Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pembebasan Hasrat: Keluar dari Ruang Kosong (Bagian 2)

29 November 2022   13:05 Diperbarui: 17 Januari 2024   09:50 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hari Solidaritas Internasional untuk Palestina (Sumber gambar: dreamstime.com)

Mata dan kaki mereka pergi dan datang pada saat yang berbeda. Perdamaian bukanlah sesuatu yang terdapat di depan tembok, dibuat dengan mendorong pintu ke samping. 

Ia adalah aliran hasrat, mimpi, harapan, dan intelek sebagai energi itu sendiri keluar dari ruang kosong. Ruang tersebut ditandai dengan latar depan baju anak muda berwarna merah. Dia berdiri sambil berkacak pinggang di atas puing-puing gedung.

Mereka juga menoleh hingga di garis batas pandangan matanya tertuju pada ujung gedung lain menghampar di kanan dan kirinya membentuk garis horizontal. 

Di atas kepalanya sedang dipandangi oleh sang rembulan nampak memancarkan cahaya putih mengatasi bayangan hitam di senja hari.

Tetapi, dengan pandangan mata mereka yang secara jernih masih tetap diarahkan ke depan. 

Ia menuju titik yang sama, yang telah dipandangi oleh “mata lain” dari kamera fotografer.

Terakhir, seorang lelaki separuh baya memakai topi dan berbaju warna hitam sedang duduk dari latar belakang yang sama nampak gedung hancur. Sebelah kanannya nampak masih tersisa lebih dari satu gedung berdiri tegak.

Pada setiap pandangan, ada sudut tangkapan mata kamera lebih dari garis yang melingkar dan spiral. 

Lebih dari tiga tujuannya yang ditentukan oleh pergerakan hasrat, mimpi, kesenangan, dan harapan masa depan Palestina melebihi sisi kiri dan kanan, sisi depan dan belakangnya.

Ketidakpusatan garis yang membujur di sekitar mereka terjadi pada gambar yang lebih dekat dengan sosok pejuang akan terjalin kelindang dengan mata, wajah, kaki, dan bagian tubuh murni lain. Lebih mantap lagi, pandangannya dipertajam oleh sorotan oleh “mata” sebuah kamera yang mengabadikan gambarnya dalam sebuah rekaman video. Meskipun mata dengan lubang intipan tidak lebih dari suatu ruang kecil yang tersembunyi, tetapi melingkari.

Karena persfektif dalam satu tujuan, kedua anak manusia sangat dekat satu sama lain. 

Dari masing-masing keduanya tentu tidak sedikit dari  garis batasnya, yang keluar melalui “mata lain” datang dari lensa kamera, yang mereka sendiri tidak melihatnya. 

Ketika orang berada dari latar depan dan latar belakang, tanpa ke ruang yang lebih jauh dalam wujud yang tidak bisa dirahi.

Satu titik yang terletak dalam gambar, dimana mereka mengamatinya, tetapi menampakkan wujud lahiriahnya. Satu titik, dimana nafsu serakah atau nafsu penjajah dalam ketidakhadiran ruang damai. 

Karena itu, Palestina tidak bisa melihat hanya dari satu sisi, yaitu hasrat untuk masa depan yang dibatasi oleh ruang tanpa batas.

Karena tidak satu pun pesohor yang memberikan perhatian yang adil atau seimbang terhadap semua pihak yang terlibat dalam pertentangan hingga pertumpahan darah yang tidak terelakkan antara Israel dan Palestina, yang tenggelam dalam ‘eforia’ balas dendam dan permusuhan selarut malam nan gelap tanpa upaya bersama untuk saling mengoreksi masing-masing diri kita.

Semua bayangan gambar di depan ruang tidak terkira didiami secara diam-diam paling jauh dari realitas. Seandainya setiap saat mereka tidak berdiri saling berhadap-hadapan di luar gambar dan karena itu menarik diri mereka dari “bayangan hitam” kebencian dan permusuhan. Mereka menyediakan seluruh titik ruang representasi (gambar negara Palestina) ditata ulang.

Di situlah pertanyaaan pada sebuah garis tipis untuk mereka yang menata susunan gambar keceriaan menghiasi jagat melalui perdamaian. 

Meskipun terjadi perundingan damai yang semu, mereka merenungkan gambar dirinya, yang saling memberi gambar ketenangan yang utuh.

Pada ruang yang sama, orang tidak buta bermain di antara garis yang terputus-putus dan sebuah gambar, ruang dimana realitas diproyeksikan darinya. Palestina tidak bisa tidak menjadi lebih jelas dari titik ideal saat mata, kaki, dan tubuh lain memasuki latar depan yang semuanya bisa dilihat dari sisi samping kiri.

Seluruh kondisi geopolitik yang rentan sejak perang awal dan sebuah tanda teritorial dalam beberapa tahun sesudahnya dinilai sebagai tontonan dunia. 

Pusat tatapann sebenarnya melibatkan komunitas, kelompok intelektual, wakil-wakil dari tokoh agama atau organisasi keagamaan, dan sekian pemimpin negara meminta penyelesaian konflik dan kekerasan atau apapun namanya agar segera dihentikan.

Hemat saya, perlu kiranya membawa kemurahan hati dalam ‘cermin diri’. Mereka lebih baik ketulusan dari tanda hasrat sebanyak atau bahkan lebih banyak dari apa yang nampak dari ruang damai. Suatu ruang damai tidak terkira menyediakan kehidupan sejati, kecuali bayangan hitam melalui kekerasan dan kematian yang ditampilkan oleh nafsu serakah.

Masa Depan Hasrat

Suatu saat penanda adalah tanda yang menjadi tanda atas tanda kehidupan dan kematian. Sedangkan, penanda penindas diganti oleh mesin pemodal. Keduanya membangun relasi timbal-balik antara mesin pasca kolonial dan mesin otoritarian dengan kehadiran ruang residual.

Tetapi, terjadi perluasan titik dan garis teritorial melalui penindasan di luar, lalu memutar balik ketakutan dalam diri bangsa Palestina. 

Jadi, ketidakhadiran kesadaran yang menstruktur ruang teater kekerasan, yang diperparah oleh kebencian dan permusuhan telah melintasi ambang batas ruang perdamaian itu sendiri. Hasrat tidak lagi menampilkan dirinya untuk perdamaian.

Israel hanyalah hasrat atas hasratnya sendiri, yaitu hasrat dari hasrat yang zalim dan pandir, yang kuat dan yang lemah. 

Kaki bangsa Palestina tidak lagi melangkah, mata tidak lagi melihat, mulut tidak lagi berbicara.

Hasrat Palestina untuk merdeka telah melampaui gedung, darah, daging, rumah, jalur, tepi, ladang minyak, kubah, menara, lampu, air, dan sebagainya. 

Mereka bisa dilihat satu atau lebih banyak tempat, tetapi tersembunyi dari kita, dalam ruang tidak terkira.

Secara khusus, mengapa proses perdamaian menampakkan kegagalan berpindah-pindah dari tempat ke tempat lain menuju pembentukan ruang perdamaian? Mungkin terdapat alasan yang tidak memadai di tengah harapan masa depan perdamaian.

Pertama, wujud Israel dan Palestina terbentuk rangkaian relasi-relasi antara dominasi dan subordinasi, kuat dan lemah, penjajah dan terjajah. Basis material mesin perang hanya muncul di permukaan pada suatu celah ruang.

Pembentukan wilayah kemunculan aliran produksi hasrat menghubungkan dirinya dengan mesin pemodal dari Amerika Serikat memposisikan dirinya pada pseudo-mediator dalam konflik dan kekerasan antara Israel dan Palestina, yang tidak tanggung-tanggung memberi bantuan 3,8 milyar dollar per tahun dalam bentuk bantuan militer pada Israel

Relasi produksi antara hasrat dan sosial, antara produksi atas produksi dan eksploitasi demi ekspolitasi lainnya terus-menerus telah melampaui teritorinya sendiri tanpa bertempat atau ‘tanpa proses teritori’ (reteritorialisasi).

Kedua, “permainan tanpa aturan” yang dimainkan sering dilanggar atau digubris oleh Israel atas Palestina, yang ditandai dengan pertukaran kesepakatan damai melalui pendudukan atau perluasan teritori Israel sebagai ‘Pusat’ atas Palestina sebagai ‘Pinggiran’, ‘lemah’, dan semakin ‘ciut’ ruang teritorialnya. Mesin teritorial bermain di atas panggung peristiwa suksesif, krisis, atau konstelasi politik, yang bertitik tolak di sekitar pertengahan abad kedua puluh.

Noam Chomsky, kritikus terdepan terhadap permasalahan Gaza. Dia menyebut Israel dari hari sejak awal penjajahan Zionis yang tidak memunculkan ucapan dan teks, kata-kata atau diskursus, kecuali Arab tidak punya alasan nyata berbicara untuk berada di Palestina.

Ketiga, Israel dalam relasi dominasi di antara pendukungnya telah membicarakan tuntutan atas “hak untuk eksis” sebagai pertimbangan yang harus dipenuhi oleh Palestina sepanjang berlangsung proses perdamaian.

Suatu hal tidak terlupakan yang mengiringi relasi antara kuasa dan dikuasai, syarat dan tuntutan adalah “hak untuk membela diri” (right to defence itself)

Kata lain, atas alasan apapun, bukan hak Palestina untuk tanah yang dijanjikan. Seperti Immanuel Levinas meletakkan ‘wajah-ke-wajah dengan sang Lain’, ternyata menggiring penyelesaian permasalahan Palestina dalam ruang kosong.

Begitu pula ritus-ritus kuasa, simulakra, penghancuran kreatif, mesin despotik, hipokrit, dan teritori primitif diluapi dengan retorika yang sedang kita geluti saat ini. Hal lain, pemenuhan hak yang disepakati secara sepihak dengan iming-iming materi akan terjatuh dalam kekosongan.

Saya bergeming pada tema pembebasan hasrat dari penindasan. 

Setiap orang yang memiliki hati njurani akan melihat betapa penindasan atau penjajahan sebagai anti kemanusiaan.

Kita sadar, bahwa orang-orang yang berbicara dengan dirinya sendiri. Lalu, mereka menjerit dalam ruang kosong bukanlah gambaran tanpa persepsi inderawi tentang ruang perdamaian.

Masa depan Palestina berhadapan dengan ruang kosong, berarti hidup dinamis dan kompleks dalam kehingar-bingaran. Kita juga percaya tentang perdamaian akan ditandai oleh ruang kosong tidak bergantung pada situasi apapun yang mengelilinginya.

Dan keempat, produksi hasrat yang meluap-luap tanpa akhir, tidak terkontrol, dan represif, yang terinstitusionalisasikan melebihi produksi, sirkulasi, dan perluasan teritori maupun sumber daya lain. Suatu sumber kesia-siaan menyelimuti bangsa yang dirundung konflik dan kekerasan apalagi terbentuk satu relasi penjajahan.

Setelah itu, muncul rencana dan pernyataan untuk perdamaian, tetapi masih menyimpan bara kebencian atau permusuhan diantara kedua belah pihak tanpa akhir. 

Marilah kita berpikir dan berhasrat untuk membangun pemaafan dan perdamaian sejati, yang menggantikan kebencian dan permusuhan antara sesama manusia.

Orang-orang mungkin masih mengingat kembali peristiwa kelam yang begitu memilukan, yang membuat bahasa perdamaian tinggal kata-kata kosong atau hanya ditempatkan diurutan paling belakang dari mimpi dan hasrat, cita-cita dan harapan Palestina.

Di Palestina tidak mengenal kadrun (kadal gurun) atau paldrun (Palestina gurun). Semua di barisan para pendamai lebih memilik untuk mengakhiri pembentukan relasi antara hasrat untuk kebencian dan permusuhan, ketakutan dan penindasan, keterjajahan dan penjajahan! 

Jadikanlah peristiwa kelam menjadi relasi antara hasrat untuk persaudaraan dan keramahan, kesejahteraan dan perdamaian!

Bukankah kita masih sadar untuk bisa berpikir bagaimana caranya menghindari kematian dan kekacau-balauan, dimana kehidupan kita dipersembahkan untuk membuat seluruhnya masuk akal? 

Secara esensial, hasrat untuk nurani bertentangan dengan penindasan atau penjajahan.

Korban

Agar menjadi pelajaran bagi kita semua, kehadiran tabiat destruktif yang menyelinap dalam hasrat yang tidak terkontrol untuk menjajah bisa mengalir melalui tubuh. 

Satu cara, diantaranya melalui kekerasan dalam bentuk perang. Semua orang mengetahui bahwa penyaluran hasrat yang hampa akan menggelincirkan dirinya dalam bentuk-bentuk penindasan, kekejaman, pembantaian kolosal, dan kejahatan lainnya.

Pemenuhan hasrat untuk perang Israel atas Gaza mungkin bisa menjadi keseluruhan dalam taraf “metamorfosis” menuju ‘bentuk-bentuk awal dari penjajahan’ atas Palestina. 

Tetapi, perang tersebut menghasilkan lebih dari 4.000 roket yang ditembakkan oleh militan Palestina terhadap Israel.

Tercatat, dari korban perang, sedikitnya 248 orang Palestina terbunuh, termasuk 66 anak-anak dan 39 perempuan. Sekitar 1.910 orang terluka. Di pihak Israel, dilaporkan sekitar 13 warga tewas. Bentuk kegilaan yang didorong oleh penyimpangan nafsu buta untuk membunuh dimana pun tempat dan siapa pun pelakunya tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan yuridiko-politik, karena paling tidak tindakan tersebut tidak bersifat a priori dan empiris. 

Sementara, manusia dilihat secara lahiriah bisa digerogoti oleh nafsu serakah dalam ledakan sendiri.

Telah banyak pelajaran terulang atau terjadi sebelumnya dan semuanya biasa-biasa saja tanpa beban yang bersifat logis, yaitu logika ketidakhadiran subyek, yang biasanya diidentifikasi berasal dari wahyu, nalar, atau tuturan begitu dekat dan mengambil jarak dengan kita.

Pertanyaannya masing-masing pada diri kita. Apa yang terjadi jika tidak berjatuhan korban? Apa yang dilakukan jika setiap orang di sana lebih memilih kembali untuk bekerja, berpikir, dan merahi mimpi-mimpi dalam keadaan terjaga?

Siapa ingin menggunakan waktu senggang untuk menikmati hiburan, tamasya, bersama keluarga, dan kegiatan santai lain tanpa membawa kembali beban hidup yang menghimpit?

Dalam titik tolak mereka bisa muncul yang lebih menonjol daripada persepsi yang beragam. 

Kemudian, mereka diturunkan dalam hidup bersama melalui bidang ruang yang luas, dalam keterbatasan dan jarak waktu yang tidak bisa diatasi.

Tentang umat manusia untuk tidak mengungkapkan satu relasi saja, tetapi banyak cara menemukan relasi, yang tidak bertentangan dengan apa yang telah ada sebelumnya dari hasrat, mimpi, dan harapan tetangga di luar ruang nampak tidak jelas.

Anda dan saya sadar tentang eksistensi manusia terancam kembali diragukan sesuai yang ada dalam pemikiran modern atau diskursus bukanlah sesuatu yang bisa diganti dan dilepaskan pada suatu tempat yang jauh, yaitu delokalisasi atau pemindahan tempat.

Hal itu dimaksudkan adalah masa depan Palestina akan berhadapan dengan ruang kosong lebih dekat dengan ‘ruang tidak terkira’ atau ‘ruang yang muncul ke permukaan, tetapi tidak bisa dilihat’ oleh mata si besar nafsu.

Sementara, harapan masa depan Palestinan mengatasi ‘delokalisasi’ dan pemindahan. Kita memahami bagaimana wujud anak manusia terutama dalam kondisi konflik dan kekerasan atau kondisi perang. 

Palestina dibatasi dan dibalik penampakan gambar melalui teka-teki masa depan yang berbeda, seperti tanda kepunahan, kematian atau sebuah ancaman kehidupan.

Tanda kematian murni atau ancaman kehidupan menurut data Statista (2021) menunjukkan bahwa lingkaran  konflik dan kekerasan antara Israel dan Palestina sejak 2008 hingga 2020 telah menewaskan 5.600 jiwa dan 115.000 orang terluka di pihak Palestina. Kita mungkin bisa membayangkan berapa banyak korban yang meninggal, yang telah diproduksi oleh mesin perang sebelumnya.

Akhirnya, kita tidak bisa membayangkan nilai satu nyawa demi hasrat untuk kuasa tanpa prikemanusiaan atau demi sejengkal tanah yang memalukan. Mungkin, disinilah pilihan manusia untuk membayangkan atau mengingat hal-hal yang tidak terpikirkan.

Tidak akan kembali pada titik-titik permulaan, kecuali kita mengingat kembali pada sesuatu, yang keseluruhannya belum diuji dengan tanda bahaya, dalam kesenyapan pergerakan dan dalam kesamaran tujuan. 

Kita tidak menyesal pada titik akhir saat memutar kembali pergerakannya ke titik tolak.

Pergerakan pemikiran dan kehidupan berulang-ulang, terputus-putus, diam atau mundur ke belakang dipengaruhi oleh jenis dan skala peristiwanya. 

Sedangkan, suara perdamaian yang tidak bisa dilenyapkan pada banyak titik dan garis yang menyusun cara wujud bahasa dan manusia  maupun perdamaian yang sesuai dengan wujud bebasnya.

Dalam setiap kekerasan, kehidupan, dan kematian bisa saja terjadi dalam pengulangan, baik berlangsung secara alami maupun rekayasa, dalam skenario maupun non skenario. 

Untuk satu fenomena dan gejala, lingkaran pengulangan yang tertuju pada semua hal tersebut tidak lebih dari bentuk penyaluran nafsu tidak tertahankan menjadi irasionalitas yang rasional.

Pada akhirnya, wilayah kemunculan jejak-jejak, bekas-bebas, dan tanda-tanda tiba-tiba hadir kembali di hadapan kita melalui hasrat untuk kebenaran. 

Di seberang sana, nafsu jahat untuk membunuh, menjajah, dan untuk menghancurkan harapan masa depan manusia. Pembentukan jejak-jejak dan tanda-tanda menjurus pada kelenyapan masa damai terulang kembali.

Ruang damai seakan-akan diselingi dengan konflik atau perang dan sejenak kembali damai.  Peristiwa tersebut betul-betul tersedot dalam lingkaran kelahiran, kehidupan, dan kematian, dalam nyanyian duka cita atau suka cita, dalam kemunculan atau ketidakhadiran nalar, dalam kebangkitan hasrat dan penampakan tubuhnya.

Sebaliknya, masa depan Palestian akan menyerap dan memancar sinar kedamaian, yang entah kapan tercapai. Hasrat akan perdamaian mengarungi wilayah buta, terjal, menanjak, dan berlika-liku. Hasrat yang dibebaskan dari peristiwa tragis dan nafsu serakah.

Aliran hasrat yang menghubungkan dirinya dengan ambang batas pemikiran dan kehidupan. “Ayahku dibunuh, anak-anakku dibunuh, Anda membunuh perempuan, Aku membunuh harapan mereka, rumahku hancur, tanahku dirampas, air kami tidak sehat, kami kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin.” Di bawah mesin skizois, aliran darah seiring aliran modal dalam penjajahan atau perang Israek atas Palestina menjadi bentuk penyaluran atau kecanduannya begitu sangat remeh-temeh.

Untuk sekian kalinya menguak korban berjatuhan, yang datang dari titik kekerasan nafsu, bahasa, dan selera politik militer yang imanen tanpa cermin dan tanpa arah. 

Pada saat yang sama, ia meninggalkan dan diberikan jejak dan tanda akan berubah menjadi peristiwa yang tidak bisa ditebak begitu saja kemunculannya.

Perkembangan peristiwa yang mengarah pada bentuk-bentuk ekstrim berada di bawah suatu ‘penandaan ganda’, yaitu konteks ‘kuasa’ dan ‘dikuasai’, yang memiliki proses dan mekanisme tersendiri, tetapi terjadi ketumpang-tindihan antara perang dan genosida, konflik dan kekerasan, pendudukan dan penjajahan, diskriminasi dan pembersihan etnis, persekusi dan pencaplokan, pengusiran dan rasis.

Sebagaimana yang lainnya, peristiwa penting yang diselimuti permasalahan yang kompleks memungkinkan untuk dideskripsikan, dinilai, dikritisi, dan dianalisis menjadi bagian dari proses pembentukan obyek pengetahuan. 

Ataukah semuanya hanyalah bentuk-bentuk keremeh-temehan permasalahan, yang memungkinkan untuk mengakhiri prosedur ilmiah dan interpretasi filosofis?

Sambil menghibur diri tentang mimpi perdamaian dan harapan atau hasrat untuk masa depan Palestina sebagai bangsa meninggalkan ingatan kolektif, teritori yang tidak terdefinisikan, tanpa wilayah hingga tanpa identitas. Akhirnya, tanpa hasrat dan tubuh untuk memiliki sisi kehidupan Palestina ditujukan bukan untuk dirinya sendiri, tetapi secara jujur, kehidupan kita bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun