Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Pensiun Seharusnya seperti Pelabuhan, tetapi Ayah Masih di Lautan Tanggung Jawab

30 Mei 2025   21:32 Diperbarui: 12 Juni 2025   23:00 10441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayah adalah laut yang tak pernah meminta hujan berhenti.Ia menampung semua yang jatuh,meski tahu air asinnya akan semakin dalam. (Pexels)

Saya ingin Ayah percaya bahwa dunia tidak akan runtuh hanya karena ia berhenti sejenak. Bahwa ia boleh duduk lebih lama di kursi depan rumah, menatap langit senja sambil tersenyum. Bahwa ia boleh main dengan cucu tanpa diburu waktu, tanpa merasa bersalah karena tidak 'produktif'. Bahwa ia boleh memeluk dirinya sendiri dan berkata, "Aku sudah cukup."

Karena memang begitu adanya. Ayah sudah cukup. Dan kami mencintainya, tanpa syarat. Tanpa harus jadi kuat setiap waktu.

Untuk Semua Ayah yang Masih di Lautan

Tulisan ini bukan hanya tentang Ayah saya. Ini tentang semua Ayah yang masih berada di geladak kapal, menatap cakrawala dengan mata lelah namun tetap siaga. Tentang mereka yang belum sempat duduk tenang karena dunia belum memberi izin. Tentang para lelaki yang memikul diam-diam, yang menyembunyikan gelisah di balik tawa, yang tetap bekerja meski tubuhnya meminta jeda.

Ini untuk semua Ayah yang belum bisa istirahat, yang masih bergulat dengan angka-angka, tagihan, dan harga bahan pokok yang tak pernah ajak kompromi. Yang menahan beban meski lututnya sudah tak sekuat dulu. Bukan karena mereka gila kerja. Tapi karena dunia terlalu keras untuk ditinggal sebentar.

Kadang, cinta seorang Ayah tidak berisik. Ia hadir dalam bentuk kelelahan yang disembunyikan, dan tanggung jawab yang tidak pernah ia tinggalkan.

Saya sering membayangkan, bagaimana rasanya jika mereka diberi ruang untuk bernapas. Untuk tidak selalu jadi yang pertama bangun dan terakhir tidur. Untuk menikmati pagi bukan karena harus bekerja, tapi karena ingin menyeduh kopi tanpa tergesa. Untuk sekadar menonton matahari terbit tanpa harus memikirkan apakah beras cukup sampai akhir bulan.

Semoga suatu hari nanti, kita bisa membangun dunia di mana pensiun bukanlah kemewahan, tapi hal yang wajar, hal yang manusiawi. Karena istirahat bukan hadiah. Ia adalah hak.

Seseorang pernah berkata, laut pun punya daratan untuk bersandar. Maka semoga, para Ayah pun kelak menemukan tempat berlabuh yang hangat.

Dan saat pelabuhan itu datang, saat kapal tua itu menepi dan layar diturunkan, semoga mereka tahu: Mereka sudah cukup. Mereka sudah mengantar kita sejauh ini. Kini giliran kita yang menjemput. Kini giliran kita yang mengantar mereka pulang.

Titik Balik dari Rasa Syukur

Mungkin hari ini, kita belum mampu membelikan mereka rumah megah, apalagi liburan ke tempat-tempat yang hanya mereka lihat di televisi. Tapi barangkali, kesadaran sederhana bahwa mereka telah menjadi pondasi di tengah badai hidup kita sudah cukup menjadi balas budi yang paling jujur.

Cukup dengan melihat mereka bukan sekadar sebagai penghasil uang atau pemadam kebakaran keluarga, tapi sebagai manusia yang bisa rapuh, bisa kecewa, dan ingin dicintai bukan karena perannya, tapi karena keberadaannya.

Kadang, yang paling dibutuhkan bukan hadiah besar, tapi hati yang benar-benar hadir.

Dan jika hari ini kamu masih diberi kesempatan untuk memeluk Ayahmu, atau sekadar menelepon dan berkata, "Terima kasih, Yah, karena sudah bertahan sejauh ini", lakukanlah.

Karena mungkin, bagi mereka yang sudah terlalu lama memeluk dunia dengan sepi, satu kalimat tulus darimu bisa jadi tempat pulang paling hangat.

Tak semua perjuangan ingin dikenang; sebagian hanya ingin dihargai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun