Mohon tunggu...
Faathir Tora
Faathir Tora Mohon Tunggu... Harapan Ibu

Seorang Mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tugas Pengantar Jurnalistik Kelas B Faathir Tora Ugraha

3 Juli 2025   10:43 Diperbarui: 3 Juli 2025   10:43 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

1. Nilai Toleransi dalam Film "Komang"

Sejak pertama tayang pada 31 Maret 2025 di bioskop Indonesia, film "Komang" telah terhitung mencapai angka dua juta lebih penonton. Hal ini terjadi karena film "Komang" adalah karya adaptasi dari lagu yang berjudul sama dan banyak disukai oleh kalangan remaja di Indonesia. Lagu tersebut ditulis oleh Raim Laode dengan judul "Komang".

Film yang disutradarai oleh Naya Anindita berhasil menarik hati penonton dengan kisah cinta yang dihalangi perbedaan agama."Komang" bercerita tentang Ode, seorang pemuda muslim asal Buton yang memiliki kegemaran di dunia stand up comedy dan musik. Sementara Komang adalah seorang gadis yang berasal dari keluarga beragama Hindu yang sebelumnya tinggal di Bali dan berpindah ke Baubau.

Film ini begitu menginspirasi bagaimana sebuah cinta dapat disatukan meskipun dihalang dinding yang sangat besar. Kedua tokoh sangat diuji oleh berbagai rintangan. Salah satunya ketika ibu dari Komang telah menjodohkan Komang dengan Arya, seorang pemuda yang satu iman dengan Komang. Lalu juga perjuangan Ode yang merantau mengejar karir dan cita-citanya sebagai seorang musisi.

Film ini menyoroti kisah perjuangan cinta dan toleransi beragama. Ode adalah seorang muslim, dan Komang adalah seorang hindu. Kisah cinta mereka memang benar-benar sesuai dengan "Meski tak seiman, namun kita seamin". Cinta mereka yang tulus dapat menjadi jembatan untuk mempertemukan mereka berdua. Toleransi yang dapat disajikan berupa Komang yang memakai hijab ketika pergi ke masjid tempat anak-anak mengaji. Lalu Ode yang sering sekali mengirim dupa untuk Komang.

Hal ini terjadi karena di negara kita memiliki banyak keragaman kebudayaan. Seharusnya, pada masa saat sekarang masyarakat Indonesia mengambil sisi baik dari toleransi yang dicerminkan oleh Ode dan Komang. Dimana kita harus saling menghargai kepercayaan yang dianut orang lain. Karena negara ini bersatu dengan banyaknya keberagaman dan kebudayaan. Nilai moral tersebut tentu penting sebagai pencipta lingkungan yang damai.

Setiap orang dapat menjalankan ibadahnya tanpa rasa takut untuk didiskriminasi. Toleransi juga sangat membantu kita untuk memperkuat jiwa nasionalisme. Sikap toleransi dari tokoh Ode dan Komang tak hanya mempersatukan cinta mereka berdua, namun memperkuat rasa nasionalisme di Indonesia.

2. Resensi buku 

Resensi Buku Surat Kopi karya Joko Pinurbo

Surat Kopi adalah salah satu buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo dalam rentan waktu 2011-2014 yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2019 oleh Penerbit Grasindo. Joko Pinurbo, atau akrab disapa Jokpin adalah salah seorang penyair yang memiliki gaya penulisannya yang khas. Dalam buku Surat Kopi, Jokpin menggunakan bahasa sehari-hari dan sederhana. Tapi karena kesederhanaan itulah muncul kedalaman makna. Permainan kata yang nyaris sempurna dapat memperindah makna yang tersirat dalam puisinya. Hampir keseluruhan sajaknya tidak memiliki larik yang panjang. Namun, hal tersebutlah yang menurut pembaca menjadi sebuah kelebihan. Pembaca bisa membaca satu per satu karya Jokpin dalam bukunya Surat Kopi dalam sekali duduk.

Setelah membaca kumpulan sajak tersebut. Kelebihan buku ini adalah penawar pembaca dalam sebuah tulisan yang ringan dan menyenangkan. Sebagai seorang pembaca merasakan bahwa tulisan yang tak terlalu panjang juga memiliki keindahan yang sangat khas. Kita bisa menemukan pikiran-pikiran baru dalam buku ini. Contoh puisi dalam bukunya sebagai berikut.

Mudah

Segalanya menjadi mudah
dengan mudah-mudahan.

Dengan membaca ini saja rasanya sudah memberikan kita renungan waktu dan hidup. Bentuk bagaimana kita harus kuat dalam segala rintangan yang ada dalam pikiran. Meskipun kata- katanya sangat singkat, namun memberikan kita pengalaman dan pemahaman baru. Yaitu semua masalah kita bisa saja kita selesaikan dengan kata "mudah-mudahan".  Jangan pernah merasa sulit dalam tiap jalan kehidupan kita.

Surat Kopi bukan sekedar kumpulan puisi, melainkan perjalanan perasaan yang dituangkan ke kata. Joko Pinurbo mengajak kita para pembaca untuk merenung, tersenyum, tanpa lupa memberikan pemikiran yang unik. Buku ini cocok dibaca bagi penikmat sastra maupun untuk orang yang ingin membuka jendela literasinya.

3. Catatan Perjalanan

Perjalanan Menuju Lubuk Ngalauan Sungai Bangek

Selain menjadi tempat yang bernuansa alam yang asri, kawasan Sungai Bangek menjadi tempat favorit dari segelintir orang yang menyukai kegiatan alam. Kawasan ini terletak di kawasan Balai Gadang Kec. Koto Tangah. Dekat dengan UIN Kampus III Sungai Bangek. Namun, sebelum menuju ke kampus tersebut, terdapat penurunan di sebelah kiri dengan jalan berbatu menuju aliran sungai. Nanti akan terlihat spanduk mengarahkan ke jalan tersebut. Dari pusat kota berjarak 25 km. Lubuk Ngalauan merupakan air terjun kecil yang berada di tengah hutan. Meskipun kecil, Lubuk Ngalauan tetap memiliki pesona yang memikat. Karena di air itu seperti memiliki kolam di bawahnya.

Pada tanggal 18 Mei 2025, tepatnya di hari minggu, saya dan kedua teman saya pergi ke sana untuk sekedar minum kopi dan makan siang di Lubuk Ngalauan tersebut. Sesampainya di sana, kami membayar tiga ribu rupiah untuk karcis masuk per orang. Sebenarnya kebijakan ini baru diadakan, yaitu setelah lebaran Idul Fitri kemarin. Sebelum itu, kira hanya masuk untuk membayar parkir motor saja. Kebijakan ini katanya telah disetujui oleh masyarakat dan wali kota Padang. Semoga saja dengan adanya kebijakan ini, kendaraan tetap aman. Setelah membayar karcis, kami melanjutkan membawa motor ke tempat parkir yang berjarak kurang lebih 300 meter setelah tempat karcis tadi. Tempat parkir yang disediakan cukup luas, ada warung, dan juga tempat penyewaan benen untuk anak-anak bermain di sungai.

Kami bersiap-siap untuk menukar celana dan baju. Untuk pergi ke Lubuk Ngalauan sangat disarankan untuk memakai baju dan celana yang cepat kering. Seperti baju olahraga. Kami memulai berjalan kaki dari parkiran menuju Lubuk Ngalauan. Estimasi perjalanan adalah satu jam, tapi kami sampai di luar estimasi yang hanya memakan waktu empat puluh lima menit. Perjalanan dimulai dengan menyebrangi satu sungai yang setinggi pinggul kami. Setelah menyebrang kita disambut dengan jalan bebatuan yang di kiri ada pohon sawit dan di kanan aliran sungai. Ternyata setelah jalan yang mengiringi pohon sawit itu terdapat warung. Warung di situ sudah berdiri sejak 2010. Di hadapan warung tersebut ada sebuah aliran sungai yang memiliki kedalaman 2,5-3 meter. Namun, keunikannya aliran di sini juga seperti kolam.

Lanjut perjalanan ke Labuk Ngalauan. Penyebrangan sungai kedua yang setinggi pinggang yang membuat celana yang tadi mulai kering kembali menjadi basah. Penyebrangan sungai ini sedikit susah, namun sungai ini memiliki banyak batu besar yang bisa dijadikan pegangan. Pada penyebrangan ketiga lumayan dalam, dalamnya se dada kami. Setelah itu kami masuk hutan yang ditandakan adanya jalan setapak yang lumayan terlihat jelas. Perjalanan di hutan sangat menantang. Banyak sekali pacet yang hinggap dan menghisap darah kami. Jalan dalam hutan tersebut naik turun. Tanda jika Lubuk Ngalauan sudah dekat dengan keluarnya kita dari hutan tersebut. Tinggal sekali belok mengikuti arus sungai yang tak begitu deras dan sampailah di Lubuk Ngalauan. Sesampainya kami di sana, kami langsung memasak air untuk diminum. Lalu memakan bekal yang kami bawa. Air di sana berwarna hijau dan dingin. Setelah itu kami pun berenang di kawasan Lubuk Ngalauan tersebut.

Lubuk Ngalauan dapat dijadikan tempat untuk menenangkan jiwa dan batin. Sebab keadaan vegetasi tumbuhan memiliki keasrian yang bagus. Lelah yang diperjalankan empat puluh lima menit terbayarkan dengan suasana sejuk di air terjun tersebut. Di sana kami bertemu dengan rombongan lain, beranggotakan 4 orang. Salah satunya bung Mindra (30) yang merupakan penggiat alam yang suka mencari air terjun di tengah hutan. Menurutnya, Lubuk Ngalauan memiliki suasana tersendiri. Membuat hati tenang jika ada di sini. "Saya sering ke sini bersama teman-teman dan adik-adik saya di sini, dari tahun ke tahun saya tidak pernah bosan ke sini, kalau tidak ingin kena pacet, pakai obat nyamuk oles". Setelah itu, kami pulang dari Lubuk Ngalauan dan kembali ke parkiran. Ternyata tidak seperti ke gunung, biasanya turun bisa setengah dari waktu pendakian. Naik 10 jam, turun bisa 5 jam. Tapi in berbeda, kita kembali memasuki hutan, menyebrangi tiga sungai dan itu memakan waktu yang sama, yaitu 45 menit. Kami sempat memesan kopi di warung parkiran itu. Waktu sudah senja, akhirnya kami pulang dengan sepeda motor.
 

4. Opini

Kegelisahan terhadap Tukang Parkir

Setiap kali saya parkir kendaraan di ruang publik baik itu di minimarket, warung makan pinggir jalan, hingga tempat ibadah, sering sekali ada kegelisahan yang muncul, keberadaan tukang parkir yang tiba-tiba muncul entah dari mana, memberi aba-aba seadanya, lalu menadahkan tangan ketika kita hendak pergi.

Apakah mereka benar-benar membantu atau hanya memungut bayaran tanpa jasa yang jelas?

Pernah suatu kejadian, saya hendak pulang dari pasar Siteba. Sewaktu saya datang, tidak ada tukang parkir yang membantu mengarahkan motor. Ketika keluarpun saya menggeser motor lain yang menghambat jalan keluarnya motor saya. Saat saya menghidupkan motor, terdengar dari belakang suara sorakan "Opp! Parkir, diak". Karena saya malas berdebat, saya berikan uang dua ribu rupiah. Tapi yang membuat saya lebih tidak nyaman, tukang parkir itu malah berkata "Tigo ribu, diak".

Kegelisahan ini bukan hanya tentang uang receh yang harus dikeluarkan. Ini tentang ketidakjelasan peran, hak, dan kewajiban. Banyak tukang parkir liar bekerja tanpa identitas resmi, tanpa seragam, tanpa karcis, bahkan tanpa memberikan rasa aman terhadap kendaraan yang diparkir. Namun, mereka menuntut bayaran seolah telah memberikan layanan yang baik. Lebih mengganggu lagi, tidak jarang mereka bersikap memaksa, bahkan mengintimidasi jika kita enggan memberi. Dengan kira mengeluarkan uang receh tersebut, apakah ketika helm kita hilang mereka akan bertanggung jawab?

Di sisi lain, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan mereka sepenuhnya. Banyak dari mereka mencari nafkah dari pekerjaan ini karena minimnya lapangan kerja. Sayangnya, cara yang tidak tertata justru membuat juru parkir ini rentan disalahgunakan, dan masyarakat jadi korban.

Yang lebih menyedihkan, ada pihak-pihak yang memanfaatkan para tukang parkir ini untuk kepentingan pribadi, menarik setoran tanpa memberikan perlindungan hukum atau kesejahteraan yang layak. Para orang-orang begitu biasanya mengaku-ngaku atas lahan yang digunakan itu, seperti "Iko tanah ambo", atau "Tanah iko tanah pusako dari inyiak ambo samaso dulu", dll.

Sudah saatnya pemerintah daerah menata ulang sistem perparkiran di ruang publik. Perlu ada regulasi yang tegas mengenai siapa yang berhak memungut retribusi parkir, standar pelayanan, hingga jaminan keamanan kendaraan. Agar masyarakat tidak mengecap tindakan ini sebagai pungutan liar. Tukang parkir juga harus diberi pelatihan, seragam, dan sistem kerja yang jelas. Karena masyarakat tidak keberatan membayar jasa parkir, selama jasa itu bertanggung jawab, aman, dan tidak terasa seperti pemalakan.

5. Essay

Tulisan saya sudah terbit di Scientia Sastra Indonesia pada 11/05/2025 dengan link ( https://scientia.id/2025/05/11/pandangan-khalil-gibran-tentang-musik-sebagai-bahasa-rohani/) 

Pandangan Khalil Gibran tentang Musik sebagai Bahasa Rohani

Sebagai orang yang benar-benar menghargai seni sepanjang sejarah hidupnya, Kahlil Gibran pernah berbicara tentang keadaan seni musik yang patut diketahui orang sebagai salah satu bentuk roh dan anugrah Tuhan. Hal tersebut disampaikan melalui karyanya yang berjudul Assilban. Meskipun Assilban tidak terlalu populer layaknya karya Kahlil Gibran yang lain seperti Sayap-sayap Patah, Sang Nabi, Pasir dan Buih, dan lain-lain, Assilban merupakan karya mashyur yang bernuansa religius dari kedalaman rasa seorang Kahlil Gibran terhadap seni. Assilban adalah karya sastra yang berupa teks drama. Karya ini dapat dibaca pada buku Kahlil Gibran: Cinta, Keindahan, Kesunyian. Buku tersebut merupakan buku terjemahan kumpulan dari beberapa karya Kahlil Gibran yang diterjemahkan oleh Dewi Candraningrum, Ahmad Lintang Lazuardi, dan Ahmad Norma.

Assilban berlatar pada musim semi 1901 di Beirut. Terdapat lima pelaku, antara lain Paul Assilban (musikus dan sastrawan), Yosef Mussirah (sarjana dan sastrawan), Helen Mussirah (adik perempuan Yosef), Salem Mowad (sastrawan dan pemain kecapi), dan Khalil Bey Tamir (pegawai pemerintah). Inti dari permasalahan dari karya ini terdapat pada dialog Salem dan dialog Paul. Awal hingga akhir cerita berada di dalam rumah Yosef, orang-orang tersebut berkumpul saat senja datang. Salem dan Paul berdebat pada senja itu. Mereka memperdebatkan kejadian sebelum mereka datang ke rumah Khalil. Salem dan Paul sebelumnya berada pada sebuah pesta di rumah Jalal Pasha yang dihadiri para petinggi dan pengusaha besar. Paul yang seorang musikus saat itu bernyanyi dengan sukarela di pesta tersebut. Tetapi Paul tiba-tiba menghentikan nyanyiannya. Setelah itu Jalal Pasha mengatakan kepada Paul "Tanpa nyanyianmu roh dari pesta ini akan menghilang. Aku harap engkau mau menerima pemberianku ini bukan sebagai bayaran, tapi sebagai tanda hormatku dan penghargaan para hadirin kepadamu. Jangan kecewakan kami" Paul mencampakkan kantung itu dan berkata "Engkau menghinaku, Aku datang ke sini bukan untuk menjual diri, aku datang ke sini sebagai tamu yang sukarela". Jalal Pasha memaki Paul dan Paul pergi meninggalkan rumah itu. 

Alasan Paul berbuat hal itu adalah bentuk ia menentang bagaimana para orang kaya membeli para seniman dan cendikiawan untuk memajangnya di rumah-rumah. Hal tersebut menurut Paul sama saja seperti memelihara ayam, burung dan kuda. Mereka diminta untuk bernyanyi di pesta-pesta. Bila tidak ada pesta, maka para seniman itu terdiam. Paul tidak menyalahkan orang kaya, tapi menyalahkan para penyanyi, penyair, dan cendikiawan yang kehilangan harga diri mereka.

Musik adalah bahasa rohani, musik memiliki jiwa seperti biola, jika talinya kendor maka suaranya tidak keluar. Tali jiwa Paul telah lepas karena melihat tamu-tamu di rumah Jalal Pasha yang penuh ambisi dan sombong. Diperjelas lagi pada dialog Paul "Seni adalah roh, yang tak dapat dijual dan tak dapat dibeli. Kita, orang-orang timur harus memahami kebenaran ini. Para seniman kita harus belajar menghormati diri, karena mereka adalah cawan berisi anggur suci". Cawan berisi anggur suci sering disebut chalice, salah satu bagian penting dari Perjamuan Kudus. Anggur melambangkan darah Kristus, jika diminum akan menjadi lambang penyucian dan pendekatan diri terhadap Tuhan.

Kahlil Gibran tidak dikenal sebagai musikus, tetapi ia sangat menghargai semua bentuk seni, termasuk di dalamnya musik, puisi, dan lukisan. Ia menganggapnya sebagai bentuk ekspresi spiritual. Dapat dibuktikan dalam kutipannya "Music is the language of the spirit. It opens the secret of life bringing peace, abolishing strife" -- Kahlil Gibran.

Musik adalah bahasa rohani bisa diartikan bahwa musik dapat menjadi alat penghubung antara manusia dan Tuhan. Tidak hanya persoalan ibadah dengan Tuhan saja. Ibadah memiliki arti luas. Ibadah yang sebenar ibadah tak hanya bersifat vertikal (manusia ke Tuhan), namun juga bersifat horizontal (manusia ke makhluk hidup lainnya). Dengan musik, manusia dapat membangkitkan ketenangan batin. Paul dalam Assilban ingin menegaskan kembali hal itu. Ia menyanyi bukan karena uang. Itulah rahmat Tuhan yang diberikan kepadanya. Ia menganggap bahwa menyanyi adalah sebuah ibadah. Ia bernyanyi berarti ia bersyukur dan menjalankan anugrah yang diberikan Tuhan kepadanya. Perilaku bersyukur merupakan aspek ibadah yang penting dalam ajaran sebagian besar agama yang tersebar di seluruh dunia, sedangkan ia bernyanyi di depan makhluk lain berarti ia sedang menjalankan ibadah horizontal. Ia membuat orang-orang senang. Sayangnya, para pendengar lain itu tak mendengarkan. Mereka lebih sibuk dengan urusan bisnisnya yang hanya menguntungkan diri mereka sendiri. Sama seperti Paul melukis di depan orang-orang buta, menyanyi di hadapan orang-orang tentu tidak ada artinya. Lebih baik ia pergi meninggalkan rumah Jalal Pasha. Tuhan memberikan musik sebagai salah satu media pendekatan makhluk hidup terhadap Tuhan. Karena musik berasal dari alam semesta. Suara ombak, hujan, burung, semuanya adalah nada dan suara alami yang merujuk pada ciptaan Tuhan. Seluruh semesta ini bergetar, dan musik adalah bagian dari getaran tersebut. Bahkan dalam diri kita sendiri terdapat getaran.

Selain mewarnai pikiran sastrawan di dunia, Kahlil Gibran selalu mewakili jiwa bangsa Arab yang puitis. Bangsa yang memiliki kekayaan dalam berbahasa. Sebagai contoh lain, untuk kuda dan perang saja bangsa Arab memiliki dua ratus kosakata yang berbeda. Kahlil Gibran adalah salah satu dari beberapa penulis yang dapat menciptakan karya sastra yang nyaris sempurna. Ia benar-benar mampu membuat gejolak dalam batin pembaca. Kata-katanya begitu sejahtera. Ketika ia bicara mengenai kesedihan, tulisannya datang bagai malaikat maut yang membuat sesak di dada. Jika berbicara mengenai kesenangan, tulisannya datang bagai matahari yang membawakan rasa hangat dalam jiwa. Pada saat itu, ia juga memunculkan pemikiran mengenai seni yang harus dihargai dan harganya tak dapat dibeli. Seni adalah jiwa, dan musik memiliki jiwa yang membangkitkan jiwa yang lain.

"Bagaimana musik itu bisa diharamkan? Sedangkan sekujur tubuh kita penuh dengan nada" -- Sujiwo Tejo.

Oleh: Faathir Tora Ugraha
(Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun