama sekali tidak membuatmu terkejut.

Kau masih berbaring di atas rerumputan yang empuk sambil menatap langit biru. Tanpa mempedulikan Pria Bertopeng Aneh memegang jam saku. Sesekali kau berpikir kapan terakhir kali kau melihat langit seindah itu. “Kenapa kau baru kembali? Aku menunggumu.”

“Ada pekerjaan yang harus kulakukan.”

“Kau tahu? Selama kau pergi kedua temanku mengunjungiku. Mereka anak-anak aneh yang ingin berteman denganku secara diam-diam. Yang satu anak laki-laki penakut dan satu lagi anak perempuan yang enerjik. Anak perempuan itu membuatkanku mahkota dari rangkaian bunga dandelion lalu kami bermain putri-putri kerajaan.”

“Apa kau bahagia?”

“Aku tak tahu apa aku bahagia atau tidak tapi aku senang. Aku senang karena bisa mendapatkan teman. Aku senang karena bisa bermain dengan anak-anak normal pada umumnya. Dan aku senang karena bisa bahagia. Hei Pria Bertopeng Aneh bisakah kau membawaku  pada mereka? Tiba-tiba aku merindukan keduanya dan Suster payah itu.”

Tanpa berpikir panjang dia langsung membawamu di hadapan keduanya secara ajaib. Tapi kau tidak mengerti mereka terlihat sedih termasuk Suster yang kau benci.

“Hei kalian, aku ada di sini mengapa bersedih? Lihat aku sudah sembuh!” Kau melompat-lompat di hadapan mereka, memanggil-manggil, namun tak satupun yang dapat merespon. Kau menelengkan kepala heran.

“Mereka tidak bisa melihat kita,” kata Pria Bertopeng Aneh.

Kau berbalik. “Apa maksudmu?”

Pria Bertopeng Aneh membawamu ke suatu tempat, ruang operasi. Di sana kerumunan tenaga medis tengah pontang-panting saling bekerja sama menyulurkan alat ini-itu. Kau nyaris mematung tak dapat berkata-kata, mulutmu mendadak membisu.

“Waktumu hampir habis, ayo pergi!” ajak Pria Bertopeng Aneh.

Namun kau masih menatap nanar ke arah orang-orang berseragam putih. “Apakah anak yang di sana itu aku?”

Pria Bertopeng Aneh tak menjawab. Dia menggandeng tanganmu menuju pintu yang kau bahkan tidak tahu asal-muasalnya. “Kita harus bergegas.”

“Tunggu Pria Bertopeng Aneh, sebelum kau benar-benar membawaku bisa kah kau mengabulkan keinginanku yang terakhir? Aku ingin berada di tengah-tengah ladang bunga dandelion untuk merayakannya.”

Dia menghela napas gusar. Ingin sekali Pria Bertopeng Aneh menolak permintaanmu yang tidak seharusnya tapi ia bukan tipe orang yang seperti itu. “Bukan masalah, tapi kita tidak punya banyak waktu.”

“Aku berjanji ini akan menjadi yang terakhir.”

Tanpa tongkat sihir atau komat-kamit membaca mantra area sekelilingmu sudah berubah menjadi ladang bunga dandelion seperti yang kau minta. Pastinya kau bakal senang bukan alang kepalang, lihatlah kini kau melompat-lompat sambil menghamburkan kelopak dandelion yang rapuh ke sana-ke mari.

Beberapa saat kemudian kau kembali pada Pria Bertopeng aneh lantaran kau berbisik sesuatu padanya. “Bisa kau lepas topengmu? Aku ada sesuatu untuk kau gunakan.”

Dia tertegun seakan tidak percaya dengan sikapmu yang sulit ditebak.

“Sudah lepaskan saja, hanya sebentar. Aku janji!” pintamu sambil merengek.

Anehnya dia menuruti permintaan konyolmu. Ia lalu meletakkan topeng kambing itu di atas kepalamu. Saking beratnya sampai kau nyaris terhuyung. Meskipun topengnya telah terbuka tetap saja kau tak dapat melihat jelas bentuk wajahnya karena poni yang menutupi hampir seluruh matanya. Ia pun bertekuk lutut di hadapanmu bagaikan sesosok pangeran sungguhan.

Ia tersenyum tipis seraya berkata, “Asal  kau tahu, berabad-abad aku mengunjungi para manusia hanya kau yang tidak takut padaku.”

“Buat apa takut? Kita kan berteman,” ucapmu tanpa ada rasa menyesal sedikitpun. Lalu kau memberikan mahkota dari rangkaian bunga dandelion padanya. Persis yang dibuat Sophie saat itu.

“Semua orang takut kematian tapi kau malah merayakannya, menjadikan Malaikat Maut sebagai teman adalah hal yang dilakukan orang aneh. Caroline, kau manusia paling unik yang pernah kutemui. Sudah sekian lama aku memperhatikanmu dan sekarang dugaanku 100% benar. Kini jiwamu akan bersemayam dalam genggamanku.”

Sumber gambar: pinterest
Sumber gambar: pinterest

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun