Terutama di beberapa kota Indonesia, biang kerok dari semuanya adalah oknum Cina.
Entahlah! Mungkin berawal dari permasalahan ketidakadilan sosial atau trauma kolektif atas beberapa pemberontakan partai komunis dan pembantaian yang dilakoninya.
Jadi, satu mekanisme pelampiasan amuk massa ditujukan ke warga Cina atau Tiongkok atau Mandarin, yang notabene juga sebagai warga negara Republik Indonesia.
Mereka sudah beranak pinak sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Saudara sebangsa setanah air Indonesia.
Anak bangsa yang sama dalam kemajemukan. Sedikit-sedikit Cina sasarannya. Bukankah mereka merupakan tindakan fasis bin rasis?
Sepertinya jika tidak melibatkan Cina, dunia seakan-akan menuju tanda kiamat. Saya pernah merenung sebelumnya, apakah ini sebagai tanda-tanda dan gambaran perubahan, yang mengarah pada kemajuan atau kemunduran bangsa?
Karena itu, dalam benakku, sentimen etnis atau kebencian antar etnis bukan ciri-ciri negara yang mencapai taraf kemajuan.
Dendam, nyinyir, hujatan, dan sejenisnya melalui media sosial sebagai dorongan dari orang-orang tidak akan pernah melakukan perubahan.
Apalagi yang tersisa? Masihkah kita nyinyir terus dengan Cina? Dimana sikap ramah bangsa kita terhadapnya?
Rangkaian ujaran kebencian, intoleran, fanatisme buta, dan gelar buruk lain seakan-akan menjadi sarapan dan santap malam sebagian orang di negeri ini.
Sebagian orang masih berkoar-koar akan bahaya Cina, yang mengancam kehidupan. Mereka tidak "ngaca" jika terjadi ribut-ribut soal "periuk nasi" tiba-tiba dilampiaskan ke "non pribumi."