"Namun semakin ke sini aku juga semakin lara! Bukan saja bertepuk sebelah tangan, namun dari semula aku telah kamu permainkan. Apa aku ini? Pelipur lara? Tempatmu menenangkan diri di akhir jalan? Atau cuma tokoh candaan dalam cerita harapanmu yang gagal?" Teriakku di depan batu nisan itu.
Kamu selalu diam saat aku tanya; apakah kamu sungguh mengasihi aku? Diam dan akhirnya kematian adalah jawaban yang terlalu sunyi untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Sepuluh tahun aku simpan luka itu. Kucoba untuk percaya bahwa semua ini adalah bentuk cinta, meski tak sempurna. Tapi hari ini, di hadapan nisanmu, aku ingin jujur sepenuhnya.
"Cinta yang kuterima darimu, meskipun hangat, ternyata tidak utuh.
Cinta yang kamu beri, ternyata hanya sisa dari yang mereka tolak.
Dan aku...
Aku bukan pilihan pertama. Mungkin bahkan bukan pilihan sama sekali. Aku adalah bidak catur yang berlarian di telapak keluargamu dalam pikat cintamu!"
Teriakku dalam isak tangis ungkapkan semua perasaan ini.
Lalu aku lepas cincin itu dari jari manis tangan kiri, perlahan.
"Lihat ini! Cincin yang dulu kamu sematkan dengan mata berkaca. Yang kamu bilang sebagai lambang bahwa kita akan berjalan bersama. Tapi kamu sudah lebih dulu tiba di ujung. Dan aku, yang masih di tengah jalan, hanya menggenggam kenangan yang kukira cinta tulus dan ternyata hanya tipu daya!"
"Hari ini, aku tanamkan cincin ini di pusaramu. Biar ia berkarat bersama waktu, bersama janji manis yang adalah dusta dari semula."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI