Jalanan Serang menuju Cilegon ramai berdesis,
seperti ular raksasa yang lapar dan tak kenal belas kasih.
terlindas raksasa jalan yang melintas tanpa peduli nama,
tanpa sempat menanyakan siapa yang hilang
di bawah rodanya.
Deru itu meraung,
memasuki telinga,
membelah dadaku bersama debaran jantung
yang seolah sanggup mengguncang jagat raya.
Aku gentar pada maut,
yang bisa datang tiba-tiba,
meninggalkan ribuan mimpi terkubur,
mimpi-mimpi yang belum sempat kupersembahkan
kepada dunia.
Kenanganku berserak di atas aspal yang menyala,
masa depanku tertindih riuh klakson,
tercekik oleh waktu
yang selalu tergesa,
hingga tak sempat memberiku ruang
untuk bersuara.
"Hati-hati di jalan,"
ka"Di antara debu jalanan dan raungan besi yang mengguncang Serang--Cilegon, ada kisah yang tak kalah bising: tentang ambisi, luka, dan perjalanan pulang."
ta Mama, suaranya lembut namun menusuk dada.
"Pelan-pelan bawa motornya,"
pesan Ayah---peringatan yang selalu terselip doa.
Tapi aku tahu,
setiap kali mesin menyala,
aku sedang berjudi dengan nasib.
Angin kota menampar wajahku tanpa belas kasih,
asap hitam menutup pandang,
dan aku melaju---
seakan menyerahkan diri pada Tuhan,
dengan pasrah yang getir,
dengan ikhlas yang dipaksa belajar dari ketakutan.
Jika namaku hadir di kolom asing, tanpa tanda tangan, tanpa wajah, hanya huruf-huruf yang dingin.
biarlah sajak ini menjadi saksi,
bahwa aku pernah berjuang melawan lapar dan lelah,
pernah menahan gentar di jalan yang tak kenal ampun,
pernah bertarung dengan isi kepala
yang riuh seperti lalu lintas itu sendiri.
Aku takut mati.
Takut dicium baja, dihabisi besi,Â
ditelan raungan yang bahkan tak mengenalku.
Aku takut mati,
terlindas raksasa jalan yang lapar,
yang melintas dari Serang ke Cilegon,
tanpa pernah menoleh,
tanpa pernah menyesal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI