Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Pak Tua Berkopiah Putih (2)

21 Februari 2024   11:15 Diperbarui: 21 Februari 2024   11:21 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Tamu Tiap Senin

Alasan ketiga anak tetangga yang menyebut bisa mengganggu datangnya rezeki atas ulah Santo menentang bau asap kemenyan dengan membakar pula sampah, membuat pikiran Santo dan keluarga Kumis bertanya-tanya. Apa hubungannya bakar kemenyan dengan datangnya rezeki?

Sebagai pegawai swasta di suatu perusahaan asesoris kendaraan yang tiap hari kerja kecuali hari libur, Kumis tidak mengetahui pasti kebiasaan tetangganya ini. Ia dan istrinya, Sulastri yang seorang pekerja garmen, juga demikian.

Namun dua anaknya, Santo, dan Santi yang sudah memasuki usia remaja juga pembantunya Maemunah mendengar dan melihat awal mula para tetangganya ini punya kebiasaan itu.

Menurut yang didengar Maemunah, dari Tono, adiknya Juned yang masih SMP dan suka menggodanya itu, ritual bakar kemenyan mulanya datang dari Kamid.

Kamid yang punya lapak tambal ban di jalan Hang Lekir mengajak bapaknya, Suwar. Karena sama-sama punya usaha kecil di pinggir jalan, maka diikuti. Katanya supaya usahanya lancar dan rezeki enteng datang.  


Memang selama tiga bulan belakangan tampak ada perubahan. Suatu kali Maemunah melihat Kamid membawa televisi baru, sementara TV yang lama dijual pada tukang loak.

Lain waktu ia pergoki Suwar sedang menggotong mesin jahit  bekas untuk kerja istrinya.

Sementara tempo hari saat menjelang maghrib, Kuman yang pedagang rujak keliling membawa gerobak kerjanya yang baru, dan gerobak lamanya dimodifikasi untuk jualan rujak istrinya di rumah.

Mameunah kemudian mengisahkan semua itu pada majikannya Kumis, dan Sulastri. Kata Maemunah, memang tiap hari Senin siang selalu saja ada seorang tamu yang datang. Tamu itu penampilannya seperti lelaki padahal perempuan. Umurnya sekitar 60 tahunan.

Pakaian atasannya selalu menggunakan kemeja lengan panjang, dan celana panjang berbahan katun. Rambutnya pendek disisir dan berminyak persis lelaki. Wajahnya bulat dan gemuk. Tiap datang ke rumah Kamid sebatang sigaret selalu nempel di bibirnya.

"Jadi tiap Senin selama tiga bulan itu orang ini datang?"tanya Kumis.

"Iya pak. Tapi tidak lama. Paling banter satu jam terus pergi lagi. Sendiri pula."

"Tetangga semua berkumpul di rumah Kamid?"Sulastri menyusul bertanya.

"Iya Bu. Cuma rumah bapak dan ibu aja yang tidak."

"Lalu untuk apa mereka berkumpul tiap hari Senin siang?"

"Kata anaknya pak Suwar, Tono, depan rumah kita ini, Senin itu awal hari kerja. Di awal hari kerja itu rezeki akan datang, dan malam jumat kliwon bakar kemenyan supaya jumat paginya asap yang menyebar sudah meresap ke dalam jiwa orang-orang. Nah saat itu orang yang punya kendaraan motor atau mobil kalau bannya bocor atau kempes mencari lapak pak Kamid dan pak Suwar. Begitu Bu,"terang Maemunah lancar.

"Nah, pak Kuman bagaimana dengan rujaknya?"

"Ah itu mah saya juga suka beli Bu. Rujak kan kesukaan saya, dan ibu juga. Gak ngaruh asap kemenyan mah."

Penjelasan Maemunah itu membuat Kumis dan Sulastri sepakat untuk cuti dari kerja mereka masing-masing pada Senin mendatang untuk mengetahui lebih jelas soal kebiasaan baru tetangganya ini.

Benar saja. Di hari Senin itu, saat rambut Sulastri sedang diperiksa keberadaan kutunya oleh Maemunah di teras rumah, orang yang diceritakan Maemunah menyapanya kala lewat di hadapan mereka.

"Permisi ibu, mbak."

"Mari pak."Sulastri membalas dan menoleh padanya.

Orang yang disebut "pak" ini menghentikan langkahnya, dan sambil tersenyum mengatakan pada Sulastri,"saya perempuan Bu, bukan lelaki."

Maemunah tampak menahan tawa, dan Sulastri menimpali dengan kata maaf. Lalu orang ini mengajak Sulastri untuk menuju ke rumah Kamid. Namun Sulastri menolaknya.

Sementara itu Kumis yang mengetahui perempuan ini mengintip dari balik gorden. Ia rasanya mengenali perempuan tersebut. Karena penasaran ia meminta izin pada istrinya untuk menemui mereka berkumpul di rumah Kamid.

"Untuk apa pak?"

"Cari tau. Rasanya aku kenal orang ini."

"Nanti malah ikut bakar-bakar kemenyan."

"Kita bakar sate aja. Biar Santo yang buat,"balas Kumis sekenanya setelah diizinkan Sulastri untuk bertamu.

Di rumah Kamid, sudah ada Kuman dan Suwar. Ketiganya akrab berbincang, dan perempuan itu tidak tampak bersama mereka. Kumis lalu mendekati rumah itu dan setelah diizinkan masuk kemudian bergabung di ruang tamu.

Setelah berbincang banyak mengenai kesibukan masing-masing, ketiganya berbarengan meminta Kumis untuk ikuti ritual mereka tiap malam Jumat bakar kemenyan.

"Supaya di gang buntu ini kompak dan selamat,"pinta Kamid terkekeh yang diikuti Suwar dan Kuman.

Tapi karena tidak punya alasan untuk bergabung, dan hanya ingin memastikan perempuan yang datang adalah orang yang ia kenali, Kumis menolak dengan halus.

"Saya ini sedang cuti, jadi sekali-sekali mau kumpul semacam ini. Kalau soal kompak dan selamat mudah-mudahan sebagai penghuni gang buntu tetap selamanya begitu."

"Bukan cuma kompak dan selamat saja, Tapi pelan-pelan kaya raya,"cetus Kuman tiba-tiba yang diamini Suwar dan Kamid. Kumis agak terperangah mendengarnya, namun ia bisa menguasai keadaan.

"Wah kalau soal itu, saya ini pegawai jadi ikuti saja sebagai pekerja biasa. Lagi pula anak-anak sudah besar."

Jawaban Kumis membuat ketiganya tidak melanjutkan untuk mengajaknya bergabung. Sebutan pegawai menjadikan ketiganya punya rasa minder.

Karena suasana tiba-tiba jeda dan diam, Kumis mencoba mencairkan.

"Tamu bapak-bapak ini, mohon maaf, pak Kamid, dia kemana?"

"O dia ada di kamar?"

"Di kamar?Sendiri?"

"Tidak, bersama istri."

Seketika Kamid menjawab seketika itu pula para isteri ketiganya muncul bersamaan dari kamar dan menuju ruang tamu. Entah apa yang mereka perbuat.

Sementara tamu yang ditunggu Kumis tidak muncul juga. Namun dari mata gagang kunci, perempuan itu sedang mengintip dan  bisa dengan jelas melihat Kumis sedang berada di tengah di antara tuan rumah dan para tetangga.

Ia diam-diam mendengar pula suara Kumis ketika berbincang dengan murid-muridnya ini.  Ia menahan diri untuk keluar dan diam di kamar sembari menunggu Kumis pergi. Karena ia yakin Kumis itu orang yang ia kenali.

Di pihak lain, karena merasa kagok sendiri di antara para suami isteri itu, Kumis pun akhirnya undur diri. Ia tidak bisa bertemu dengan orang yang ingin dipastikannya bahwa ia kenal.

Usai Kumis pergi, perempuan ini keluar dari kamar, dan setelah memberikan wejangan supaya diteruskan bakar kemenyan tiap malam Jumat kliwon, ia pun ingin pamit. Kamid dan istrinya, juga Suwar dan Kuman serta isteri-isterinya pasang muka senang.

Mereka tidak bertanya lagi mengapa barusan tidak bersamaan keluar dari kamar dengan isteri-isterinya ketika ada Kumis. Padahal di hati Kamid sangat ingin menanyakan hal itu. Tapi disimpannya saja. Akhirnya mereka pun bergantian memberikan sejumlah uang dalam amplop masing-masing pada perempuan itu. Lalu ia pergi. 

Ketika lewat di muka rumah Kumis, ia setengah berlari seraya tundukan kepala, dan Kumis dari balik gorden rumahnya melihat jelas perempuan itu. 

"Memang dia,"hatinya memastikan.

___________

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun