Mohon tunggu...
Faathir Tora
Faathir Tora Mohon Tunggu... Harapan Ibu

Seorang Mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tugas Pengantar Jurnalistik Kelas B Faathir Tora Ugraha

3 Juli 2025   10:43 Diperbarui: 3 Juli 2025   10:43 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4. Opini

Kegelisahan terhadap Tukang Parkir

Setiap kali saya parkir kendaraan di ruang publik baik itu di minimarket, warung makan pinggir jalan, hingga tempat ibadah, sering sekali ada kegelisahan yang muncul, keberadaan tukang parkir yang tiba-tiba muncul entah dari mana, memberi aba-aba seadanya, lalu menadahkan tangan ketika kita hendak pergi.

Apakah mereka benar-benar membantu atau hanya memungut bayaran tanpa jasa yang jelas?

Pernah suatu kejadian, saya hendak pulang dari pasar Siteba. Sewaktu saya datang, tidak ada tukang parkir yang membantu mengarahkan motor. Ketika keluarpun saya menggeser motor lain yang menghambat jalan keluarnya motor saya. Saat saya menghidupkan motor, terdengar dari belakang suara sorakan "Opp! Parkir, diak". Karena saya malas berdebat, saya berikan uang dua ribu rupiah. Tapi yang membuat saya lebih tidak nyaman, tukang parkir itu malah berkata "Tigo ribu, diak".

Kegelisahan ini bukan hanya tentang uang receh yang harus dikeluarkan. Ini tentang ketidakjelasan peran, hak, dan kewajiban. Banyak tukang parkir liar bekerja tanpa identitas resmi, tanpa seragam, tanpa karcis, bahkan tanpa memberikan rasa aman terhadap kendaraan yang diparkir. Namun, mereka menuntut bayaran seolah telah memberikan layanan yang baik. Lebih mengganggu lagi, tidak jarang mereka bersikap memaksa, bahkan mengintimidasi jika kita enggan memberi. Dengan kira mengeluarkan uang receh tersebut, apakah ketika helm kita hilang mereka akan bertanggung jawab?

Di sisi lain, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan mereka sepenuhnya. Banyak dari mereka mencari nafkah dari pekerjaan ini karena minimnya lapangan kerja. Sayangnya, cara yang tidak tertata justru membuat juru parkir ini rentan disalahgunakan, dan masyarakat jadi korban.

Yang lebih menyedihkan, ada pihak-pihak yang memanfaatkan para tukang parkir ini untuk kepentingan pribadi, menarik setoran tanpa memberikan perlindungan hukum atau kesejahteraan yang layak. Para orang-orang begitu biasanya mengaku-ngaku atas lahan yang digunakan itu, seperti "Iko tanah ambo", atau "Tanah iko tanah pusako dari inyiak ambo samaso dulu", dll.

Sudah saatnya pemerintah daerah menata ulang sistem perparkiran di ruang publik. Perlu ada regulasi yang tegas mengenai siapa yang berhak memungut retribusi parkir, standar pelayanan, hingga jaminan keamanan kendaraan. Agar masyarakat tidak mengecap tindakan ini sebagai pungutan liar. Tukang parkir juga harus diberi pelatihan, seragam, dan sistem kerja yang jelas. Karena masyarakat tidak keberatan membayar jasa parkir, selama jasa itu bertanggung jawab, aman, dan tidak terasa seperti pemalakan.

5. Essay

Tulisan saya sudah terbit di Scientia Sastra Indonesia pada 11/05/2025 dengan link ( https://scientia.id/2025/05/11/pandangan-khalil-gibran-tentang-musik-sebagai-bahasa-rohani/) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun