Tahi lalat.
Pramono tersentak. Bukankah tanda lahir itu hanya dimiliki oleh...
Seolah terbangun dari mimpi buruk Pramono melompat, lalu berjongkok dan meraih tangan keriput Nyai yang masih gemetar.
"Lastri?" Pramono menatap dalam-dalam wajah renta di hadapannya. Lastri kaget bercampur senang. Ia nyaris memeluk Pramono kalau saja Mbok Jum tidak merenggut pundak Pramono dari belakang.
"Hei, hei, apa-apaan ini?!" Pramono menepis tangan Mbok Jum dengan kasar. Lastri yang masih duduk bersimpuh segera memanfaatkan kesempatan. Dengan suara pelan ia melanjutkan bacaan mantra yang tadi sempat terjeda.
"Tak sabetake ombak gedhe, sirep. Tak sabetake atine: Pramono Adi Joyo Kusumo Budi Susilo Santoso Mahargono, pet! Sido edan ora edan, sido gendeng ora gendeng. Ora mari-mari yen ora ingsun sing nambani."
Di luar langit mendadak menumpahkan hujan. Sangat deras. Diiringi petir yang menyambar-nyambar bersahutan.
Bersamaan dengan itu tubuh Pramono tersentak ke belakang seperti dihempas oleh angin maha dahsyat. Lalu tubuh kekar itu terbanting ke atas lantai.
Pramono pingsan.
***
Klik!
Lastri mematikan lampu seluruh ruangan. Lalu dengan anggun ia melenggang menuju salah satu kamar, siap mengunci pintunya dari luar.