Tapi tunggu dulu! Mengapa ia tidak mencoba melakukan hal yang sama seperti Mbok Jum? Ya. Merapal mantra. Bukankah sejauh ini dirinya belum sempat mempraktikkan kedahsyatan ajian itu?
Ayolah, Lastri. Baca mantra itu sekarang juga! Tunggu apalagi?
Suara-suara itu, entah dari mana datangnya bersliweran mengusik telinganya.
Lastri pun menyerah. Perlahan ia merapatkan kedua kaki. Bibirnya yang keriput dan kering mulai berkomat-kamit.
"Niat ingsun amatak ajiku, ajian jaran goyang. Tak goyang ing tengah latar. Cemetiku sodo lanang. Upet-upetku lewe benang. Tak sabetake gunung jugrug, watu gempur. Tak sabetake segoro asat. Tak sabetake ombak gedhe sirep. Tak sabetake atine ..."
"Nyaaaaiiiii.....!!! Sarapannya sudah siap belum?!"
Mbok Jum berseru nyaring. Bacaan mantra sontak terpenggal. Dan, praaang! Piring di tangan Lastri terlepas jatuh.
***
"Kaulihat sendiri kan, Mas? Perempuan tua ini tidak bisa diandalkan lagi. Tangannya sudah lemah. Apa saja yang dipegangnya pasti jatuh!" Mbok Jum menatap tajam ke arah Lastri yang duduk bersimpuh menjumputi pecahan beling.
Pramono tidak menyahut. Lelaki itu hanya berdiri mematung. Pandangannya ikut tertuju pada sosok perempuan tua yang tampak sangat ketakutan itu.
Tiba-tiba mata Pramono terbelalak, lebar. Ia melihat sesuatu yang tidak asing. Sesuatu berwarna hitam menitik pada punggung tangan kanan perempuan yang dipanggil Nyai itu.