Mohon tunggu...
Erni Febriyani
Erni Febriyani Mohon Tunggu... Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Menulis untuk mengeluarkan suara yang tak pernah didengar. Meluangkan hati yang gusar. Inilah karyaku, ditorehkan dari kenyataan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Raungan Besi di Serang-Cilegon

28 Agustus 2025   10:35 Diperbarui: 28 Agustus 2025   10:35 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jalanan Serang menuju Cilegon ramai berdesis,

seperti ular raksasa yang lapar dan tak kenal belas kasih.

Aku takut mati---

terlindas raksasa jalan yang melintas tanpa peduli nama,

tanpa sempat menanyakan siapa yang hilang

di bawah rodanya.

Deru itu meraung,

memasuki telinga,

membelah dadaku bersama debaran jantung

yang seolah sanggup mengguncang jagat raya.

Aku gentar pada maut,

yang bisa datang tiba-tiba,

meninggalkan ribuan mimpi terkubur,

mimpi-mimpi yang belum sempat kupersembahkan

kepada dunia.

Kenanganku berserak di atas aspal yang menyala,

masa depanku tertindih riuh klakson,

tercekik oleh waktu

yang selalu tergesa,

hingga tak sempat memberiku ruang

untuk bersuara.

"Hati-hati di jalan,"

ka"Di antara debu jalanan dan raungan besi yang mengguncang Serang--Cilegon, ada kisah yang tak kalah bising: tentang ambisi, luka, dan perjalanan pulang."

ta Mama, suaranya lembut namun menusuk dada.

"Pelan-pelan bawa motornya,"

pesan Ayah---peringatan yang selalu terselip doa.

Tapi aku tahu,

setiap kali mesin menyala,

aku sedang berjudi dengan nasib.

Angin kota menampar wajahku tanpa belas kasih,

asap hitam menutup pandang,

dan aku melaju---

seakan menyerahkan diri pada Tuhan,

dengan pasrah yang getir,

dengan ikhlas yang dipaksa belajar dari ketakutan.

Jika namaku hadir di kolom asing, tanpa tanda tangan, tanpa wajah, hanya huruf-huruf yang dingin.

biarlah sajak ini menjadi saksi,

bahwa aku pernah berjuang melawan lapar dan lelah,

pernah menahan gentar di jalan yang tak kenal ampun,

pernah bertarung dengan isi kepala

yang riuh seperti lalu lintas itu sendiri.

Aku takut mati.

Takut dicium baja, dihabisi besi, 

ditelan raungan yang bahkan tak mengenalku.

Aku takut mati,

terlindas raksasa jalan yang lapar,

yang melintas dari Serang ke Cilegon,

tanpa pernah menoleh,

tanpa pernah menyesal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun