Tapi hidup juga menuntut banyak. Pekerjaan, cicilan, anak-anak, kebutuhan rumah yang tak ada habisnya. Ada hari-hari ketika saya ingin datang dan membantu lebih banyak, tapi dunia seolah tak memberi jeda.
Namun dari Ayah, saya belajar satu hal penting: warisan tak selalu berupa harta. Kadang, warisan itu berupa napas yang terus disambung, walau dada sesak.
Berupa langkah yang tetap diayun, walau lutut gemetar. Berupa keteguhan, saat hidup hanya memberi alasan untuk menyerah.
Warisan Ayah bukan emas. Tapi keteladanan. Kebijaksanaan yang disimpan rapi dalam diam.
Kesabaran yang tidak diumbar, tapi terasa. Dan cinta yang tidak banyak kata, tapi hadir dalam hal-hal kecil: membuka pagar sebelum kita pulang, menyisakan bagian terbaik dari lauk makan malam, atau sekadar duduk diam menunggu kabar.
Orang tua mungkin tak mewariskan istana, tapi mereka bisa meninggalkan fondasi yang tak akan runtuh oleh zaman: nilai, kasih, dan keteladanan.
Dari Ayah, saya belajar bahwa warisan terbaik bukan yang bisa dihitung, tapi yang bisa diteladani. Dan sekarang, di tengah segala letih hidup, saya mencoba menapak di jejak itu meski pelan, meski belum sempurna.
Ayah, Kamu Sudah Cukup
Saya tahu, tak ada kata yang cukup untuk membalas semua pengorbanan Ayah. Segala peluh yang tak tercatat. Segala luka yang tak pernah dikeluhkan.
Ayah adalah alasan kenapa rumah tetap berdiri, bahkan saat badai datang bertubi-tubi. Tapi kalau saya boleh memilih satu kalimat yang ingin saya bisikkan ke telinganya suatu hari nanti, itu adalah:
"Yah, kamu sudah cukup. Kamu sudah lebih dari cukup."
Saya ingin Ayah tahu bahwa ia tidak harus membuktikan apa-apa lagi. Bahwa anak-anaknya tumbuh, bukan karena Ayah sempurna, tapi karena Ayah setia.
Bahwa kalau pun keadaan belum sepenuhnya baik, kami selaku anak-anakmu akan menanggung sisanya bersama-sama. Kami tidak mengharapkan Ayah jadi pahlawan selamanya. Kami hanya ingin Ayah tahu: boleh berhenti. Boleh istirahat. Boleh merasa lelah.
Saya tahu, melepas peran adalah kehilangan juga. Ayah mungkin bertanya dalam hatinya, "Kalau bukan aku, siapa lagi?" Tapi kali ini, biarlah kami yang menjawab: "Kami. Kami di sini. Kami akan meneruskan."
Cinta sejati orang tua adalah ketika mereka rela memberi seluruh hidupnya untuk anak-anak, tapi anak yang mencintai akan berkata: Kini giliran kami menjaga kalian.