Menjelang malam, aku menghadang sosoknya di ruang tamu. Hampir aku menyemburkan kata-kata kesal, namun wajah Nina keburu pucat.
       "Mana ponselku?Elo bawa yang mana?"
       Dia menatapku was-was. "Dua-duanya, Tha. Soalnya Rama pengen mengecek kualitas ponselnya. Dia mau beli, tapi nggak yakin gitu."
       "Apa?"Mataku membulat. Astaga, cowok pendek bertampang dekil itu?Aku shock!Tampang orang susah kayak itu kok bisa membuat Nina kehilangan akal. Sampai meminjamkan ponselku lagi.
       "Sori banget, Tha. Tadi kita ke kafe. Saking asyiknya ngobrol, gue sampai lupa hp loe gue taruh di meja. Pas kita pulang, gue amnesia total. Maaf banget, Tha. Beneran, gue menyesal banget."
      "Terus kenapa elo nggak kembali ke kafe itu?Mungkin aja masih ada, kan?"
      "Sudah, Tha. Masalahnya gue baru ingat pas kita setengah jalan ke rumah ini. Pas balik ke kafe, kita udah tanya semua orang di sana. Tapi nggak ada yang liat hpnya."
       Wajah Nina memucat. Ada penyesalan dalam menyelimutinya. Aku benar-benar murka.
       "Ponsel gue satunya lagi?"
       "Tadi gue kesenggol orang, terus jatuh dan ..."Wajah Nina berubah ngeri. Dia mengulurkan benda kotak persegi yang tampak hancur di bagian bodi. Retakan kecil menghiasi di sepanjang sisinya. Bagian depan terlepas dengan belakang, menyembulkan kabel-kabel dan komponen dalamnya.
       Luar biasa!Kemarahanku memuncak. Mengabaikan Nina yang terus mengejar untuk minta maaf, aku berlari ke kamar. Kali ini sungguh tak mampu kumaafkan. Berani-beraninya dia!Aku terlalu marah.