Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Pensiun Seharusnya seperti Pelabuhan, tetapi Ayah Masih di Lautan Tanggung Jawab

30 Mei 2025   21:32 Diperbarui: 12 Juni 2025   23:00 10443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayah adalah laut yang tak pernah meminta hujan berhenti.Ia menampung semua yang jatuh,meski tahu air asinnya akan semakin dalam. (Pexels)

Saya selalu membayangkan pensiun itu seperti pelabuhan yang tenang. Tempat di mana seseorang akhirnya bisa menurunkan sauh, merebahkan tubuh, dan membiarkan gelombang hidup melintas tanpa harus menahannya sendiri. 

Tempat di mana semua kerja keras selama puluhan tahun menemukan titik akhir yang damai. Tapi bagi Ayah, pelabuhan itu tak kunjung terlihat. Seperti kapal yang terlalu lama berlayar, Ayah masih berputar-putar di lautan tanggung jawab yang tak selesai-selesai.

Ia Harusnya Sudah Sampai...

Waktu itu, ayah seharusnya sudah pensiun tiga tahun. Tapi setiap kali aku bertanya, "Yah, kapan berhenti kerja?"
Ia hanya tersenyum, menunduk melihat jari-jari tangannya yang mulai menggembung dan bengkak. Kadang menjawab setengah berbisik, "Nanti kalau semua beres."


Masalahnya, "semua" itu tidak pernah benar-benar beres. Utang rumah belum lunas. Anak bungsu belum tamat kuliah. Motor tua belum ganti suku cadang. Biaya berobat Ibu yang makin sering ke dokter. Harga kebutuhan yang terus naik. Dan cucu yang butuh susu formula khusus karena alergi.

Beberapa orang tak pernah benar-benar sampai, karena hidup membuat mereka terus berjalan, demi orang-orang yang mereka cintai.


Tanggung jawab seperti ombak kecil yang tidak pernah berhenti menampar perahu tua Ayah. Satu dua mungkin bisa ditahan. Tapi gelombang ini tak henti-hentinya datang.


Ayah adalah bagian dari Generasi Sandwich Pensiun. Generasi yang belum bisa beristirahat karena harus menopang dua sisi sekaligus: orang tua yang menua dan anak-anak yang belum sepenuhnya mandiri. Mereka berdiri di tengah, terjepit, tapi tetap berdiri. Tetap berlayar.

Ayah dan Sepatu Kulit yang Tak Lagi Empuk

Saya masih ingat sepatu kulit cokelat yang dulu sering Ayah pakai saat berangkat kerja. Solnya kini tipis, hampir tembus. Tapi entah kenapa Ayah tetap memakainya.

Mungkin karena sepatu itu seperti bagian dari dirinya. Bagian dari perannya sebagai penyokong utama keluarga. Bagian dari identitas yang dibentuknya selama puluhan tahun: bekerja dari pagi sampai malam, pulang dengan lelah yang tak pernah diungkapkan.

Pernah suatu malam, saya bangun ke dapur untuk minum, dan melihat Ayah duduk di kursi makan, sendirian, menatap kertas tagihan. Tak ada suara. Tapi ada beban yang beratnya terasa sampai ke kamar tidur saya.

Saya ingin memeluknya waktu itu. Tapi saya hanya kembali ke kamar dan menatap langit-langit, menahan air mata.

Sepatu Ayah memang tak lagi empuk, tapi langkahnya tetap kuat. Karena yang ia pikul bukan sekadar tubuhnya, tapi hidup kami semua.

Pensiun Itu Hak, Bukan Hadiah

Kita sering mengira pensiun adalah hadiah bagi yang rajin bekerja. Padahal, pensiun seharusnya hak. Hak untuk beristirahat. Hak untuk menikmati sisa waktu hidup tanpa dihantui ketakutan akan tagihan dan kekurangan.

Tapi banyak orang seperti Ayah yang tidak bisa benar-benar "berhenti." Bukan karena tidak mau, tapi karena sistem dan keadaan membuat mereka tetap harus berjalan. Seperti lari maraton tanpa garis akhir.

Mereka tidak hanya bertanggung jawab atas ekonomi keluarga, tapi juga atas harga diri yang menempel kuat pada peran sebagai "kepala rumah tangga." Kadang, bahkan rasa sayang pun disampaikan lewat kerja keras bukan peluk atau ucapan.

Ketika Ayah Mulai Lupa

Beberapa bulan terakhir, Ayah mulai sering lupa hal-hal kecil. Nama tetangga. Tempat menyimpan kunci. Obat yang harus diminum.
Saya tahu, usia mulai bicara dengan caranya sendiri lewat pelupa, lewat sendi yang mengeluh, lewat langkah yang makin pelan. 

Tapi bahkan ketika tubuh dan ingatan mulai goyah, Ayah tetap berdiri seperti biasanya: mengantar cucu ke sekolah, pergi ke bengkel walau harus duduk lama menahan nyeri punggung, mengecek nota belanja Ibu meski matanya sudah kabur membaca angka kecil.

Saya pernah bertanya, dengan nada sedikit putus asa, "Kenapa nggak istirahat aja sih, Yah?"

Dan jawabannya pelan sekali, tapi berat dan menancap:
"Kalau bukan Ayah, siapa lagi?"

Jawaban itu membuat saya terdiam. Karena di balik tubuh yang melemah, saya lupa melihat jiwa yang masih kokoh berdiri. Ayah bukan sekadar menjalankan rutinitas Ia sedang bertahan. 

Dalam diam, ia sedang mengajarkan arti tanggung jawab. Dalam pelupa, ia sedang menunjukkan bahwa cinta tak selalu butuh ingatan yang sempurna, cukup hati yang setia menjaga.

Terkadang, kekuatan bukan datang dari otot yang keras atau ingatan yang tajam, tapi dari kesediaan untuk tetap hadir meski dunia perlahan memudar.

Ayah mungkin lupa banyak hal. Tapi ia tak pernah lupa menjadi rumah bagi kami. Dan saya belajar: menjadi kuat bukan berarti tak lelah tapi memilih tetap berjalan meski tahu kaki mulai gemetar.

Warisan Tak Selalu Berupa Harta

Saya sering merasa bersalah. Saya tahu, saya belum bisa menggantikan peran Ayah sepenuhnya. Kadang saya merasa seperti anak kecil yang kebesaran baju berusaha terlihat kuat, padahal masih belajar menanggung hidup.


Tapi hidup juga menuntut banyak. Pekerjaan, cicilan, anak-anak, kebutuhan rumah yang tak ada habisnya. Ada hari-hari ketika saya ingin datang dan membantu lebih banyak, tapi dunia seolah tak memberi jeda.

Namun dari Ayah, saya belajar satu hal penting: warisan tak selalu berupa harta. Kadang, warisan itu berupa napas yang terus disambung, walau dada sesak.


Berupa langkah yang tetap diayun, walau lutut gemetar. Berupa keteguhan, saat hidup hanya memberi alasan untuk menyerah.

Warisan Ayah bukan emas. Tapi keteladanan. Kebijaksanaan yang disimpan rapi dalam diam.
Kesabaran yang tidak diumbar, tapi terasa. Dan cinta yang tidak banyak kata, tapi hadir dalam hal-hal kecil: membuka pagar sebelum kita pulang, menyisakan bagian terbaik dari lauk makan malam, atau sekadar duduk diam menunggu kabar.

Orang tua mungkin tak mewariskan istana, tapi mereka bisa meninggalkan fondasi yang tak akan runtuh oleh zaman: nilai, kasih, dan keteladanan.

Dari Ayah, saya belajar bahwa warisan terbaik bukan yang bisa dihitung, tapi yang bisa diteladani. Dan sekarang, di tengah segala letih hidup, saya mencoba menapak di jejak itu meski pelan, meski belum sempurna.

Ayah, Kamu Sudah Cukup

Saya tahu, tak ada kata yang cukup untuk membalas semua pengorbanan Ayah. Segala peluh yang tak tercatat. Segala luka yang tak pernah dikeluhkan.


Ayah adalah alasan kenapa rumah tetap berdiri, bahkan saat badai datang bertubi-tubi. Tapi kalau saya boleh memilih satu kalimat yang ingin saya bisikkan ke telinganya suatu hari nanti, itu adalah:

"Yah, kamu sudah cukup. Kamu sudah lebih dari cukup."

Saya ingin Ayah tahu bahwa ia tidak harus membuktikan apa-apa lagi. Bahwa anak-anaknya tumbuh, bukan karena Ayah sempurna, tapi karena Ayah setia.


Bahwa kalau pun keadaan belum sepenuhnya baik, kami selaku anak-anakmu akan menanggung sisanya bersama-sama. Kami tidak mengharapkan Ayah jadi pahlawan selamanya. Kami hanya ingin Ayah tahu: boleh berhenti. Boleh istirahat. Boleh merasa lelah.

Saya tahu, melepas peran adalah kehilangan juga. Ayah mungkin bertanya dalam hatinya, "Kalau bukan aku, siapa lagi?" Tapi kali ini, biarlah kami yang menjawab: "Kami. Kami di sini. Kami akan meneruskan."

Cinta sejati orang tua adalah ketika mereka rela memberi seluruh hidupnya untuk anak-anak, tapi anak yang mencintai akan berkata: Kini giliran kami menjaga kalian.

Saya ingin Ayah percaya bahwa dunia tidak akan runtuh hanya karena ia berhenti sejenak. Bahwa ia boleh duduk lebih lama di kursi depan rumah, menatap langit senja sambil tersenyum. Bahwa ia boleh main dengan cucu tanpa diburu waktu, tanpa merasa bersalah karena tidak 'produktif'. Bahwa ia boleh memeluk dirinya sendiri dan berkata, "Aku sudah cukup."

Karena memang begitu adanya. Ayah sudah cukup. Dan kami mencintainya, tanpa syarat. Tanpa harus jadi kuat setiap waktu.

Untuk Semua Ayah yang Masih di Lautan

Tulisan ini bukan hanya tentang Ayah saya. Ini tentang semua Ayah yang masih berada di geladak kapal, menatap cakrawala dengan mata lelah namun tetap siaga. Tentang mereka yang belum sempat duduk tenang karena dunia belum memberi izin. Tentang para lelaki yang memikul diam-diam, yang menyembunyikan gelisah di balik tawa, yang tetap bekerja meski tubuhnya meminta jeda.

Ini untuk semua Ayah yang belum bisa istirahat, yang masih bergulat dengan angka-angka, tagihan, dan harga bahan pokok yang tak pernah ajak kompromi. Yang menahan beban meski lututnya sudah tak sekuat dulu. Bukan karena mereka gila kerja. Tapi karena dunia terlalu keras untuk ditinggal sebentar.

Kadang, cinta seorang Ayah tidak berisik. Ia hadir dalam bentuk kelelahan yang disembunyikan, dan tanggung jawab yang tidak pernah ia tinggalkan.

Saya sering membayangkan, bagaimana rasanya jika mereka diberi ruang untuk bernapas. Untuk tidak selalu jadi yang pertama bangun dan terakhir tidur. Untuk menikmati pagi bukan karena harus bekerja, tapi karena ingin menyeduh kopi tanpa tergesa. Untuk sekadar menonton matahari terbit tanpa harus memikirkan apakah beras cukup sampai akhir bulan.

Semoga suatu hari nanti, kita bisa membangun dunia di mana pensiun bukanlah kemewahan, tapi hal yang wajar, hal yang manusiawi. Karena istirahat bukan hadiah. Ia adalah hak.

Seseorang pernah berkata, laut pun punya daratan untuk bersandar. Maka semoga, para Ayah pun kelak menemukan tempat berlabuh yang hangat.

Dan saat pelabuhan itu datang, saat kapal tua itu menepi dan layar diturunkan, semoga mereka tahu: Mereka sudah cukup. Mereka sudah mengantar kita sejauh ini. Kini giliran kita yang menjemput. Kini giliran kita yang mengantar mereka pulang.

Titik Balik dari Rasa Syukur

Mungkin hari ini, kita belum mampu membelikan mereka rumah megah, apalagi liburan ke tempat-tempat yang hanya mereka lihat di televisi. Tapi barangkali, kesadaran sederhana bahwa mereka telah menjadi pondasi di tengah badai hidup kita sudah cukup menjadi balas budi yang paling jujur.

Cukup dengan melihat mereka bukan sekadar sebagai penghasil uang atau pemadam kebakaran keluarga, tapi sebagai manusia yang bisa rapuh, bisa kecewa, dan ingin dicintai bukan karena perannya, tapi karena keberadaannya.

Kadang, yang paling dibutuhkan bukan hadiah besar, tapi hati yang benar-benar hadir.

Dan jika hari ini kamu masih diberi kesempatan untuk memeluk Ayahmu, atau sekadar menelepon dan berkata, "Terima kasih, Yah, karena sudah bertahan sejauh ini", lakukanlah.

Karena mungkin, bagi mereka yang sudah terlalu lama memeluk dunia dengan sepi, satu kalimat tulus darimu bisa jadi tempat pulang paling hangat.

Tak semua perjuangan ingin dikenang; sebagian hanya ingin dihargai.

Dan kalaupun kita belum bisa membalas semuanya, biarlah rasa syukur menjadi titik balik. Untuk mencintai lebih sadar. Untuk hadir lebih sungguh. Karena sering kali, yang membuat mereka bertahan bukanlah kekuatan...tapi keyakinan bahwa perjuangannya dikenang, dirasa, dan dihargai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun