Mohon tunggu...
EmilyWu
EmilyWu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, Cerpenis, Menerima Jasa Penulisan Novel.

Walaupun aku tak bersayap, aku ingin terbang ke langit mengambil matahari, bintang dan bulan. Ide cantik selalu menarik untuk kuketik dan kususun dengan indah menjadi sebuah kisah...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seorang Pendeta dan Keluarganya

21 Oktober 2018   19:52 Diperbarui: 21 Oktober 2018   20:31 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Istock, diedit dengan postermail

Pak, Brian makin panas badannya. " Keluh istriku ketika aku sedang membaca Alkitab di teras.

"Ya sudah kita doakan saja, nanti kita tumpang tangan di tubuh Brian, pasti Brian akan sembuh, kamu tahu kan bu, Tuhan adalah dokter segala dokter." Kataku mencoba membuat istriku tenang.

Istriku ini memang mudah panik dan sering sekali dia hanya mengandalkan kekuatan manusia bukan kekuatan Tuhan.

"Brian perlu dibawa ke dokter, Brian butuh minum obat, bukan hanya tumpang tangan." Kata Istriku berteriak separuh putus asa.

"Kamu tahu kita nggak ada uang, makanya kita serahkan semua sama Tuhan." Kataku.

"Kamu itu harusnya kerja pak, cari duit, bukan hanya baca Alkitab kalau pagi, sore nya pergi bulu tangkis. Kita ini perlu makan."

"Hush....bu, kamu ini ngomong apa? Kamu ini istri hamba Tuhan, kamu harus menjadi orang percaya yang mengadalkan Tuhan." Kataku mengingatkan.

"Kamu tahu kan bu, peraturan dalam denominasi gereja kita melarang hamba Tuhan untuk bekerja di dunia sekuler, karena itu akan merusak konsentrasi kita terhadap pelayanan kita, konsentrasi kita akan terpecah, kita tidak bisa fokus."

"Terserah kamulah. Kamu jaga dulu Bian, kamu kompres, saya mau cari uang." Kata istriku sambil meninggalkanku.

Aku menuju tempat di mana Bian tertidur. Badannya panas tinggi, aku kompres dia, aku tumpangkan tanganku di atas tubuhnya dan dengan serius aku berdoa : " Tuhan Yesus, aku percaya bilur-bilurmu akan menyembuhkan sakit penyakit  Brian, tengking dalam nama Yesus segala penyakit yang ada dalam tubuh Bian, sembuh sempurna, sembuh total. Halleluya. Amien " Doaku.

Istriku kembali tiba di rumah sekitar pukul 18.00

"Dari mana bu?" Tanyaku ketika melihatnya pulang.

"Nanti saja ceritanya, bapak makan saja dulu, itu saya bawa makanan. Saya mau bawa Brian ke dokter." Katanya sambil mengangkat tubuh Brian.

Di depan rumah kami sudah menunggu ojek oline yang siap membawa mereka pergi dan aku tak kuasa lagi mencegah mereka.

Sejak aku mengontak rumah di daerah Cibubur ini aku memang sama sekali tidak punya penghasilan. Aku mengontrak rumah di sini, karena SK pelayananku yang menempatkanku untuk melayani di daerah ini.

Saat baru menikah dengan istriku, kami tinggal di rumah orang tua Listi di Medan, 1 tahun kami tinggal di rumah orang tua Listi, lalu kami pergi ke Jakarta dan kami tinggal di rumah seorang teman yang kebetulan sudah menjadi pendeta senior, saya membantu pelayanannya sebagai pengiring musik  dan kadang-kadang juga mendapat kesempatan menyampaikan firman Tuhan.

1 tahun menjadi pendeta magang, SK-kuuntuk melayani keluar.  Aku mendapat kesempatan untuk melayani di daerah Cibubur.

Akupun mendapat bantuan uang untuk mengontak rumah dari beberapa teman pendeta yang kebetulan sudah jadi pendeta senior. Sudah ada sekitar 4 bulan aku mengontrak di rumah ini, tapi perintisanku belum membuahkan hasil, dan Lasti sudah tidak sabar menunggu, karena yang dipikirkannya hanya melulu tentang perut dan masalah uang.

Lasti juga sangat tidak suka dengan kegiatan bulu tangkis yang aku ikuti, padahal dengan mengikuti kegiatan bulu tangkis itu aku jadi punya banyak teman pendeta dan jemaat mereka yang kebetulan punya hoby bulu tangkis juga.

Siapa tahu, para jemaat itu ada yang tinggal di sekitar rumahku dan mau menjadi jemaatku.

Istriku sampai rumah sudah agak malam.

"Kemana saja bu?" Tanyaku.

"Ya ke dokter pak, ngantri. Cari dokter yang murah yang langsung dapat obat. Kita nggak punya BPJS, karena nggak kuat bayar iurannya." Kata istriku ketus.

Aku menghela napas. Listi makin galak akhir-akhir ini. Dia bukan lagi Listi yang ku kenal  dulu, yang lembut dan sabar.

Setelah Brian tidur, aku kembali menanyai Listi.

"Kamu dapat uang dari mana bu?"

"Dari bu Silfie." Katanya.

"Kok bisa bu Silfie kasih uang?"

"Saya nyuci, ngepel, gosok di rumahnya, saya bilang sama bu Silfie, Brian sakit, saya perlu uang untuk berobat, dan saya minta diberi pekerjaan untung bu Silfie mau kasih saya pekerjaan dan memberi upah pada saya 2X lipat daripada standard upah biasa."  Listi menjawab

"Bu!!!! Kamu ini ibu gembala, apa kata jemaat kalau lihat ibu gembalanya jadi pembantu?" Kali ini aku benar-benar marah.

"Ibu Gembala? Malu dilihat Jemaat? Hoi.... ingat pak, kamu itu nggak punya jemaat dan kamu bukan gembala jemaat gereja manapun!!" Listi menjawab dengan lebih galak.

Aku belum sempat membuka mulutku lagi ketika Listi melanjutkan kata-katanya

:Seharusnya kamu bekerja, cari uang, jadi tukang kebon, jadi tukang sapu, jadi tukang sampah, itu lebih baik daripada kamu bersembunyi dibalik status pendetamu itu untuk menutupi kemalasanmu mencari nafkah menghidupi anak istrimu!!!!  Dulu aku mau menikah dengan kamu, karena aku kira kamu seorang pendeta beneran, ternyata kamu hanya pemalas yang berlindung dibalik status pendeta!!!"

Katanya lagi, lalu pergi masuk kamar dan menguncinya dari dalam.

Aku hanya bisa mengelus dada.

Aku terbangun pagi itu, karena suara Brian rasannya begitu dekat di telingaku.

Dan ketika aku membuka mataku lebar, aku melihat Brian bermain di bawah kursi rotan, di mana aku tidur semalam.

"Brian..., sudah bangun." Sapaku ramah.

Brian tidak menanggapi diam saja dan tetap asyik bermain.

Aku turun dari kursi rotan yang aku pakai tidur semalam dan berjalan ke kamar, mencari Listi, istriku.

Tapi.....aku tidak menemukan Listi!!!!

"Brian, ibu kemana?" Tanyaku pada Brian yang masih asyik bermain.

"Pergi." Katanya pendek, tanpa expresi.

"Pergi kemana Brian?" Tanyaku lagi.

Brian hanya menggelengkan kepalanya.

Aku kembali menuju kamar melihat ke dalam lemari baju, dan.....baju Listi sudah tidak ada di situ, yang tertinggal hanya bajuku dan baju Brian. Listi pergi meninggalkan rumah!!!

Aku berlari ke depan rumah, berusaha mengejar Listi, tapi yang aku temukan hanya jalan berspal yang lenggang, sepi. Jejak Listi sudah tak kelihatan lagi.

Aku menunggu Listi pulang, tapi sampai sore Listi tak juga kembali. Mau menghubungi teman dan saudara, tapi nggak ada pulsa dan tidak punya kuota.

Aku terpaksa memberikan obat pada Brian, bukan aku tak lagi percaya 100% persen pada Tuhan, tapi supaya Brian lebih tenang dan bisa tidur. Karena kalau Brian tidur dia bisa melupakan laparnya dan tidak minta makan. Di rumah hanya ada 2 bungkus mie instan, Brian sudah makan bungkus, saya 1 bungkus, tinggal bungkus lagi, untuk persediaan nanti malam, sebelum Brian tidur.

Tiba-tiba HP ku berbunyi.

Aku melihat ke layar panggilan. Dari teman pendetaku.

"Sore papa Brian, hari ini bisa bantu jadi pengiring musik nggak?  Ada Jemaat yang mengadakan persekutuan doa ucapan syukur masuk rumah baru, kebetulan hari kami tidak ada pengiring musik."

Oh....aku terdiam, mujizat datang. Tuhan memberikan pertolongan. Puji Tuhan. Ucap syukurku dalam hati.

"Bisa-bisa. Jam berapa acaranya?" Tanyaku penuh semangat.

"Jam 7 malam ya." Katanya lagi.

Sore itu jam 6, aku sudah mengeluarkan motor bututku. Motor pemberian sepupu Listi yang tinggal di Cileungsi.

Ah...ya, aku baru ingat,  mungkin Listi menginap di Clieungsi, di rumah sepupunya, mereka sangat dekat.

Nanti sepulang kebaktian aku akan langsung ke Cileungsi, Listi pasti senang, kalau nanti aku menjemputnya sambil menyerahkan amplop putih berisi persembahan kasih.

Aku menaikkan Brian di depan, lalu melaju pelan melintasi jalan alternatif Cibubur, menuju alamat yang tadi diberikan oleh rekan pendetaku.

Acara berjalan lancar, tapi aku minta ijin pulang duluan, karena selain Brian belum sehat, aku juga mau mencari Listi ke Cileungsi.

Aku pamit pada tuan rumah, mereka membungkuskanku beberapa macam makanan dan memberiku amplop putih, yang aku yakin berisi persembahan kasih.

"Pak pendeta, maaf ya tidak bisa mengantar sampai ke depan, ini masih melayani yang pada makan." Kata tuan rumah sopan.

"Iya nggak apa-apa bu-pak, mohon maaf saya pulang duluan karena ada keperluan."

Aku berjalan ke arah ruang tamu, aku mencari kunci motorku di saku celanaku, tapi aku tidak menemukannya.

Oh...iya, tadi aku meletakkan kunci motorku dia atas meja di ruang tengah, tempat persekutuan doa dilaksanakan. Aku berbalik kembali ke arah ruang tengah.

Aku mau mengambil kunci motorku, ketika mataku melihat sesuatu yang menarik, sebuah HP, sepertinya keluaran terbaru tergeletak di dekat  kunci motorku.

Aku memekik penuh syukur, ini mujizat ke tiga dalam sehari ini, pertama aku dapat bungkusan makanan saat pulang, ke dua aku dapat amplop putih berisi persembahan kasih dan ketiga aku melihat HP tergeletak. 

Secepat kilat aku memasukkan HP itu ke kantong celanaku, dan aku segera keluar rumah.

Nanti HP ini mau kujual ke Plaza Cibubur, Listi pasti senang kalau aku bawa banyak uang ketika menjemputnya pulang.

Sementara itu di rumah Jemaat yang mengadakan persekutuan doa, Jemaat sudah pulang semua,  rumah sudah mulai sepi dan sudah mulai dirapikan.

Si istri bertanya pada suaminya : "Pi, lihat HP ku nggak ya? Tadi seingatku aku letakkan di meja ruang tengah dekat Alkitab. Tapi kucari kok nggak ada ya?"

Si suami menjawab : " Coba aku miss call ya mi."

Jawab si Istri : " Iya Pi, coba."

Tapi beberapa kali di miss call HP itu tak terdengar suaranya.

Akhirnya si istri berkesimpulan: "Papiiiiiii HP ku  hilang, HP yang baru 1 minggu aku beli Pi, harganya jutaan!!!." Tangis istrinya sedih.

Sang suami cuma bisa melongo, bengong dan bingung.

Siapa yang mengambil HP itu, tidak yang tahu, karena yang datang kebaktian cukup banyak dan rumahnya belum dilengkapi cctv,  mereka baru saja masuk rumah baru dan perlengakapan di rumah itu belum semua lengkap terpasang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun