Berhari-hari aku mengacuhkan Nina. Aku memusuhinya. Aku melengos saat berpapasan dengannya, berjalan cuek tiap dia berusaha minta maaf, membuang surat dan buket bunga tanda permintaan maaf. Bahkan aku emosi saat keluargaku membelanya. Terlebih Papa yang biasanya begitu memujaku. Masa orangtuaku berkali-kali membujukku agar berbaikan dengan Nina?
       "Oh, ayolah sayang. Jangan bersikap penuh permusuhan begitu. Nina kan khilaf. Dia sudah minta maaf. Apa begitu sulit memaafkannya?Bukannya kamu tidak pernah mempermasalahkan keteledorannya?Papa bisa membelikan hp baru yang kamu inginkan."
       "Terus saja Papa membelanya. Kali ini dia sudah keterlaluan, Pa. Aku benci sikapnya yang tidak ada upaya untuk menghapus kebiasaan amnesia akutnya yang bodoh."Semburku berapi-api.
       "Dan Papa benci dengan sikapmu yang lebih mementingkan ponsel daripada sepupumu sendiri. Terkadang kamu tidak menghargai orang sebaik kamu menjunjung tinggi barang-barangmu."
        Aku terhenyak. Ini pertama kalinya Papa bicara tegas dan tatapannya setajam pisau. Kata-kata Papa meninggalkan luka perih di hatiku. Mengapa Papa menuduhku sekejam itu?Selama ini aku tidak pernah bersikap kasar atau menyakiti siapa pun.
       "Sayang, jangan bersikap cuek pada orang-orang di sekelilingmu. Kadang-kadang kamu terlalu berfokus pada duniamu sendiri. Kamu tidak menyukai siapa pun memasuki zona dirimu."
       "Ya ampun, Tha. Elo itu hidup di dunia ini nggak sih?Sepanjang gue berteman dengan elo, elo lebih banyak disibukkan oleh ponsel elo itu."
       "Ih, lebih baik gue. Daripada elo, cewek dan sepupu paling egois yang pernah gue punya. Urus saja dunia elo yang isinya cuma ada elo dan barang-barang elo."
       "Oh, gue lupa. Elo kan si nona besar yang nggak pernah peduli dengan siapa pun. Elo cuma sibuk dengan dunia elo sendiri. Gue berani bertaruh, elo bahkan nggak ingat teman sekelas elo sendiri. Sekalipun gue, yang selalu duduk di sebelah elo tiap kuliah."
       Entah mengapa perlahan-lahan ucapan senada dengan Papa melintas satu persatu. Mama, Karina, sohibku, Rena, sepupuku, bahkan dari seorang cowok bersepeda yang mengaku teman sekelasku. Oh, Tuhan!Apa selama ini aku menutup mata dan menganggap orang di sekitarku sambil lalu?Seakan sosok mereka tidak lebih berharga dari benda mati milikku. Berapa lama aku sekejam itu?Air mataku berhamburan jatuh. Aku benar-benar terpukul.
                                                              * * * * *