Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sepenggal Kisah tentang Menjadi Abad Cina

15 September 2022   13:55 Diperbarui: 8 Oktober 2022   20:52 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : publishersweekly.com

Terus terang tanpa disengaja lewat googling, mataku tiba-tiba terpanah terhadap sebuah sampul majalah mingguan NewStatesmen, edisi 23-29 Juli 2021 berjudul amat menyolok: "The Chinese century."

Anak judulnya berbunyi The making of an economic superpower ditulis oleh Adam Tooze.

Sayangnya, saya tidak bisa membuka tulisan daring tentangnya. Saya tersenyum sendiri.

Harap maklum, membukanya perlu jari ini terlibat untuk menekan subscribe. Ia berarti setara dengan dua dollar seminggu.

Betul-betul, jika bukan di era internet, lalu lintas informasi atau berita secara cepat yang datang dari luar.

Ia mungkin membuat kita belum tahu menahu peristiwa apa yang terjadi di sana.

Kita bisa membayangkan, bagaimana tingkat kecepatan untuk menyerap pengetahuan atau informasi, jika hidup tanpa internet.

Ia bak uang. Ia memang bukanlah segala-galanya. Teknologi canggih begitu penting dalam kehidupan.

Inginkah manusia hidup kembali di zaman batu? Manusia dalam kodratnya seiring dengan Wind of Change. 

Begitulah judul lagu Scorpions, grup musik cadas-hard rock dari Hannover Jerman. 'Masa Pencerahan' memendar, diantaranya datang dari Jerman, di sekian abad yang lalu.

Berikut, secolek lirik lagu darinya:

Listening to the wind of change

The world is closing in

Did you ever think

That we could be so close, like brothers

Cina pun juga bersesuaian dengan inspirasi lagu Wind of Change. Mereka ingin melakukan perubahan melalui 'sang reformis', 'sang arsitek perekonomian' atau Presiden yang bernama Deng Xiaoping.

Dia dikenal sebagai sosok 'pemimpin negeri Tirai Bambu' yang melakukan sintesa antara ideologi sosialisme dengan mereduksi doktrin komunisme dan unsur-unsur 'kapitalisme ekonomi pasar bebas' ala Cina.

Sehingga Cina menjadi salah satu negara dengan laju perkembangan ekonomi tercepat di dunia.

Kita mengetahui, bahwa masa pemerintahannya juga diwarnai dengan peristiwa berdarah yang terjadi di Lapangan Tiananmen Beijing tahun 1989.

Cina sadar, mereka hidup bukan lagi di zaman Dinasti Han (206 SM-220 M) sebagai peletak dasar dan sang pembangun "Jalur Sutera" (Silk Road), sekalipun terdapat utak-utak ulang dari pemimpinnya di era mutakhir. Sekarang, mereka percaya berada di zaman sibernetika.

Semirip fase dan zaman Cina menjelang akhir abad keduapuluh, "Tembok Berlin" runtuh berselang beberapa waktu bubarnya Uni Soviet.

Di lain tempat, "Tembok Raksasa Cina"-The Great Wall (difilmkan tahun 2016, lagi-lagi saya tidak menontonnya) masih tampak berdiri kokoh hingga saat ini.

Yang ajaib bukanlah tembok fisiknya. Bukankah "tembok-tembok egoistik" lebih berbahaya daripada yang lain?

Jika kita mengingat kembali, "Abad Cina" bukanlah hal atau tema baru. Dekade 90-an, Cina disebut-sebut dalam Megatrends 2000, buku bestseller nasional karya John Naisbitt dan Patricia Aburdene.

Lalu, dalam Global Paradox dan Megatrends Asia yang ditulis oleh John Naisbitt, sosok futurolog kenamaan tidak luput mencatat peran Cina.

Ada lagi, China's Megatrends yang ditulis oleh John Naisbitt dan Doris Naisbitt. Semuanya menyebut ataukah paling tidak mengarahkan pada Cina sebagai "Abad Naga" alias "Abad Cina." Tetapi, saya tidak ingin membahas setiap buku tersebut.

Sekali lagi, tidaklah berlebihan dari istilah "Abad Cina" menjadi "arus utama global di abad keduapuluh satu," seperti telah diperhitungkan oleh ahli.

Begitu pula arah pemikiran Samuel P. Hungtinton dalam The Clash of Civilization, yang dekade sudah berlalu menjadi tema pembicaraan yang menyentak dan bahan kajian di kalangan akedemisi, ahli strategi hingga para pengambil kebijakan.

Yang jelas, Cina (RRC) tidak berada dalam sebuah "fantasi atau penanda kosong." Ia betul-betul "sang Nyata" dalam perubahan besar.

Bagi Cina, dunia Barat tidak lebih dari mimpi buruk liberalisme. Kini, Cina sang Nyata yang nyata.

Ia bukan sang Nyata dari ilusi (komunisme), karena ia "berbadan dua:" di dalam, ideologi komunisme dan di luar, ekonomi pasar yang kapitalis.  

Belakangan ini, saya sendiri tidak mengerti mengapa orang-orang Indonesia lagi "baperan" dengan Cina.

Pada dekade 90-an bahkan masa sebelumnya-pra Peristiwa 20-21 Mei 1998, tidak jarang suatu peristiwa meledak yang dihubung-hubungkan dengan orang-orang Cina.

Terutama di beberapa kota Indonesia, biang kerok dari semuanya adalah oknum Cina.

Entahlah! Mungkin berawal dari permasalahan ketidakadilan sosial atau trauma kolektif atas beberapa pemberontakan partai komunis dan pembantaian yang dilakoninya.

Jadi, satu mekanisme pelampiasan amuk massa ditujukan ke warga Cina atau Tiongkok atau Mandarin, yang notabene juga sebagai warga negara Republik Indonesia.

Mereka sudah beranak pinak sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Saudara sebangsa setanah air Indonesia.

Anak bangsa yang sama dalam kemajemukan. Sedikit-sedikit Cina sasarannya. Bukankah mereka merupakan tindakan fasis bin rasis?

Sepertinya jika tidak melibatkan Cina, dunia seakan-akan menuju tanda kiamat. Saya pernah merenung sebelumnya, apakah ini sebagai tanda-tanda dan gambaran perubahan, yang mengarah pada kemajuan atau kemunduran bangsa?

Karena itu, dalam benakku, sentimen etnis atau kebencian antar etnis bukan ciri-ciri negara yang mencapai taraf kemajuan.

Dendam, nyinyir, hujatan, dan sejenisnya melalui media sosial sebagai dorongan dari orang-orang tidak akan pernah melakukan perubahan.

Apalagi yang tersisa? Masihkah kita nyinyir terus dengan Cina? Dimana sikap ramah bangsa kita terhadapnya?

Rangkaian ujaran kebencian, intoleran, fanatisme buta, dan gelar buruk lain seakan-akan menjadi sarapan dan santap malam sebagian orang di negeri ini.

Sebagian orang masih berkoar-koar akan bahaya Cina, yang mengancam kehidupan. Mereka tidak "ngaca" jika terjadi ribut-ribut soal "periuk nasi" tiba-tiba dilampiaskan ke "non pribumi."

Padahal, akar permasalahannya berdasarkan analisis adalah ketidakadilan.

Selebihnya, ada cuilan pribumi pemalas dan manja dengan alam.

Teringat akan kisah dalam catatan sejarah. Tokoh-tokoh yang direpresentasi oleh Cina turut berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Setelah jejak-jejak sejarah di tanah air, berikut Cina mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat.

The New York Time (2007) menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi Cina mencapai 10 hingga 11 persen per tahun.

Sebagaimana dilansir oleh The Independent (2010), angka produk domestik bruto (PDB) Cina sebesar 8,8 trilyun dollar, yang tertinggi ketiga dunia.

Seandainya Max Weber masih hidup hari ini (meminjam istilah Slavoj Zizek), kemungkinan besar dia menulis buku lanjutan sebagai pembanding bagi buku sebelumnya Protestant Ethic, berjudul The Confucian Ethic and the Spirit of Global Capitalism.

Ya, bisa-bisanya Cina menerapkan Confucian Capitalism (Kapitalisme yang diadoni dengan ajaran Konfusius) di tengah belantara kuasa otoritarian?

Masih terngiang-ngiang dengan ungkapan lama Ali Baba menjadi Baba Bule, Cina-Barat.  

Ajaran Konfusius agaknya sesuai dengan kekuatan jimat ideologi 'gaya baru' dalam zaman digital atau ruang siber seperti terjadi di sekitar kita.

Syarat kemustahilan bagi ideologi komunisme menjelmakan Cina ketika menolak kematian yang instan lewat "resep" kapitalisme ekonomi pasar.

Mereka berlagak menjadi pemain bebas yang masuk akal. Lihatlah! Anak-anak kota sudah mulai sadar jika bank, tivi, leptop, komputer, mobil, motor, barang-barang elektronik lain hingga makanan dan minuman kemasan bisa menjadi 'merek dagang' Cina.

Boleh saja anak gedongan menjuluki Cina sebagai penikmat dari derap langkah kapitalisme.

Bagaimanapun bentuknya, Cina menjadi 'kecanduan' ekonomi pasar. Ia telah meninggalkan zaman dinasti di abad yang silam, kecuali yang terselip ajaran Konfusius.

Marilah kita belajar tentang kemajuan yang sedang dirahi oleh Cina. Apapun kurang lebihnya, setiap negara atau bangsa memiliki dari salah satu atau kedua watak tersebut di dunia.

Cina, mantap betul! Indonesia akan mantap betul dengan gayanya masing-masing, jika kita mau berubah! Mengapa tidak?

images-63417efd4addee2f8074b2f3.jpeg
images-63417efd4addee2f8074b2f3.jpeg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun