Aku benar-benar kesal. Nina jelek itu lagi-lagi merampok ponselku tanpa ijin pemiliknya. Dasar sepupu rese!Dia memang hobi menyambar barang-barangku tanpa babibu lagi. Prinsipnya, prinsip paling konyol dan tidak tahu diri menurutku,adalah "barangku barangku barangmu barangku". Ih, males banget nggak sih?Dia suka seenaknya. Berkali-kali aku memperingatkannya, bahkan mengancam akan mengacuhkannya sebulan. Namun dia cuma cengengesan nggak jelas dan memasang muka memelas paling menyedihkan. Ya ampun!Aku paling nggak tahan kalau dia begitu.
       Seharian itu aku berkeliling mencari sosoknya. Biasanya jam segini dia akan menelepon pacarnya. Saat ini, di rumahku, keluarga besar kami sedang berkumpul. Benar saja. Aku menemukan si tengil itu di teras samping sambil sibuk menelepon. Rautnya tampak tegang. Bibirnya merengut. Dia mondar-mandir gelisah. Aku mendekat. Kali ini aku akan menyemprotnya habis-habisan.
       Namun perasaan was-was menyerangku. Apalagi wajahnya kian menegang. Saat aku kian mendekat, suaranya makin meninggi.
       "Dasar brengsek elo, Yo!Beraninya elo mencari alasan membenarkan diri elo. Cuma cewek gila yang diam ngelihat pacarnya selingkuh. Kita putus!Putus!"
        Nina menutup telepon. Dia terlihat ingin membanting ponselku. Astaga!Itu tipe ponsel favoritku. Aku lebih mencintainya daripada ponsel yang dihadiahkan Eyang Kakung di ultahku yang kedelapan belas tahun.
       Nina berbalik. Aku bisa menyaksikan airmata menggantung di pelupuknya. Wajahnya sesaat kaget. Lalu berubah ceria.
       "Eh, sori banget, Tha. Gue pinjam hp loe bentar. Gue lupa bilang."
       Oke, aku maklum dengan short memory-nya yang parah. Saking parahnya, dia pernah lupa bawa alamat Tante Elsa di Kelapa Gading sampai kami berkali-kali memutar di kompleks itu. Pernah dia lupa hari itu Minggu. Dia terbangun kaget dan buru-buru berkemas untuk kuliah. Dia juga pernah lupa membawa buku tugas Kalkulus. Alhasil, Pak Rendi, dosennya mengamuk dan menerornya dengan setumpuk tugas yang harus dikumpul sebelum ujian mid semester. Aku sampai kerepotan dibuatnya. Meski begitu, aku sayang padanya dan mampu memaafkan semua kekurangannya.
      "Kenapa tadi?"Meski kesal, ada rasa iba menyusup di hatiku.
       Perlahan wajah Nina berubah sendu, seakan siap menumpahkan air mata. Dia menubrukku keras. Hampir aku limbung.
       "Rio, Tha. Ternyata dia itu cowok paling brengsek di muka bumi ini. Dia selingkuh dengan teman ceweknya. Katanya kami udah nggak cocok lagi. Dia brengsek, Tha!"
       Aku menghela napas berat. Rio, pikiranku melayang pada cowok jangkung yang hobi pamer senyum menyebalkan. Dia paling suka mengerling cewek. Cakep sih, tapi kesan playboy menguar kuat. Berkali-kali aku menangkap basah, dia selalu melirik cewek lain kalau jalan dengan Nina. Aku sudah membujuk Nina agar tak berpacaran dengannya. Tapi dasar keras kepala!Dia malah menuduhku cemburu. Yeah, aku kan jomblo lima tahun. Emangnya aku peduli?
       "Sudahlah. Elo nggak usah memikirkan cowok kayak gitu. Masih banyak kok cowok lain."
       "Tapi, Tha. Aku sudah terlanjur cinta banget sama dia."
        Yeah, kayak aku nggak tahu emosinya yang labil. Tidak lama lagi dia akan menggandeng cowok baru. Dulu sebelum jadian dengan Rio, Nina pacaran dengan Tito. Mereka putus tiga bulan lalu. Alasannya Tito terlalu cuek, lebih cinta sama motor dan teman geng cowoknya. Nina menangis tiga hari tiga malam, tapi seminggu kemudian dengan wajah berseri-seri, dia mengenalkan Rio.
       "Tha, gue pinjam hp elo buat nelpon Agra. Ntar malam ultah Nat."Nina tiba-tiba mengalihkan topik dengan wajah penuh harap
       "Nina ..."
        Uhm, pernah nggak sih aku bilang kalau sepupuku ini emang bikin sebal?Dasar suka seenaknya!Padahal dia cuma perlu membujuk Om Fendi untuk membelikannya hp. Tapi aku ragu Omku itu akan bermurah hati. Beliau kayaknya kapok. Nina sudah kesekian kalinya menghilangkan hp bila penyakit lupa-nya kumat.
                                                               * * * * *
       Aku merogoh tasku, mengacak-acak isinya. Astaga!Aku panik!Dimana ponsel kesayanganku?Aku perlu menelepon Pak Ujang, sopir keluargaku. Gara-gara Madam Kelly mendadak sakit perut, kuliah Bahasa Perancis dibubarkan lebih awal. Padahal masih ada sisa satu setengah jam lagi. Jam segini, Pak Ujang mungkin mengantar Eyang Putri ke rumah Tante Echi, adik Mama. Masa aku harus berpanas-panas ria dalam angkot atau bus. Ih!Aku bergidik memikirkannya.
       "Ya ampun, sayang. Kamu itu sekali-sekali perlu merasakan kehidupan orang umum. Naik bus, jalan kaki, naik angkot, kumpul-kumpul dengan teman di kantin, JJS ke tempat-tempat umum. Bukannya sibuk YM-an di internet atau browsing sepanjang hari."
       Ingatanku melayang pada Mama dengan wajah letihnya yang membujuk, nadanya putus asa. Aku memang lebih mencintai kamarku dibanding tempat mana pun. Aku bebas berinternet dan chatting dengan ponsel-ku. Pulang kuliah, aku akan menghabiskan seharian di kamar dalam hening. Aku tidak begitu suka berinternet dengan laptop. Kau kan tidak mungkin berguling-guling dengan bebas?
       Papa juga sama putus asanya. Tiap weekend, Beliau bahkan sengaja cuti dari bisnis dan mengajakku jalan-jalan. Minggu lalu kami bermain golf. Namun aku sibuk memainkan ponselku daripada menonton permainan golf Papa yang luar biasa.
       "Sayang, kalau kamu mulai kecanduan ponsel, Papa akan menyitanya."
       Aku cemberut masam. "Ah, Papa. Lietha dan ponsel kan ibarat satu paket. Kemana-mana aku harus membawanya. Kalau nggak, Lietha akan merasa ada yang kurang."
      "Tapi sayang, ponsel itu cuma barang. Kamu nggak boleh memfokuskan hidupmu pada benda mati. Itu tidak normal. Kamu harusnya jalan-jalan atau nongkrong dengan teman-temanmu. Bukannya sibuk bermain-main ponsel tiap hari."
       Aku mencibir, mengenang semua kata-kata Papa dan Mama. Bukannya aku mencela nasihat mereka. Tapi rasanya tidak masuk akal. Bagaimana kalau teman-teman cewekmu bertipe suka dandan dan tebar pesona pada cowok atau jalan-jalan ke mall dengan make-up super norak?Belum lagi mereka sering bergosip dan lebih peduli trend fashion atau mode berbau khas cewek?Yeah, mirip sepupu-sepupu cewekku. Renna, Keysha, Sera, Love, Nina, Jessica. Oke, Nina ada pengecualiannya. Kau pasti lebih suka menghabiskan harimu dengan sesuatu yang penting, kan?
       "Sori, elo nungguin bus?"Suara bas seseorang membuyarkan lamunanku.
       Aku menoleh malas. Tampak seorang cowok jangkung menaiki sepeda. Wajahnya putih dan bersih terawat. Oh, dia tampan juga dengan sinar mata jenaka, rahang kokoh, bibir agak tipis, alis terangkat heran, rambut pendek agak tebal.
      "Nggak!Gue lagi tunggu sopir gue."
      "Yeah, gue lupa. Elo tiap hari kan memang diantar-jemput sama sopir."Cowok itu mencibir sinis.
      "Sori?Gue nggak kenal elo. Apa urusan elo?Elo mata-mata CPC?"
      "Apa itu?"Sekali lagi wajah memesona itu mengangkat alis. Oh, dia memang cakep!
      "Cowok Pengincar Cewek."
       Tanpa diduga, cowok itu tergelak. Wajahnya berlipat-lipat gantengnya saat tertawa sepenuh hati.
      "Astaga, Lietha Karenina Wiryawan. Elo memang lucu banget."
       Oke, jadi dia tahu nama lengkapku?Siapa cowok asing ini?
       Seakan mampu membaca isi hatiku, cowok itu tersenyum lembut. Masih tersisa tawa di wajahnya.
      "Gue Davi Octavianus, teman kuliah elo. Kita satu jurusan, satu prodi bahkan satu kelas. Elo memang nggak pernah memerhatikan orang di sekeliling elo, ya. Elo terlalu sibuk dengan ponsel sepanjang jam kuliah."
       Aku terpana. Mulutku ternganga lebar. Tampangku pasti terlihat bodoh. Bahkan tak bereraksi saat sosoknya melambaikan tangan dan menjauh. Oh, aku mau bumi menelanku bulat-bulat.
                                                                      * * * * *
       Ya ampun. Lagi-lagi Nina seenaknya mencomot ponselku. Dia malah meninggalkan ponsel monoponik miliknya. Mana bisa aku berinternet dengan ponsel jadul zaman batu itu?Aku pun mengobrak-abrik seisi kamar, mencari ponsel kesayangan-ku. Aku benar-benar putus asa. Sore ini aku ada janji chatting dengan teman penaku dari Singapura.
       Aku menanyakannya pada Bik Ina yang biasa membersihkan kamarku. Namun dia berkeras tidak tahu. Pak Ujang, Iyem dan Bu Rina juga idem. Duh, padahal aku harus chatting.
       Menahan jengkel, aku menekan nomor Nina. Terdengar nada sibuk. Aku meneleponnya lagi. Namun lagi-lagi nada sibuk. Awas Nina!Terpaksa aku chatting dengan laptop.
       Menjelang malam, aku menghadang sosoknya di ruang tamu. Hampir aku menyemburkan kata-kata kesal, namun wajah Nina keburu pucat.
       "Mana ponselku?Elo bawa yang mana?"
       Dia menatapku was-was. "Dua-duanya, Tha. Soalnya Rama pengen mengecek kualitas ponselnya. Dia mau beli, tapi nggak yakin gitu."
       "Apa?"Mataku membulat. Astaga, cowok pendek bertampang dekil itu?Aku shock!Tampang orang susah kayak itu kok bisa membuat Nina kehilangan akal. Sampai meminjamkan ponselku lagi.
       "Sori banget, Tha. Tadi kita ke kafe. Saking asyiknya ngobrol, gue sampai lupa hp loe gue taruh di meja. Pas kita pulang, gue amnesia total. Maaf banget, Tha. Beneran, gue menyesal banget."
      "Terus kenapa elo nggak kembali ke kafe itu?Mungkin aja masih ada, kan?"
      "Sudah, Tha. Masalahnya gue baru ingat pas kita setengah jalan ke rumah ini. Pas balik ke kafe, kita udah tanya semua orang di sana. Tapi nggak ada yang liat hpnya."
       Wajah Nina memucat. Ada penyesalan dalam menyelimutinya. Aku benar-benar murka.
       "Ponsel gue satunya lagi?"
       "Tadi gue kesenggol orang, terus jatuh dan ..."Wajah Nina berubah ngeri. Dia mengulurkan benda kotak persegi yang tampak hancur di bagian bodi. Retakan kecil menghiasi di sepanjang sisinya. Bagian depan terlepas dengan belakang, menyembulkan kabel-kabel dan komponen dalamnya.
       Luar biasa!Kemarahanku memuncak. Mengabaikan Nina yang terus mengejar untuk minta maaf, aku berlari ke kamar. Kali ini sungguh tak mampu kumaafkan. Berani-beraninya dia!Aku terlalu marah.
       Berhari-hari aku mengacuhkan Nina. Aku memusuhinya. Aku melengos saat berpapasan dengannya, berjalan cuek tiap dia berusaha minta maaf, membuang surat dan buket bunga tanda permintaan maaf. Bahkan aku emosi saat keluargaku membelanya. Terlebih Papa yang biasanya begitu memujaku. Masa orangtuaku berkali-kali membujukku agar berbaikan dengan Nina?
       "Oh, ayolah sayang. Jangan bersikap penuh permusuhan begitu. Nina kan khilaf. Dia sudah minta maaf. Apa begitu sulit memaafkannya?Bukannya kamu tidak pernah mempermasalahkan keteledorannya?Papa bisa membelikan hp baru yang kamu inginkan."
       "Terus saja Papa membelanya. Kali ini dia sudah keterlaluan, Pa. Aku benci sikapnya yang tidak ada upaya untuk menghapus kebiasaan amnesia akutnya yang bodoh."Semburku berapi-api.
       "Dan Papa benci dengan sikapmu yang lebih mementingkan ponsel daripada sepupumu sendiri. Terkadang kamu tidak menghargai orang sebaik kamu menjunjung tinggi barang-barangmu."
        Aku terhenyak. Ini pertama kalinya Papa bicara tegas dan tatapannya setajam pisau. Kata-kata Papa meninggalkan luka perih di hatiku. Mengapa Papa menuduhku sekejam itu?Selama ini aku tidak pernah bersikap kasar atau menyakiti siapa pun.
       "Sayang, jangan bersikap cuek pada orang-orang di sekelilingmu. Kadang-kadang kamu terlalu berfokus pada duniamu sendiri. Kamu tidak menyukai siapa pun memasuki zona dirimu."
       "Ya ampun, Tha. Elo itu hidup di dunia ini nggak sih?Sepanjang gue berteman dengan elo, elo lebih banyak disibukkan oleh ponsel elo itu."
       "Ih, lebih baik gue. Daripada elo, cewek dan sepupu paling egois yang pernah gue punya. Urus saja dunia elo yang isinya cuma ada elo dan barang-barang elo."
       "Oh, gue lupa. Elo kan si nona besar yang nggak pernah peduli dengan siapa pun. Elo cuma sibuk dengan dunia elo sendiri. Gue berani bertaruh, elo bahkan nggak ingat teman sekelas elo sendiri. Sekalipun gue, yang selalu duduk di sebelah elo tiap kuliah."
       Entah mengapa perlahan-lahan ucapan senada dengan Papa melintas satu persatu. Mama, Karina, sohibku, Rena, sepupuku, bahkan dari seorang cowok bersepeda yang mengaku teman sekelasku. Oh, Tuhan!Apa selama ini aku menutup mata dan menganggap orang di sekitarku sambil lalu?Seakan sosok mereka tidak lebih berharga dari benda mati milikku. Berapa lama aku sekejam itu?Air mataku berhamburan jatuh. Aku benar-benar terpukul.
                                                              * * * * *
        Sudah sebulan berlalu. Rasanya seperti berabad-abad lamanya aku terkurung dalam dunia sepi hingga akhirnya aku bebas dari belenggunya. Hari-hari terasa ringan dan bebas. Aku sudah berbaikan dengan Nina seminggu setelah ditegur Papa. Aku mulai memerhatikan orang lain. Seperti menyapa tetangga, teman kuliah, dosen bahkan ikut obrolan seru para sepupu cewekku. Ternyata asyik dan penuh kejutan. Papa tadinya mau membelikanku hp canggih, namun kutolak. Aku memilih menyambut ponsel yang dihadiahkan Nina. Dia sendiri kapok meminjam hpku dan puas dengan ponsel-nya. Bahkan dia selalu membawa note kecil sebagai pengingat bila penyakit lupanya kumat.
        Aku tak mampu berhenti senyum-senyum. Perasaanku luar biasa riang. Setelah sekian lama, aku tersadar sosialisasi itu menyenangkan. Hari ini angin terasa menyegarkan.
       "Ternyata si Nona Besar cantik juga kalau tersenyum."
       Aku terkejut dan menoleh. Humph!Si cowok bersepeda yang biasanya duduk di sebelahku saat kuliah. Namanya Davi. Kabarnya banyak cewek yang ngefans dia. Cakep sih. Kelihatan dingin, tapi semua orang mengakui kebaikan dan keramahannya.
       Dia tersenyum, wajahnya semakin menawan. Lalu mengulurkan sebuah benda. Ponsel kesayangan-ku!Aku sangat familiar gantungan kunci berbentuk boneka, milikku. Aku menyambarnya lalu menelusuri setiap dimensi ponsel itu. Takjub bercampur bahagia.
       "Sepupu elo dulu meninggalkannya di kafe tempat kerja gue. Jadi gue amankan."
       "Kenapa?Kenapa nggak elo kasih sama Nina?Dia kan pasti bertanya pada semua orang di kafe itu. Nggak mungkin elo nggak tahu kalau elo memang kerja di sana."Aku kaget bukan main.
       "Gue tahu, kok."
       "Terus kenapa?Apa maksud elo menyimpannya dan sekarang menyerahkannya pada gue?"
       Dia tergelak. Ih, kenapa wajahnya memesona sih?Ada sinar jahil memancar di matanya, menyentakku.
       "Gue sengaja menyimpannya, karena gue mau lihat, sampai dimana Nona Besar bisa bertahan hidup, tanpa ponsel kesayangannya. Ternyata hasilnya benar-benar berubah 180 derajat."
        Ya ampun!Dia iseng banget!
       "Berani-beraninya elo!Apa elo nggak tahu, gue sampai musuhan dengan Nina gara-gara keisengan elo yang nggak mutu itu?!"
       Aku membentak marah. Anehnya dia justru tertawa geli. Yeah, ada yang lucu gitu?
       Dia menatapku. Sungguh dalam dan membuatku kehilangan napas. Otakku kosong.
       "Aku tahu kamu, Tha. Sikap dan pikiranmu mudah ditebak. Aku memerhatikanmu sudah lama. Kamu yang terlalu cuek hingga namaku saja tidak tahu. Kamu sibuk dengan ponsel konyolmu itu. Dan untungnya ponsel itu hilang sesaat. Kalau nggak, aku pasti nggak bisa menemukan Lietha Karenina Wiryawan yang sebenarnya. Hangat, baik hati dan lucu menyenangkan. Kayak kamu sekarang."
        Astaga!Tanganku yang memegang ponsel gemetaran. Perasaan hangat tiba-tiba mengalir, melimpah ruah di hatiku. Mendadak aku bersyukur ponselku hilang dan ditemukan olehnya. Mungkin aku seharusnya memandang sekelilingku dengan perhatian yang total. Bisa saja aku akan kehilangan momen-momen istimewa, yang kemudian kusesali. Termasuk dia, kan?Aku tanpa sadar tersenyum memandangnya yang tetap menatapku lekat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI