Mohon tunggu...
Elje Story
Elje Story Mohon Tunggu... Penjaga Toko

Penjaga Toko yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cincin di Pusaramu

3 Mei 2025   23:15 Diperbarui: 3 Mei 2025   23:29 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Canva/ Elje Story)

Di bawah kaki Gunung Penanggungan, di tepi hamparan sawah yang hijau permai, aku datang sendiri. Rerumputan bergoyang pelan, berirama dengan angin pagi yang sejuk. Membelai hangat wajahku seolah tanganmu sendiri yang menyambut kedatanganku.

"Aku datang lagi, mungkin ini akan yang terakhir kali." Kataku pelan dan tanpa tekanan.

Batu nisanmu hanya diam, pancarkan aroma lembab dan sembab, seolah kamu menjawab dengan kesedihan. Tersembunyi di balik rumpun bambu tua, hampir tak terlihat di balik daun-daun kering yang gugur entah sejak musim apa. Tapi aku tahu letaknya. Aku selalu tahu, dan setiap tahun aku selalu datang membersihkannya.

Hari ini aku datang dengan buket bunga yang kamu minta saat wisuda. Lalu ada juga benda kecil ini. Sejak sepuluh tahun lalu tak pernah kulepas; cincin janji manis kita. Dan sebentar lagi, aku akan menguburnya bersamamu.

Kamu tahu? Aku masih ingat sore itu. Saat tubuhmu dibaringkan, saat tangis orang-orang membumbung penuhi udara, saat aku melempar segenggam tanah ke liang yang tak pernah kubayangkan akan menjadi tempatmu pulang. Tanah itu mengubur tubuhmu, juga separuh jiwaku.

Malam setelah pemakaman, aku tidur di kamarmu. Masih ada aroma tubuhmu di bantal, di gorden, bahkan di rak buku kecil tempat kamu menyelipkan surat-suratmu. Aku memeluk selimutmu seperti memeluk sisa-sisa kehadiranmu. Tapi aku tahu itu semua hanya harapan kosong. Tak ada lagi kehangatanmu di sana. Hanya dingin, senyap, dan cahaya lampu yang redup. Ruangan itu jadi makam kedua--untukku. "Mungkin seperti ini kamu didalam sana." Gumamku sendiri.

Aku kira selama bertahun-tahun, cinta kita adalah segalanya. Bahwa kita saling memiliki tanpa paksaan, tanpa rencana orang lain. Sampai suatu hari, kebenaran itu datang. Kamu tahu? Aku melihat mereka. Orang tuamu, duduk di sebuah restoran dengan seorang pemuda. Rapi, mapan, wajahnya mencerminkan masa depan yang disiapkan dengan baik. Mereka sodorkan fotomu. Mereka tertawa, berbicara tentang masa depan yang indah, tentang pernikahan, tentang aliansi dua keluarga besar. Aku duduk di meja seberang. Tak disengaja. Tapi cukup dekat untuk mendengar semuanya.

Dan dia--pemuda itu--jatuh hati bahkan sebelum mengenalmu. Karena wajahmu, karena latar keluargamu, karena potensi untuk bersatu dalam kemewahan dan pesta kemeriahan. Aku hanya bisa terdiam waktu itu. Tak mengerti. Tak percaya.

Tapi kemudian, semuanya berubah cepat. Saat mereka tahu kamu sakit. Bahwa waktumu tak panjang. Bahwa hari-harimu sudah dihitung oleh kalender yang tak bisa dibeli dengan uang.

Dan pemuda itu menjauh. Harapan orang tuamu runtuh. Aku memilih seolah tidak tahu apa-apa dan seperti biasa. Lalu mereka akhirnya membatalkan rencana. Dan kamu tahu juga, pemuda itu menghilang entah kemana. Dan aku... aku yang selalu datang untukmu, dan hanya percaya jika kamu cintaku yang adalah jawaban doa-doa.

"Namun semakin ke sini aku juga semakin lara! Bukan saja bertepuk sebelah tangan, namun dari semula aku telah kamu permainkan. Apa aku ini? Pelipur lara? Tempatmu menenangkan diri di akhir jalan? Atau cuma tokoh candaan dalam cerita harapanmu yang gagal?" Teriakku di depan batu nisan itu.

Kamu selalu diam saat aku tanya; apakah kamu sungguh mengasihi aku? Diam dan akhirnya kematian adalah jawaban yang terlalu sunyi untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Sepuluh tahun aku simpan luka itu. Kucoba untuk percaya bahwa semua ini adalah bentuk cinta, meski tak sempurna. Tapi hari ini, di hadapan nisanmu, aku ingin jujur sepenuhnya.

"Cinta yang kuterima darimu, meskipun hangat, ternyata tidak utuh.
Cinta yang kamu beri, ternyata hanya sisa dari yang mereka tolak.
Dan aku...
Aku bukan pilihan pertama. Mungkin bahkan bukan pilihan sama sekali. Aku adalah bidak catur yang berlarian di telapak keluargamu dalam pikat cintamu!"

Teriakku dalam isak tangis ungkapkan semua perasaan ini.

Lalu aku lepas cincin itu dari jari manis tangan kiri, perlahan.


"Lihat ini! Cincin yang dulu kamu sematkan dengan mata berkaca. Yang kamu bilang sebagai lambang bahwa kita akan berjalan bersama. Tapi kamu sudah lebih dulu tiba di ujung. Dan aku, yang masih di tengah jalan, hanya menggenggam kenangan yang kukira cinta tulus dan ternyata hanya tipu daya!"

"Hari ini, aku tanamkan cincin ini di pusaramu. Biar ia berkarat bersama waktu, bersama janji manis yang adalah dusta dari semula."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun